Share

8. Pekerjaan Baru Jamie

Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung.

"Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."

Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.

Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.

Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.

Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.

Dengan keyakinan di hati aku bangkit dari duduk. Kaki ini kuayun ke bagian administrasi. Uang yang tidak seberapa ini membuatku terpaksa memilih kamar kelas tiga untuk ruang inap Jamie.

Jamie yang masih ada di ruang IGD kini disuruh pindah ke ruangan yang kupilih. Sebuah ruangan yang terdiri dari empat ranjang pasien. Jamie menempati brankar paling ujung.

"Kenapa aku diopname? Emangnya kamu punya uang?" tanya Jamie dengan bibirnya pucat. Suaranya terdengar begitu lirih.

"Soal uang kamu gak perlu mikirin. Yang penting kamu sembuh dulu," pintaku sambil menggenggam erat jemari kekasih hati ini.

Jamie mencoba tersenyum. Tangan lemahnya melambai. Mengisyaratkan agar aku mendekat. Lelaki muda itu mengecup pelan pucuk rambutku.

"Kira ... maafkan aku ... yang selalu ... selalu menyusahkanmu," ucap Jamie lirih dan sendu. Matanya yang sayu menatapku sedih.

"Kamu gak salah. Ngapain minta maaf." Aku menegur pelan. Tak urung melihat Jamie bersedih pertahananku ambyar juga. Aku menangis dalam diam. "Udah sekarang kamu istirahat biar cepat pulih. Aku mau beli jus jambu merah biar kamu lekas baikan ya," pamitku sambil menyusut air mata ini dengan telapak tangan.

Jamie mengangguk lemah. Tangannya merogoh saku. "Jual saja ini untuk biaya rumah sakit!" Jamie menyerahkan ponsel mahal padaku.

"Enggak, Jam." Aku menggeleng untuk menolak. "Kamu butuh hape ini untuk cari kerjaan dan uang." Kuangsurkan kembali benda layar sentuh itu.

"Aku bisa pake hapemu nanti," kata Jamie kembali menyodorkan gadget warna hitam itu padaku.

"Baiklah kalo kamu memaksa."

Ketika Jamie tersenyum tipis, kubalas senyumannya dengan memasang wajah riang. Usai mencium pipinya pelan, kutinggalkan Jamie untuk menjual barang pemberiannya.

Langkahku riang meninggalkan ruangan Jamie. Beban di pundak sedikit berkurang. Tidak kusangka pria itu berlapang dada mengikhlaskan benda kesayangannya satu-satunya untuk dijual.

Ponsel Jamie adalah gadget mahal keluaran dua bulan lalu. Harga barunya setara motor bebek. Jika ini dijual second hasilnya juga masih lumayan. Apalagi barangnya masih bagus. Selain nanti bisa untuk bayar perawatan masih ada sisa buat yang lain.

BRUGH!

Tiba-tiba ada seseorang menabrak. Saking kerasnya aku sampai tersungkur. Bahkan ponsel Jamie yang berada dalam genggaman ikut terlepas.

Mataku langsung terpana begitu melihat siapa orang yang menubruk tubuh ini. Mamanya Jamie. Wanita berpakaian bagus itu juga terperanjat melihatku.

"Ayo, Ma, cepat! Gigi papa sakit sekali ini." Papa Jamie menarik lengan istrinya yang masih terbengong memandangiku.

"Iya, Pa, tapi itu istrinya Jamie," balas sang istri sambil menunjukku.

Pria parlente dengan kaca mata berbingkai warna hitam itu menatapku lekat. Tangannya masih memegang pipi. Menit berikutnya Papa Jamie kembali mendesis.

"Sudahlah! Peduli kita apa?" ujarnya dingin. "Ayo, papa sudah tidak tahan lagi ini! Gigi papa senut-senut banget." Lelaki itu kembali menggeret lengan istrinya. Kulihat mama Jamie terseok mengikuti langkah suaminya. Sesekali wanita bersepatu tinggi itu berpaling menatapku.

Aku yang masih terpana pada pertemuan ini perlahan bangkit berdiri. Mata ini kini beralih pada ponsel Jamie yang terlempar satu meter dariku. Namun, belum juga tanganku menggapai benda mahal itu, serombongan petugas medis lewat sambil mendorong brankar berisi pasien yang terlihat terluka parah. Langkah mereka begitu tergesa. Seketika hatiku ikut hancur melihat roda brankar itu melindas gawai kepunyaan Jamie.

"Astaghfirullah!" Aku menangis sedih melihat layar ponsel Jamie retak. "Ya Allah ... hapenya jadi mati. Bagaimana ini?" Hatinya beberapa menit lagi sempat berbunga kini layu kembali.

Dengan perasaan sedih, aku kembali ke kamar Jamie. Lelaki itu tengah menerawang dengan tatapan kosong.

"Jam," sapaku pelan.

Mata sayu Jamie yang tengadah kini berpaling menatapku. "Kok cepat sekali?" tanya dia sedikit heran.

Aku tidak sanggup menjawab. Hanya bisa menunjukkan ponselnya yang sudah mati dan retak-retak.

"Tadi ... tadi aku ditabrak ibu-ibu," tuturku tanpa memberi tahu jika telah ditubruk oleh mamanya, "sampai hapemu jatuh. Terus belum juga kuambil, tiba-tiba hapemu kelindes roda brankar yang didorong oleh petugas," terangku dengan air mata yang berlinang. "Maafkan aku, Jam," ucapku dengan rasa amat bersalah.

Jamie terdiam. Ketika dia mendengar aku terus menangis dirinya menggeleng. "Gak papa. Itu masih bisa dijual walau jatuhnya barang rongsok." Dengan nada lemah Jamie menenangkan.

"Maafkan aku, Jam." Aku memeluknya sedih.

*

Benar seperti yang dikatakan Jamie, ponselnya masih tetap laku. Namun, dengan harga yang sangat murah. Dan lagi-lagi biaya perawatan Jamie, Ibu juga yang harus turun tangan. Wanita itu terpaksa menjual cincin emas mas kawin dari ayah dulu. Demi membayar biaya Jamie juga bayar sewa kontrakan.

Dua bulan full Jamie beristirahat total di rumah untuk memulihkan kondisi. Tugas dia untuk ambil cucian motor dan mengantarnya kembali pada pelanggan terpaksa aku yang mengerjakan.

Kehidupan rumah tangga kami benar-benar terasa berat. Sebenarnya aku sudah biasa menjalani ini. Namun, tidak bagi Jamie. Lelaki itu sering menahan lapar karena lauk yang Ibu sediakan tidak cocok di mulut dan perutnya. Jamie terbiasa memakan makanan enak. Sedangkan Ibu hanya bisa menyajikan sayuran. Membeli daging ayam bisa dihitung dengan jari.

Di usia enam bulan pernikahan, Jamie bertemu dengan teman lamanya. Namanya Aldi. Aku juga mengenal Aldi jaman sekolah dulu. Dia dan Jamie sama-sama idola pada waktu itu, karena keduanya mempunyai paras yang menawan.

Kata Jamie sekarang Aldi selain sibuk kuliah juga aktif di dunia model. Mengetahui kehidupan sang kawan susah, Aldi mengajak Jamie untuk ikut bergabung.

Tentu saja tawaran Aldi tidak ditolak oleh Jamie. Karena dia memang sangat membutuhkan pekerjaan. Apalagi kami juga butuh uang banyak untuk biaya persalinan nanti.

Akhirnya, melalui bantuan Aldi, Jamie menjalani profesi sebagai foto model. Dibandingkan menjadi pengantar cucian tentu saja Jamie lebih senang dengan profesi barunya. Honor pertama yang didapat ia berikan semua untukku.

"Doakan ayah banyak dapat job ya, Nak. Biar nanti kamu lahir kami bisa bayar rumah sakitnya," ujarnya suatu malam saat kami mulai bersiap tidur. Kami masih menempati ranjang sempit ini berdua. "Demi kamu ayah akan kerja keras, Sayang," janji Jamie sambil mengecup lembut perutku yang sudah membesar ini.

Namun, entah kenapa aku lebih suka Jamie yang dulu saat masih menjadi pengantar cucian. Sekarang waktu dia nyaris tidak ada untukku. Hari-harinya hanya diisi mencari casting. Pergi pagi, pulang malam. Kadang lolos kadang tidak.

Seperti malam ini, ketika tiba-tiba perutku mendadak mulas-mulas, Jamie belum juga pulang dari rumah. Ketika kutunjukan bercak darah berwarna merah muda di celana, Ibu mengatakan jika aku akan segera melahirkan.

Tentu saja aku butuh Jamie. Tapi, pria itu susah sekali dihubungi. Alhamdulillah ia bisa membeli ponsel kembali dengan honornya.

Sampai puluhan kali kutelepon, tidak diangkat juga. Padahal tersambung. Kenapa? Tidak patah semangat aku coba hubungi lagi. Alhamdulillah tersambung.

"Iya, Kiraaa ... ada apa?!" Seketika aku menjauhkan ponsel di telinga mendengar nada ketus dari suara Jamie di seberang sana. "Kok malah diam?" Jamie masih bercerocos keras. "Aku lagi sibuk tahu gak sih?!" Kembali aku dibuat ternganga mendengar nada kasarnya.

Next. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sesilia Delon II
sama belum labil
goodnovel comment avatar
Siti Rifatin
sama sama masih kecil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status