Share

7. Pernikahan

last update Last Updated: 2022-05-09 17:58:33

Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.

Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.

Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.

Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik. Menit berikutnya, Jamie menangis.

Calon suamiku menangis dalam diam. Tidak terdengar suaranya. Dia tampak bersedih. Berkali kucoba hapus air mata yang mengaliri pipinya, bulir bening itu kian luruh begitu deras. Membuat bapak penghulu bertanya apakah dia terpaksa dengan pernikahan ini.

Masih dengan menitikkan air mata, Jamie menggeleng lemah. Pemuda itu meminta waktu sebentar untuk menenangkan perasaan. Bapak penghulu mengizinkan. Jamie berdiam diri selama setengah jam. Setelah merasa hatinya sudah tertata, dia melanjutkan proses ijab qobul ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Shakira Rizky binti Ahmad Rizky. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus ribu rupiah."

Jamie mengucap ikrar itu dengan tenang. Suaranya masih terdengar lirih. Namun, cukup terdengar di telinga. Tidak ada kebahagiaan pada wajahnya.

Usai menandatangani buku nikah dan membaca sighat taklik, kami langsung pulang ke rumah. Kami menumpangi taksi. Seharusnya aku nyaman dengan kendaraan ini. Namun, hatiku justru merasa tidak enak. Terbayang seberapa banyak uang musti Ibu keluarkan.

Tidak ada pesta. Ibu menggelar walimatul ursy dengan sangat sederhana karena keterbatasan. Hanya tetangga dan kerabat dekat saja yang diundang.

Acara tidak berlangsung lama, hanya sebatas ungkapan syukur kepada Allah atas terselenggaranya pernikahan kami. Setelah itu menikmati jamuan makanan ala kadarnya. Banyak yang memuji aku beruntung karena mendapatkan pemuda seganteng Jamie.

"Menantunya tajir ya, Bu Siti, ganteng dan bersih," celoteh tetangga memuji Jamie, "tapi ... kok besannya gak kelihatan, Bu?" tanya ibu itu terlihat begitu kepo.

"Iya, kok gak hadir ya, Bu Siti? Kenapa? Apa ada masalah?" timpal tetangga yang lain juga penasaran.

Ibu hanya tersenyum. Wanita itu menyuruhku dan Jamie masuk ke kamar saja. Karena memang suasananya yang tidak nyaman, aku dan Jamie pun menurut.

Kami melepas atribut yang melekat di badan. Dengan malas Jamie mencopot jas hitamnya, lalu menyampirkan di kursi meja belajar. Aku sendiri mengganti kebaya putih sederhana ini dengan gamis baru pemberian dari Salwa. Gadis itu memecah celengan jagonya demi bisa membelikan aku kado pernikahan ini. Ketika tengah mengancingkan baju di depan cermin, kedua tangan Jamie melingkari perutku.

"Maafkan aku ya, Ki," ucapnya serak. Jamie meletakkan dagunya di pundakku. "Maafkan aku yang telah merusak masa depanmu. Bea siswa yang sudah kamu raih harus batal karena perbuatan bejatku." Suara Jamie bergetar lagi. Dari pantulan cermin kulihat dia menangis.

Aku memutar badan, lalu mendongak pada wajah basah itu. "Kenapa kamu menangis?" tanyaku perhatian. Jamie menggeleng sedih. "Apakah kamu menyesali pernikahan ini?" Kutatap matanya lekat.

Jamie menggeleng lemah. Dia menggeretku duduk di tepi ranjang. Jemariku ia genggam erat.

"Aku menangis karena menyesal," jawabannya terdengar jujur. "Andai aku bisa menahan bisikan setan dulu, mungkin kita sedang berbahagia. Aku akan kuliah ke luar negeri seperti keinginan mama papa. Kamu juga akan melanjutkan pendidikan untuk meraih impianmu," tutur Jamie terbata.

"Sudahlah! Semua sudah terjadi." Aku mengabaikan perasaan sedih yang menyelinap di hati. Jujur, omongan Jamie memantik penyesalan yang mendalam juga.

"Aku tahu perasaanmu, Kira." Jamie membesit hidungnya yang merah. Matanya pun kembali basah. "Bukan pernikahan seperti ini yang kamu harapkan, aku tahu. Bahkan untuk memberi mahar, aku harus pinjam uang ibumu seratus ribu untuk jadi mas kawin. Kira ... maafkan aku." Jamie kian tergugu dalam tangis.

Melihat dia begitu amat bersedih, mau tidak mau aku pun ikut menangis. Kudekap pemuda itu. Lantas bersandar di dadanya.

"Jamie, sedalam apapun kita menyesal tidak akan mengembalikan keadaan." Jamie menunduk menatap wajahku, sedangkan aku mendongak balas memandangnya. Kugenggam erat jemarinya. "Sekarang yang harus dilakukan adalah kita harus kuat. Kamu harus kerja untuk dia." Kutaruh telapak tangan Jamie di perut yang sudah tidak rata ini.

"Tentu!" Jamie menjawab semangat, "ayah akan kerja keras demi kamu, Sayang," lanjutnya sambil membelai lembut perutku. Jamie lantas turun merosot. Lelaki itu mencium perutku dengan penuh kasih sayang.

*

Mencari pekerjaan ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Satu minggu setelah pernikahan, Jamie berencana ingin mencari nafkah. Dengan semangat aku dan Jamie melingkari lowongan pekerjaan di koran. Setelah dapat Jamie mengurus berkasnya. Tentu saja semua biaya Ibu yang menanggung.

Namun, Jamie harus menelan pil pahit, selain karena memang hanya lulusan SMA saja, dia juga belum ada pengalaman. Ketika tengah menunggu panggilan, hari-hari Jamie diisi dengan hanya main game online di rumah.

Beban Ibu kian bertambah lagi. Dulu wanita itu hanya menanggung biaya hidup tiga orang saja. Kini kebutuhan Jamie sebagai putra menantu, Ibu juga yang tanggung. Belum lagi biaya cek kandunganku.

Lahir dari keluarga berada membuat Jamie tidak bisa bekerja keras. Lelaki itu kerap mengeluh kecapekan jika dia mintai tolong.

Aku memang membuka jasa cuci gosok untuk menekan biaya hidup. Karena jika hanya mengandalkan uang dari jasa jahit yang Ibu dapat, kebutuhan hidup kami akan keteteran. Apalagi aku juga memerlukan banyak uang untuk biaya lahiran nanti.

Pagi ini, Jamie telat bangun. Lelaki itu mengerjakan sholat subuh pun saat mentari sebentar lagi akan menampakkan diri. Usai beribadah Jamie memilih meringkuk kembali di ranjang sempit kami.

Aku berdecak gemas melihatnya. Pasalnya dia harus mengambil pakaian-pakaian kotor dari langganan.

"Jam ... bangun, Jam!" Kutarik lengannya. Seketika hati ini terperanjat mendapati lengan Jamie terasa panas. Pemuda itu masih setia menutup mata dengan sedikit meracau. Tanganku memeriksa dahinya. "Ya Allah! Kenapa panas begini?" Aku bercemas sedih. "Jam ...."

"Aku-aku pusing, Kira." Jamie menjawab lemah dan sama sekali tidak mau membuka mata.

Tanpa berpikir panjang aku lekas pergi ke warung untuk membeli obat. Namun, dua hari berlalu keadaan Jamie tidak kunjung membaik. Padahal obat dan kompres sudah kuberikan.

Di hari ketiga aku memutuskan untuk membawa Jamie ke rumah sakit karena keadaannya kian memburuk. Dia kehilangan selera makan dan panas dingin sepanjang hari. Setelah melalui serangkaian tes, ternyata Jamie terkena demam berdarah.

"Saudara Jamie harus diopname untuk perawatan yang maksimal," putus dokter sambil menyerahkan laporan laboratorium.

Kuterima hasil itu dalam resah. Karena bingung harus mencari biaya perawatan dari mana. Ibu sendiri tengah menanggung ongkos kontrakan bulan lalu dan bulan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   78. Sagara

    Pov author"Alhamdulillah!"Shakira meraupkan kedua tangannya pada wajah. Air matanya merembes. Namun, ini air mata kebahagiaan dan haru. Anaknya baru saja lolos dari maut."Aku ingin ketemu bayiku, W*." Shakira merengek. Ia ingin sekali melihat rupa putrinya. Dalam mimpi wajah sang putri terlihat samar."Nanti kalo Mbak Kira pulih, kita lihat bareng, ya." Salwa membujuk lembut.Shakira mengangguk manut. Pengaruh anastesi sudah mulai menghilang. Wanita itu meringis menahan perih di perut bekas sayatan operasi. Untuk menyamarkan sakit, dirinya memilih memejam kembali.Sementara itu Ibu yang kepayahan dari tadi siang merasa amat lelah. Wanita itu merebahkan tubuh pada sofa kecil yang tersedia di ruang itu. Tidak sampai lima menit dirinya sudah menyelami alam mimpi.Di sisi lain Salwa merasakan lapar yang menghebat. Terakhir kali ia makan tujuh jam lalu di kampusnya. Dia ingin mengajak Ibu. Namun, melihat sang Ibu tertidur dengan lelapnya, Salwa memilih pergi sendiri. Gadis itu meninggalk

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   77. Doa Jamie

    Pov Jamieidaaak!"Aku berseru takut. Sementara Ibu Siti dan Salwa pun sudah pecah tangisnya. Beruntung ada dokter didampingi perawat yang masuk untuk memeriksa bayi lain."Dokter, tolong bayi saya," mohonku dengan suara yang bergetar."Iya, Bapak mohon tenang dan tunggu di luar, ya." Pria berseragam itu mengangguk pelan."Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya akan saya bayar," desakku saking ketakutannya."Iya, Bapak tunggu di luar, ya!"Perawat pendamping dokter pun mendorong tubuhku untuk ke luar ruangan. Salwa dan Ibu Siti cukup patuh untuk beranjak sebelum disuruh. Sementara beberapa tenaga medis masuk untuk ikut melakukan tindakan.Aku yang merasa tidak bertenaga bersandar pada dinding. "Kamu harus kuat putraku," kataku pada diri sendiri.Mata ini kembali menatap ruangan di depan. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat putriku kecilku yang tengah mendapatkan penanganan.Tiba-tiba saja aku teringat Allah. Aku perlu menghadap Sang Pencipta. Akan k

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   76. Bayi Mungilku

    Lampu di atas pintu kamar operasi telah padam. Pertanda jika operasi telah usai. Hati ini kian dag dig dug rasanya. Harap-harap cemas. Ketika pintu terbuka, aku, Aldi, dan Sandrina langsung bangkit berdiri. Aku sendiri lekas beranjak menemui dokter pria yang sedang membuka masker wajahnya. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya dengan penasaran."Seperti yang sudah sangat saya jelaskan. Ibu dan anak sama-sama dalam keadaan bahaya," tutur Pak Dokter terdengar hati-hati. "Dan sesuai persetujuan jika kami harus memprioritaskan ibunya dulu--""Jadi anak saya gak selamat?" Aku menyambar karena takut. Rasanya tubuh ini terasa lemas. Dokter itu membetulkan letak kacamatanya. "Beruntungnya kami bisa menyelamatkan keduanya."Ucapan dokter tersebut laksana air es yang mengguyur kekeringan di hati ini. "Alhamdulillah!" Aku, Aldi dan Sandrina lagi-lagi kompak berseru karena lega. Tidak lupa aku langsung sujud syukur. "Terima kasih banyak ya Allah ...." Tangan ini meraup wajah deng

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   75. Kondisi Shakira

    (Pov Jamie) "Shakira?!"Seseorang memanggil nama istriku. Shakira sendiri mengangkat wajah. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda jika dia teramat kesakitan."Kamu gak papa, Kira?"Ternyata yang memanggil Shakira adalah Aldi. Pemuda itu datang bersama Sandrina. Keduanya gegas jongkok untuk menolong Shakira. Sedangkan aku masih membeku melihat darah merembes dari paha Shakira."Ini sakit banget, Nina," desis Shakira dengan tangan mencengkeram lengan Sandrina."Jamie, kok kamu cuma diam saja sih?" tegur Aldi tampak gemas, "cepetantolong selamatkan istri kamu!" desak Aldi sambil mengguncang lenganku.Aku tergagap. Syok membuat aku tidak mampu berpikir panjang. Dan sebenarnya diri ini sangat takut jika melihat darah. Namun, demi melihat wajah pucat Shakira aku harus kuat."Sa-kiiit ...." Shakirara merintih."Tolong jangan bicara lagi, Kira. Ini hanya akan membuatku semakin panik," pintaku kalut.Tanganku gemetar meraih pundak Shakira. Perlahan kuangkat tubuh wanita yang terus saja mendes

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   74. Musibah

    Malam minggu ini aku di rumah berdua saja sama Jamie. Kimie dari kemarin dibawa mama dan papanya Jamie untuk menginap di rumah mereka. "Jam, pergi nonton film di bioskop, yuk!" ajakku pada pria yang sedang asyik bermain game pada gadgetnya. Jamie menatapku dengan lekat. "Nonton film di bioskop?" Dia justru mengulangi perkataanku. "Iya nih, aku pengen banget nonton film KKN Di Desa Penari. Lagi sibuk banget nih di media sosial," jawabaku dengan wajah yang mupeng. "Jangan aneh-aneh deh, Kira." Mata Jamie kembali tertuju pada layar ipadnya. "Anehnya di mana? Orang istri pengen nonton film kok dibilang aneh," sahutku sedikit sewot. "Bukannya hari perkiraan lahir anak kita sebentar lagi?" tukas Jamie masih setia memainkan jarinya pada layar sentuh tersebut. "Lagian bukannya kamu paling anti sama film horor," imbuhnya sambil sedikit melirik padaku. "HPL anak kita masih dua minggu lagi kok." Aku mendekati pria yang malam ini begitu wangi itu. Padahal kemarin-kemarin aku justru membenc

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   73. Permintaan Konyol Shakira

    (POV Jamie) Yesss!" Aku meninju udara. "Terima kasih ya Allah," ucapku tulus sembari meraup wajahnya. "Yeahhh!"Aku kembali berseru gembira usai menerima telepon dari Shakira. Istri tercintaku mengabarkan habis test pack dan hasilnya positif.Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursi bersandaran tinggi ini. Blazer yang menyampir pada sandaran kursi lekas kukenakan. Setelah rapi kuraih ponsel dan kunci mobil baru melangkah ke luar menuju meja Tia, sekretarisku."Saya izin pulang, ya. Mau temani Shakira ke dokter," pamitku pada perempuan berkaca mata itu."Memang Bu Kira sakit apa, Pak Jamie?" tanya Tia tampak serius.Aku tersenyum kecil. "Kami mau cek ke dokter kandungan."Mulut Tia terbuka. "Ibu Shakira hamil?"Aku mengangguk pelan. "Barusan dites sih positif, tapi kami butuh kejelasan dari dokter. Doakan semoga berita ini benar, ya.""Aamiin." Tia langsung meraup wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnta selamat ya, Pak.""Sama-sama."Aku pun beranjak meninggalkan perempuan itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status