Share

7. Pernikahan

Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.

Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.

Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.

Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik. Menit berikutnya, Jamie menangis.

Calon suamiku menangis dalam diam. Tidak terdengar suaranya. Dia tampak bersedih. Berkali kucoba hapus air mata yang mengaliri pipinya, bulir bening itu kian luruh begitu deras. Membuat bapak penghulu bertanya apakah dia terpaksa dengan pernikahan ini.

Masih dengan menitikkan air mata, Jamie menggeleng lemah. Pemuda itu meminta waktu sebentar untuk menenangkan perasaan. Bapak penghulu mengizinkan. Jamie berdiam diri selama setengah jam. Setelah merasa hatinya sudah tertata, dia melanjutkan proses ijab qobul ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Shakira Rizky binti Ahmad Rizky. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus ribu rupiah."

Jamie mengucap ikrar itu dengan tenang. Suaranya masih terdengar lirih. Namun, cukup terdengar di telinga. Tidak ada kebahagiaan pada wajahnya.

Usai menandatangani buku nikah dan membaca sighat taklik, kami langsung pulang ke rumah. Kami menumpangi taksi. Seharusnya aku nyaman dengan kendaraan ini. Namun, hatiku justru merasa tidak enak. Terbayang seberapa banyak uang musti Ibu keluarkan.

Tidak ada pesta. Ibu menggelar walimatul ursy dengan sangat sederhana karena keterbatasan. Hanya tetangga dan kerabat dekat saja yang diundang.

Acara tidak berlangsung lama, hanya sebatas ungkapan syukur kepada Allah atas terselenggaranya pernikahan kami. Setelah itu menikmati jamuan makanan ala kadarnya. Banyak yang memuji aku beruntung karena mendapatkan pemuda seganteng Jamie.

"Menantunya tajir ya, Bu Siti, ganteng dan bersih," celoteh tetangga memuji Jamie, "tapi ... kok besannya gak kelihatan, Bu?" tanya ibu itu terlihat begitu kepo.

"Iya, kok gak hadir ya, Bu Siti? Kenapa? Apa ada masalah?" timpal tetangga yang lain juga penasaran.

Ibu hanya tersenyum. Wanita itu menyuruhku dan Jamie masuk ke kamar saja. Karena memang suasananya yang tidak nyaman, aku dan Jamie pun menurut.

Kami melepas atribut yang melekat di badan. Dengan malas Jamie mencopot jas hitamnya, lalu menyampirkan di kursi meja belajar. Aku sendiri mengganti kebaya putih sederhana ini dengan gamis baru pemberian dari Salwa. Gadis itu memecah celengan jagonya demi bisa membelikan aku kado pernikahan ini. Ketika tengah mengancingkan baju di depan cermin, kedua tangan Jamie melingkari perutku.

"Maafkan aku ya, Ki," ucapnya serak. Jamie meletakkan dagunya di pundakku. "Maafkan aku yang telah merusak masa depanmu. Bea siswa yang sudah kamu raih harus batal karena perbuatan bejatku." Suara Jamie bergetar lagi. Dari pantulan cermin kulihat dia menangis.

Aku memutar badan, lalu mendongak pada wajah basah itu. "Kenapa kamu menangis?" tanyaku perhatian. Jamie menggeleng sedih. "Apakah kamu menyesali pernikahan ini?" Kutatap matanya lekat.

Jamie menggeleng lemah. Dia menggeretku duduk di tepi ranjang. Jemariku ia genggam erat.

"Aku menangis karena menyesal," jawabannya terdengar jujur. "Andai aku bisa menahan bisikan setan dulu, mungkin kita sedang berbahagia. Aku akan kuliah ke luar negeri seperti keinginan mama papa. Kamu juga akan melanjutkan pendidikan untuk meraih impianmu," tutur Jamie terbata.

"Sudahlah! Semua sudah terjadi." Aku mengabaikan perasaan sedih yang menyelinap di hati. Jujur, omongan Jamie memantik penyesalan yang mendalam juga.

"Aku tahu perasaanmu, Kira." Jamie membesit hidungnya yang merah. Matanya pun kembali basah. "Bukan pernikahan seperti ini yang kamu harapkan, aku tahu. Bahkan untuk memberi mahar, aku harus pinjam uang ibumu seratus ribu untuk jadi mas kawin. Kira ... maafkan aku." Jamie kian tergugu dalam tangis.

Melihat dia begitu amat bersedih, mau tidak mau aku pun ikut menangis. Kudekap pemuda itu. Lantas bersandar di dadanya.

"Jamie, sedalam apapun kita menyesal tidak akan mengembalikan keadaan." Jamie menunduk menatap wajahku, sedangkan aku mendongak balas memandangnya. Kugenggam erat jemarinya. "Sekarang yang harus dilakukan adalah kita harus kuat. Kamu harus kerja untuk dia." Kutaruh telapak tangan Jamie di perut yang sudah tidak rata ini.

"Tentu!" Jamie menjawab semangat, "ayah akan kerja keras demi kamu, Sayang," lanjutnya sambil membelai lembut perutku. Jamie lantas turun merosot. Lelaki itu mencium perutku dengan penuh kasih sayang.

*

Mencari pekerjaan ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Satu minggu setelah pernikahan, Jamie berencana ingin mencari nafkah. Dengan semangat aku dan Jamie melingkari lowongan pekerjaan di koran. Setelah dapat Jamie mengurus berkasnya. Tentu saja semua biaya Ibu yang menanggung.

Namun, Jamie harus menelan pil pahit, selain karena memang hanya lulusan SMA saja, dia juga belum ada pengalaman. Ketika tengah menunggu panggilan, hari-hari Jamie diisi dengan hanya main game online di rumah.

Beban Ibu kian bertambah lagi. Dulu wanita itu hanya menanggung biaya hidup tiga orang saja. Kini kebutuhan Jamie sebagai putra menantu, Ibu juga yang tanggung. Belum lagi biaya cek kandunganku.

Lahir dari keluarga berada membuat Jamie tidak bisa bekerja keras. Lelaki itu kerap mengeluh kecapekan jika dia mintai tolong.

Aku memang membuka jasa cuci gosok untuk menekan biaya hidup. Karena jika hanya mengandalkan uang dari jasa jahit yang Ibu dapat, kebutuhan hidup kami akan keteteran. Apalagi aku juga memerlukan banyak uang untuk biaya lahiran nanti.

Pagi ini, Jamie telat bangun. Lelaki itu mengerjakan sholat subuh pun saat mentari sebentar lagi akan menampakkan diri. Usai beribadah Jamie memilih meringkuk kembali di ranjang sempit kami.

Aku berdecak gemas melihatnya. Pasalnya dia harus mengambil pakaian-pakaian kotor dari langganan.

"Jam ... bangun, Jam!" Kutarik lengannya. Seketika hati ini terperanjat mendapati lengan Jamie terasa panas. Pemuda itu masih setia menutup mata dengan sedikit meracau. Tanganku memeriksa dahinya. "Ya Allah! Kenapa panas begini?" Aku bercemas sedih. "Jam ...."

"Aku-aku pusing, Kira." Jamie menjawab lemah dan sama sekali tidak mau membuka mata.

Tanpa berpikir panjang aku lekas pergi ke warung untuk membeli obat. Namun, dua hari berlalu keadaan Jamie tidak kunjung membaik. Padahal obat dan kompres sudah kuberikan.

Di hari ketiga aku memutuskan untuk membawa Jamie ke rumah sakit karena keadaannya kian memburuk. Dia kehilangan selera makan dan panas dingin sepanjang hari. Setelah melalui serangkaian tes, ternyata Jamie terkena demam berdarah.

"Saudara Jamie harus diopname untuk perawatan yang maksimal," putus dokter sambil menyerahkan laporan laboratorium.

Kuterima hasil itu dalam resah. Karena bingung harus mencari biaya perawatan dari mana. Ibu sendiri tengah menanggung ongkos kontrakan bulan lalu dan bulan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status