Home / Romansa / BOSKU MANTAN SUAMIKU / 8. Pekerjaan Baru Jamie

Share

8. Pekerjaan Baru Jamie

last update Last Updated: 2022-05-09 18:00:33

Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung.

"Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."

Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.

Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.

Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.

Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.

Dengan keyakinan di hati aku bangkit dari duduk. Kaki ini kuayun ke bagian administrasi. Uang yang tidak seberapa ini membuatku terpaksa memilih kamar kelas tiga untuk ruang inap Jamie.

Jamie yang masih ada di ruang IGD kini disuruh pindah ke ruangan yang kupilih. Sebuah ruangan yang terdiri dari empat ranjang pasien. Jamie menempati brankar paling ujung.

"Kenapa aku diopname? Emangnya kamu punya uang?" tanya Jamie dengan bibirnya pucat. Suaranya terdengar begitu lirih.

"Soal uang kamu gak perlu mikirin. Yang penting kamu sembuh dulu," pintaku sambil menggenggam erat jemari kekasih hati ini.

Jamie mencoba tersenyum. Tangan lemahnya melambai. Mengisyaratkan agar aku mendekat. Lelaki muda itu mengecup pelan pucuk rambutku.

"Kira ... maafkan aku ... yang selalu ... selalu menyusahkanmu," ucap Jamie lirih dan sendu. Matanya yang sayu menatapku sedih.

"Kamu gak salah. Ngapain minta maaf." Aku menegur pelan. Tak urung melihat Jamie bersedih pertahananku ambyar juga. Aku menangis dalam diam. "Udah sekarang kamu istirahat biar cepat pulih. Aku mau beli jus jambu merah biar kamu lekas baikan ya," pamitku sambil menyusut air mata ini dengan telapak tangan.

Jamie mengangguk lemah. Tangannya merogoh saku. "Jual saja ini untuk biaya rumah sakit!" Jamie menyerahkan ponsel mahal padaku.

"Enggak, Jam." Aku menggeleng untuk menolak. "Kamu butuh hape ini untuk cari kerjaan dan uang." Kuangsurkan kembali benda layar sentuh itu.

"Aku bisa pake hapemu nanti," kata Jamie kembali menyodorkan gadget warna hitam itu padaku.

"Baiklah kalo kamu memaksa."

Ketika Jamie tersenyum tipis, kubalas senyumannya dengan memasang wajah riang. Usai mencium pipinya pelan, kutinggalkan Jamie untuk menjual barang pemberiannya.

Langkahku riang meninggalkan ruangan Jamie. Beban di pundak sedikit berkurang. Tidak kusangka pria itu berlapang dada mengikhlaskan benda kesayangannya satu-satunya untuk dijual.

Ponsel Jamie adalah gadget mahal keluaran dua bulan lalu. Harga barunya setara motor bebek. Jika ini dijual second hasilnya juga masih lumayan. Apalagi barangnya masih bagus. Selain nanti bisa untuk bayar perawatan masih ada sisa buat yang lain.

BRUGH!

Tiba-tiba ada seseorang menabrak. Saking kerasnya aku sampai tersungkur. Bahkan ponsel Jamie yang berada dalam genggaman ikut terlepas.

Mataku langsung terpana begitu melihat siapa orang yang menubruk tubuh ini. Mamanya Jamie. Wanita berpakaian bagus itu juga terperanjat melihatku.

"Ayo, Ma, cepat! Gigi papa sakit sekali ini." Papa Jamie menarik lengan istrinya yang masih terbengong memandangiku.

"Iya, Pa, tapi itu istrinya Jamie," balas sang istri sambil menunjukku.

Pria parlente dengan kaca mata berbingkai warna hitam itu menatapku lekat. Tangannya masih memegang pipi. Menit berikutnya Papa Jamie kembali mendesis.

"Sudahlah! Peduli kita apa?" ujarnya dingin. "Ayo, papa sudah tidak tahan lagi ini! Gigi papa senut-senut banget." Lelaki itu kembali menggeret lengan istrinya. Kulihat mama Jamie terseok mengikuti langkah suaminya. Sesekali wanita bersepatu tinggi itu berpaling menatapku.

Aku yang masih terpana pada pertemuan ini perlahan bangkit berdiri. Mata ini kini beralih pada ponsel Jamie yang terlempar satu meter dariku. Namun, belum juga tanganku menggapai benda mahal itu, serombongan petugas medis lewat sambil mendorong brankar berisi pasien yang terlihat terluka parah. Langkah mereka begitu tergesa. Seketika hatiku ikut hancur melihat roda brankar itu melindas gawai kepunyaan Jamie.

"Astaghfirullah!" Aku menangis sedih melihat layar ponsel Jamie retak. "Ya Allah ... hapenya jadi mati. Bagaimana ini?" Hatinya beberapa menit lagi sempat berbunga kini layu kembali.

Dengan perasaan sedih, aku kembali ke kamar Jamie. Lelaki itu tengah menerawang dengan tatapan kosong.

"Jam," sapaku pelan.

Mata sayu Jamie yang tengadah kini berpaling menatapku. "Kok cepat sekali?" tanya dia sedikit heran.

Aku tidak sanggup menjawab. Hanya bisa menunjukkan ponselnya yang sudah mati dan retak-retak.

"Tadi ... tadi aku ditabrak ibu-ibu," tuturku tanpa memberi tahu jika telah ditubruk oleh mamanya, "sampai hapemu jatuh. Terus belum juga kuambil, tiba-tiba hapemu kelindes roda brankar yang didorong oleh petugas," terangku dengan air mata yang berlinang. "Maafkan aku, Jam," ucapku dengan rasa amat bersalah.

Jamie terdiam. Ketika dia mendengar aku terus menangis dirinya menggeleng. "Gak papa. Itu masih bisa dijual walau jatuhnya barang rongsok." Dengan nada lemah Jamie menenangkan.

"Maafkan aku, Jam." Aku memeluknya sedih.

*

Benar seperti yang dikatakan Jamie, ponselnya masih tetap laku. Namun, dengan harga yang sangat murah. Dan lagi-lagi biaya perawatan Jamie, Ibu juga yang harus turun tangan. Wanita itu terpaksa menjual cincin emas mas kawin dari ayah dulu. Demi membayar biaya Jamie juga bayar sewa kontrakan.

Dua bulan full Jamie beristirahat total di rumah untuk memulihkan kondisi. Tugas dia untuk ambil cucian motor dan mengantarnya kembali pada pelanggan terpaksa aku yang mengerjakan.

Kehidupan rumah tangga kami benar-benar terasa berat. Sebenarnya aku sudah biasa menjalani ini. Namun, tidak bagi Jamie. Lelaki itu sering menahan lapar karena lauk yang Ibu sediakan tidak cocok di mulut dan perutnya. Jamie terbiasa memakan makanan enak. Sedangkan Ibu hanya bisa menyajikan sayuran. Membeli daging ayam bisa dihitung dengan jari.

Di usia enam bulan pernikahan, Jamie bertemu dengan teman lamanya. Namanya Aldi. Aku juga mengenal Aldi jaman sekolah dulu. Dia dan Jamie sama-sama idola pada waktu itu, karena keduanya mempunyai paras yang menawan.

Kata Jamie sekarang Aldi selain sibuk kuliah juga aktif di dunia model. Mengetahui kehidupan sang kawan susah, Aldi mengajak Jamie untuk ikut bergabung.

Tentu saja tawaran Aldi tidak ditolak oleh Jamie. Karena dia memang sangat membutuhkan pekerjaan. Apalagi kami juga butuh uang banyak untuk biaya persalinan nanti.

Akhirnya, melalui bantuan Aldi, Jamie menjalani profesi sebagai foto model. Dibandingkan menjadi pengantar cucian tentu saja Jamie lebih senang dengan profesi barunya. Honor pertama yang didapat ia berikan semua untukku.

"Doakan ayah banyak dapat job ya, Nak. Biar nanti kamu lahir kami bisa bayar rumah sakitnya," ujarnya suatu malam saat kami mulai bersiap tidur. Kami masih menempati ranjang sempit ini berdua. "Demi kamu ayah akan kerja keras, Sayang," janji Jamie sambil mengecup lembut perutku yang sudah membesar ini.

Namun, entah kenapa aku lebih suka Jamie yang dulu saat masih menjadi pengantar cucian. Sekarang waktu dia nyaris tidak ada untukku. Hari-harinya hanya diisi mencari casting. Pergi pagi, pulang malam. Kadang lolos kadang tidak.

Seperti malam ini, ketika tiba-tiba perutku mendadak mulas-mulas, Jamie belum juga pulang dari rumah. Ketika kutunjukan bercak darah berwarna merah muda di celana, Ibu mengatakan jika aku akan segera melahirkan.

Tentu saja aku butuh Jamie. Tapi, pria itu susah sekali dihubungi. Alhamdulillah ia bisa membeli ponsel kembali dengan honornya.

Sampai puluhan kali kutelepon, tidak diangkat juga. Padahal tersambung. Kenapa? Tidak patah semangat aku coba hubungi lagi. Alhamdulillah tersambung.

"Iya, Kiraaa ... ada apa?!" Seketika aku menjauhkan ponsel di telinga mendengar nada ketus dari suara Jamie di seberang sana. "Kok malah diam?" Jamie masih bercerocos keras. "Aku lagi sibuk tahu gak sih?!" Kembali aku dibuat ternganga mendengar nada kasarnya.

Next. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sesilia Delon II
sama belum labil
goodnovel comment avatar
Siti Rifatin
sama sama masih kecil
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   78. Sagara

    Pov author"Alhamdulillah!"Shakira meraupkan kedua tangannya pada wajah. Air matanya merembes. Namun, ini air mata kebahagiaan dan haru. Anaknya baru saja lolos dari maut."Aku ingin ketemu bayiku, W*." Shakira merengek. Ia ingin sekali melihat rupa putrinya. Dalam mimpi wajah sang putri terlihat samar."Nanti kalo Mbak Kira pulih, kita lihat bareng, ya." Salwa membujuk lembut.Shakira mengangguk manut. Pengaruh anastesi sudah mulai menghilang. Wanita itu meringis menahan perih di perut bekas sayatan operasi. Untuk menyamarkan sakit, dirinya memilih memejam kembali.Sementara itu Ibu yang kepayahan dari tadi siang merasa amat lelah. Wanita itu merebahkan tubuh pada sofa kecil yang tersedia di ruang itu. Tidak sampai lima menit dirinya sudah menyelami alam mimpi.Di sisi lain Salwa merasakan lapar yang menghebat. Terakhir kali ia makan tujuh jam lalu di kampusnya. Dia ingin mengajak Ibu. Namun, melihat sang Ibu tertidur dengan lelapnya, Salwa memilih pergi sendiri. Gadis itu meninggalk

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   77. Doa Jamie

    Pov Jamieidaaak!"Aku berseru takut. Sementara Ibu Siti dan Salwa pun sudah pecah tangisnya. Beruntung ada dokter didampingi perawat yang masuk untuk memeriksa bayi lain."Dokter, tolong bayi saya," mohonku dengan suara yang bergetar."Iya, Bapak mohon tenang dan tunggu di luar, ya." Pria berseragam itu mengangguk pelan."Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya akan saya bayar," desakku saking ketakutannya."Iya, Bapak tunggu di luar, ya!"Perawat pendamping dokter pun mendorong tubuhku untuk ke luar ruangan. Salwa dan Ibu Siti cukup patuh untuk beranjak sebelum disuruh. Sementara beberapa tenaga medis masuk untuk ikut melakukan tindakan.Aku yang merasa tidak bertenaga bersandar pada dinding. "Kamu harus kuat putraku," kataku pada diri sendiri.Mata ini kembali menatap ruangan di depan. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat putriku kecilku yang tengah mendapatkan penanganan.Tiba-tiba saja aku teringat Allah. Aku perlu menghadap Sang Pencipta. Akan k

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   76. Bayi Mungilku

    Lampu di atas pintu kamar operasi telah padam. Pertanda jika operasi telah usai. Hati ini kian dag dig dug rasanya. Harap-harap cemas. Ketika pintu terbuka, aku, Aldi, dan Sandrina langsung bangkit berdiri. Aku sendiri lekas beranjak menemui dokter pria yang sedang membuka masker wajahnya. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya dengan penasaran."Seperti yang sudah sangat saya jelaskan. Ibu dan anak sama-sama dalam keadaan bahaya," tutur Pak Dokter terdengar hati-hati. "Dan sesuai persetujuan jika kami harus memprioritaskan ibunya dulu--""Jadi anak saya gak selamat?" Aku menyambar karena takut. Rasanya tubuh ini terasa lemas. Dokter itu membetulkan letak kacamatanya. "Beruntungnya kami bisa menyelamatkan keduanya."Ucapan dokter tersebut laksana air es yang mengguyur kekeringan di hati ini. "Alhamdulillah!" Aku, Aldi dan Sandrina lagi-lagi kompak berseru karena lega. Tidak lupa aku langsung sujud syukur. "Terima kasih banyak ya Allah ...." Tangan ini meraup wajah deng

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   75. Kondisi Shakira

    (Pov Jamie) "Shakira?!"Seseorang memanggil nama istriku. Shakira sendiri mengangkat wajah. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda jika dia teramat kesakitan."Kamu gak papa, Kira?"Ternyata yang memanggil Shakira adalah Aldi. Pemuda itu datang bersama Sandrina. Keduanya gegas jongkok untuk menolong Shakira. Sedangkan aku masih membeku melihat darah merembes dari paha Shakira."Ini sakit banget, Nina," desis Shakira dengan tangan mencengkeram lengan Sandrina."Jamie, kok kamu cuma diam saja sih?" tegur Aldi tampak gemas, "cepetantolong selamatkan istri kamu!" desak Aldi sambil mengguncang lenganku.Aku tergagap. Syok membuat aku tidak mampu berpikir panjang. Dan sebenarnya diri ini sangat takut jika melihat darah. Namun, demi melihat wajah pucat Shakira aku harus kuat."Sa-kiiit ...." Shakirara merintih."Tolong jangan bicara lagi, Kira. Ini hanya akan membuatku semakin panik," pintaku kalut.Tanganku gemetar meraih pundak Shakira. Perlahan kuangkat tubuh wanita yang terus saja mendes

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   74. Musibah

    Malam minggu ini aku di rumah berdua saja sama Jamie. Kimie dari kemarin dibawa mama dan papanya Jamie untuk menginap di rumah mereka. "Jam, pergi nonton film di bioskop, yuk!" ajakku pada pria yang sedang asyik bermain game pada gadgetnya. Jamie menatapku dengan lekat. "Nonton film di bioskop?" Dia justru mengulangi perkataanku. "Iya nih, aku pengen banget nonton film KKN Di Desa Penari. Lagi sibuk banget nih di media sosial," jawabaku dengan wajah yang mupeng. "Jangan aneh-aneh deh, Kira." Mata Jamie kembali tertuju pada layar ipadnya. "Anehnya di mana? Orang istri pengen nonton film kok dibilang aneh," sahutku sedikit sewot. "Bukannya hari perkiraan lahir anak kita sebentar lagi?" tukas Jamie masih setia memainkan jarinya pada layar sentuh tersebut. "Lagian bukannya kamu paling anti sama film horor," imbuhnya sambil sedikit melirik padaku. "HPL anak kita masih dua minggu lagi kok." Aku mendekati pria yang malam ini begitu wangi itu. Padahal kemarin-kemarin aku justru membenc

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   73. Permintaan Konyol Shakira

    (POV Jamie) Yesss!" Aku meninju udara. "Terima kasih ya Allah," ucapku tulus sembari meraup wajahnya. "Yeahhh!"Aku kembali berseru gembira usai menerima telepon dari Shakira. Istri tercintaku mengabarkan habis test pack dan hasilnya positif.Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursi bersandaran tinggi ini. Blazer yang menyampir pada sandaran kursi lekas kukenakan. Setelah rapi kuraih ponsel dan kunci mobil baru melangkah ke luar menuju meja Tia, sekretarisku."Saya izin pulang, ya. Mau temani Shakira ke dokter," pamitku pada perempuan berkaca mata itu."Memang Bu Kira sakit apa, Pak Jamie?" tanya Tia tampak serius.Aku tersenyum kecil. "Kami mau cek ke dokter kandungan."Mulut Tia terbuka. "Ibu Shakira hamil?"Aku mengangguk pelan. "Barusan dites sih positif, tapi kami butuh kejelasan dari dokter. Doakan semoga berita ini benar, ya.""Aamiin." Tia langsung meraup wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnta selamat ya, Pak.""Sama-sama."Aku pun beranjak meninggalkan perempuan itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status