Share

07. Gadis jelek

Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.

Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.

Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.

1. Deon                       2. Han

Pilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!

"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?"

"Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon yang tampan, mapan, mempesona plus muda. Huaaaa ... Ini pilihan yang menyulitkan! Mending gue pilih Capres dari pada Cace!"

Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. "Lo ngomong apa tadi? Gue gagal paham. Lo salah bilang ya? Yang ada tuh, capcin, cappuccino cincau."

Alana memutar bola mata. "Cace maksud lo?"

"Ho'oh, itu sejenis makanan?"

"Astaga .... " Alana menghembuskan napas keras-keras. "Itu tuh, calon CEO, bukan sejenis makanan minuman atau apalah!"

Ava meringis pelan. "Maaf La, gue nggak tahu."

"Jadi, lo tetap nyalonin diri jadi sekretaris?"

"Iya, biar bisa sama Pak Han." Ava tersenyum malu-malu.

"Memang ada lowongan kerja buat sekretaris?" Alana tersenyum tipis. "Kalau ada, gue juga mau daftarin diri."

Ava dan Alana kini sama-sama menunggu pintu lift di lobi utama terbuka agar mereka segera ke kantor lantai tiga.

Ava melirik Alana. "Waah! Kita jadi satu jabatan dong!" ucap Ava antusias.

Alana mengangguk. "Kita bisa tetap jadi teman kantor."

Ava berpikir sejenak. "Ta-tapi, memang CEO butuh dua sekretaris?"

Pintu lift terbuka, dua gadis itu masuk ke dalam lift.

"Kayaknya satu deh, kita lihat aja nanti."

"Lo mau jadi sekretaris karena apa?" Ava mendongak, menatap Alana. "Lo suka Pak Han?"

"Enggak," Alana menunduk, membalas tatapan polos Ava. "Gue suka Deon."

Ava melotot kaget. "Pa-Pak Deon? Lo suka cowok kayak gitu? Dia numpahin jus sembarangan ke gue, katain gue jelek, dan buat gue malu di depan semua orang. Lo masih suka dia?"

Alana mengernyitkan dahi. "Terus? Itu kan masalah lo, bukan gue. Dia jahat ke elo, bukan gue. Karena lo nggak suka dia, bukan berarti gue juga harus ikut benci dia."

Ava tertohok. "Ta-tapi kan .... "

"Ingat ya Va, kita ini cuma teman. Apa yang lo rasakan sekarang, itu bukan tanggung jawab gue. Yang nggak suka Deon itu lo, bukan gue."

Pintu lift terbuka.

Alana dengan cepat keluar dari dalam lift, sedangkan Ava masih mematung di dalam lift dengan raut wajah sedih menatap kepergian Alana.

"Ava!"

Teriakan itu membuat Alana menghentikan langkah, ia menoleh kebelakang. Menatap Han yang sedang menarik tangan Ava agar keluar dari dalam lift. Alana mengepalkan tangan, ia menghentakkan kaki kesal ke ubin lantai dan melanjutkan langkah menuju kantor tempatnya bekerja.

"Pa-Pak Han?"

Han tersenyum. "Iya, ini saya. Kamu kenapa kelihatan kaget?"

"Ah ... Saya belum terbiasa aja, Pak." ia menatap kebelakang punggung Han, lalu mendesah kecewa tidak melihat Alana disana.

Han mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Bukan apa-apa, Pak." Ava mendongak. "Pak Han kenapa manggil saya?"

"Oh itu, saya mau kamu mencalonkan diri jadi sekretaris calon CEO baru." ucap Han dengan suara sengaja di pelankan. "Kamu mau, kan?"

Ava tersipu malu. "I-iya saya mau, Pak."

Han tanpa sadar menepuk-nepuk dengan gemas puncak kepala gadis itu. "Kamu pilih saya, kan?"

Ava menahan debaran di dadanya yang bergemuruh. "Ma-maksud Pak Han?"

Han terkekeh pelan. "Kamu pilih saya di aplikasi pemilihan CEO?"

"Oh .... " Ava berpikir sebentar. "Ah, iya! Saya pilih Pak Han." sahutnya riang.

"Bagus, gadis manis."

Ava menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. "Pa-Pak Han jangan ngomong gitu dong, saya malu."

Han tertawa puas. "Terima kasih." ucapnya tiba-tiba yang membuat Ava kebingungan.

"Makasih buat apa, Pak?" tanya Ava setelah menurunkan kedua telapak tangannya yang menutup muka.

"Makasih karena sudah berhasil buat saya suka dengan kamu. Makasih, karena akhirnya saya bisa merasakan bahagia hanya dengan melihat wajah kamu. Saya bisa bersikap tidak kaku hanya di depan kamu, Ava."

"Sa-saya?"

Han mengangguk. "Kamu tahu, kan? Saya menyukaimu."

"Sa-saya juga, Pak."

Apakah ini adalah jawaban dari doa-doa yang Ava panjatkan kepada Yang Maha Kuasa?

Ia ingin ada seseorang yang datang dan mewarnai kehidupannya.

Dan apakah seseorang itu adalah Han?

Han menarik napas. "Saya pergi dulu ya, tunggu saya di jam makan siang."

Ava tersenyum. "Iya Pak, selamat bekerja!"

"Kamu juga."

Ava tersenyum lebar dan melambai riang kepada Han yang berjalan menjauh meninggalkannya.

Han berbelok dan tak terlihat lagi. Ava memegangi dadanya dan memutar tubuh dengan bahagia.

Bruk!

"Astaga!" Ava terjatuh di ubin lantai di depan lift. Ia mendongak sambil meringis. "Pa-Pak Deon?" kagetnya pelan.

Deon melepas kaca mata hitamnya. "Apa? Lo barusan manggil gue apa?"

Ava terbelalak. "Lo?" beo nya semakin kaget karena Deon tidak menggunakan bahasa formal di kantor.

Deon menyugar rambutnya ke belakang. "Jangan harap gue mau ngomong saya-kamu, ke cewek jelek kayak lo. Bahasa sopan gue cuma berlaku buat orang cakep."

Ava mengerutkan dahi. "Ta-tapi Pak Deon manggil saya 'kamu' saat di lobi kemarin."

Deon tertawa mengejek. "Cewek bego kayak lo mana paham arti pencitraan. Dan satu lagi, jangan panggil gue 'Pak'. Karena gue bukan bapak lo, paham?"

Ava bangkit dari duduknya sembari meringis karena merasakan nyeri di pergelangan kakinya. "Jadi, sa-saya harus manggil apa?"

"Tuan, panggil gue Tuan Deon."

Ava mengganggukkan kepala takut. "Ba-baik, Tuan."

"Bagus, lo kelihatan makin jelek kalau nurut."

Ava menggigit bibir bawahnya, ucapan Deon membuat hatinya sakit. "Kalau gitu, saya permisi dulu."

"Woy!" panggil Deon saat Ava hendak memutar tubuh.

Ava menghentikan gerakannya. "Kenapa, Tuan?"

Deon tersenyum bangga saat Ava memanggilnya dengan sebutan 'Tuan'. "Joged dulu!" bentak Deon.

"Ha?" Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. "Ma-maksud Tuan?"

"Mulai sekarang, kalau lo ketemu gue, lo harus joged sebagai tanda hormat lo ke gue. Setelah joged, baru lo boleh pergi."

Ava masih tidak percaya bahwa Deon bertingkah sangat kekanakan seperti sekarang. Deon terlihat berbeda ketika di depan umum, ia sangat bekarisma dan tegas.

"Kenapa? Lo kaget gue kayak gini?" Deon tertawa. "Selain jelek, lo bego juga ya. Ckck, seharusnya lo bangga bisa lihat sikap asli gue."

"Bangga?" Ava menggelengkan kepala. "Sa-saya tidak merasa bangga, Tuan."

Ekspresi jahil Deon langsung berubah ke dalam mode tegas. "Sekarang joged!"

"Ta-tapi saya bisa telat, Tuan."

"Gue nggak peduli!"

Ava menahan diri agar tidak menangis. Mengapa ia harus bertemu Deon?

Ava sangat membenci Deon semenjak hari pertama mereka bertemu.

"Hitung-hitung ini permintaan maaf lo karena sembarangan mutar-mutar badan. Lo juga nyentuh baju mahal gue, mungkin ada virus yang nempel di baju gue."

"Ta-tapi, Tuan juga pernah sembarangan siram jus ke baju saya." Ava berusaha membela dirinya. "Dan, Tuan Deon tidak minta maaf."

"Lo ngelawan?"

"E-enggak Tuan."

"Yaudah joged!"

Mata Ava sudah berkaca-kaca. Ia dengan kaku memutar tubuh, mengacungkan kedua jempolnya. Lalu berjalan ke kiri dan kanan, menggoyang-goyangkan kepala.

Deon mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Ia tertawa melihat goyangan Ava yang sangat kaku.

"Senyum dong!"

Ava terperanjat mendengar bentakan itu, dengan terpaksa ia tersenyum lebar dan semakin membuat Deon tertawa keras di atas penderitaan Ava.

Ava melompat-lompat kecil, ia menggerakkan asal tangannya, lalu memutar-mutar kepalanya dengan kencang hingga helai rambutnya berantakan.

Deon tertawa kencang, ia melihat bahwa pintu lift hampir terbuka. Dengan cepat Deon berjalan meninggalkan Ava yang masih berjoged.

Ava memutar tubuhnya sekencang mungkin, ia menghentakkan kaki seperti orang gila ke ubin lantai. Sebenarnya Ava sedang melampiaskan ke kesalannya kepada Deon lewat hentakan kakinya.

Pintu lift terbuka dan mereka langsung disuguhi pemandangan Ava yang sedang menari sembarangan.

Mereka tertawa, merekam Ava dengan ponsel dan mempostingnya di sosial media.

Ava tersadar bahwa ia tidak mendengar suara tawa Deon melainkan suara tawa yang begitu ramai. Ava menghentikan tariannya, dan memperbaiki tatanan rambutnya yang berantakan.

Ava mengedarkan pandang, memandang orang-orang yang ramai sedang menertawakannya. Ia mencari keberadaan Deon, namun ia tidak menemukan Deon.

"Hahaha, sejak kapan ada orang gila disini?"

"Jogednya ngasal banget ya,"

"Duh, dia nggak punya malu joged-joged di sini?"

"Mana ada yang mau sama cewek kayak gitu."

Ava menunduk takut, dengan perasaan campur aduk ia berlari meninggalkan tempat itu.

Namun Ava tiba-tiba menabrak tubuh seseorang.

"Aw!"

Ava membungkuk-kan badannya berkali-kali. "Maaf, maaf, maaf." ujarnya dengan suara bergetar.

"Hei! Kamu punya mata tidak?"

"Maaf, saya tidak sengaja. Maaf."

Ava meninggalkan orang-orang yang sedang menertawakannya. Dan berlari kencang tanpa melihat siapa sosok wanita yang ia tabrak tadi.

Ia menangis, tidak menyangka bahwa Deon akan memperlakukannya se-jahat itu.

Ava sangat membenci lelaki bernama Deon.

**

Suara dentuman musik terdengar mengisi keramaian ruangan itu. Kerlap-kerlip lampur warna-warni menerangi kegelapan ruangan itu.

Malam ini, Deon memutuskan untuk pergi ke klub, ia ingin bersenang-senang bersama teman-temannya.

Deon meneguk minumannya. Ia memainkan ponsel, lalu tiba-tiba tertawa.

"Lo kenapa dah?"

Deon menoleh, ia tersenyum sembari menggeleng. "Gak kenapa-kenapa."

"Dih sok manis anjir," Aryan menyesap ujung batang rokoknya. "Lo memang gak niat?"

Deon menoleh malas. "Gak, cewek Indo bukan tipe gue." sahut Deon, lalu kembali menatap ponselnya, menonton hasil rekamannya saat di kantor tadi pagi. Ia kembali tertawa, mengingat bagaimana lucunya Ava saat berjoged.

Deon berdeham, ia langsung mematikan ponsel. "Lucu apanya njing, jelek gitu." gumam Deon pelan karena kesal pada dirinya sendiri.

Arga menghentikan cumbuannya pada wanita cantik yang sedang duduk di panggkuannya. "Yon, mau cicip nggak? Enak yang ini."

Deon menoleh malas. "Gue nggak mau bekas." ia menatap wanita yang sedang di pangkuan Arga. "Apalagi bekas lo, haram."

Aryan tergelak.

Sedangkan wanita yang di pangkuan Arga merasa tersinggung dengan ucapan Deon. Ia dengan cepat meraup rakus bibir Arga dan melumatnya membuat Arga mengeluarkan suara aneh.

"Anjir, volume desahnya pelanin dikit." gumam Aryan. "Kalau kayak gini gue jadi pengin,"

Deon berdecak. "Murahan banget lo semua.".

"Halah Yon, Yon. Gue paham kok selera lo yang bule-bule. Tapi sesekali cicipin lokal lah, rasanya ah mantap."

"Mantap apanya?" Deon memandang Arga dan wanita di pangkuan Arga yang sedang bercumbu panas. "Murahan kok mantap."

"Anjir!" Arga mengumpat saat bibirnya di gigit keras oleh wanita di hadapannya. "Lu ngapa dah? Main gigit-gigit aja," ia mengusap bibir bawahnya yang mengeluarkan darah.

Aryan kembali terbahak. "Sampai berdarah njir! Gila-gila, agresif banget."

Wanita itu turun dari pangkuan Arga. "Gratis." ucapnya tiba-tiba pada Deon yang tampak acuh.

Arga terbelalak. "Heh, lo barusan main sama gue!" teriaknya pada wanita yang tidak ia kenal itu. "Enak aja lo main dua, gue belum selesai!"

Deon memalingkan wajah. "Lo sembah sujud di depan gue, gue nggak bakalan mau nyentuh lo."

Wanita itu menggeram kesal, ia meraih paksa jus di tangan Deon dan menyiramkannya pada Arga.

Arga kaget.

"Lo nggak perlu bayar gue!" teriak wanita itu dan pergi.

Aryan memeluk diri ketakutan. "Itu cewek kenapa dah? Kesalnya ke Deon, lampiasinnya ke Arga. Mama, selamatkan anak mu ini." ujarnya dramatis.

Arga mengusap wajahnya dengan tissue yang terkena jus. "Bacot lo, nggak usah pura-pura polos. Korban lo udah banyak!"

Aryan tertawa tanpa dosa. "Lihat! Ada cewek aneh!"

Deon menaikkan satu alis, ia mengikuti arah pandang Aryan.

Sosok gadis berkaca mata bulat, dengan dress selutut sedang memeluk dirinya sendiri di tengah-tengah keraiman orang-orang yang menatapnya aneh.

Deon mengerjap.

Gadis jelek?

Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.

Gadis itu adalah Ava.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status