Tanganku gemetar meraih kamera yang nyaris tidak berbentuk itu lagi. Pecahan berserakan di sekitar ubin.
Jangan-jangan ketidak beradaan Irma pagi ini ada hubungannya dengan tamu yang di lihat datang ke rumahku.
Mungkin saja seseorang misterius yang terlihat oleh Irma itu, mengetahui niatnya ingin merekam. Lalu orang itu menculik Irma dan anak-anaknya. (Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai pelaut)
Tiba-tiba aku merinding, rasa takut menguasai pikiran. Orang yang dilihat Irma mungkin adalah seorang begal yang mengintai pintu-pintu rumah warga sekitar sini.
Ya Tuhan...b*dohnya aku. Tega sekali aku mengantarkan Irma pada sebuah musibah. Seandainya aku tidak menantangnya kemaren tentu ia dan anak-anaknya masih aman di sini.
Sekarang pada siapa harus kulaporkan semua ini?
Kalau kulaporkan pada warga di sini, aku yakin akan terjadi kehebohan dan ketakutan. Namun, kalau didiamkan saja bisa-bisa Irma dan anak-anaknya tidak akan selamat.
Apa aku bilang saja pada suamiku dulu? Ya, rasanya itu adalah satu-satunya jalan terbaik.
Aku segera beranjak keluar tapi, ketika aku membuka pintu yang tadi tertutup separuh tiba-tiba saja seseorang menerobos masuk, menabrak bahuku cukup keras.
"Irma!" Pekikku kaget.
"Mala ..." Ia terlihat lebih kaget dariku. Ya tentu saja, aku masuk ke dalam rumahnya saat ia tidak ada di rumah.
Tetapi ia terlihat baik-baik saja. Hanya saja pakaiannya saja yang terlihat acak-acakan. Kerudung di kepalanya itu sudah tidak simetris. Keringat nampak bercucuran di keningnya. Oh syukurlah, setidaknya ia tidak di culik seperti yang ada di pikiranku tadi.
"Irma... jangan berpikir yang macam-macam dulu. Aku masuk ke rumahmu ada alasannya."
Aku cepat-cepat berinisiatif bicara sebelum Irma berpikiran yang tidak-tidak.
Matanya menyipit ke arahku tetapi kemudian ia beranjak melewatiku begitu saja.
Aku terbengong. Aku pikir ia akan marah dan bertanya macam-macam padaku.
Aku tidak percaya ia se-cuek itu, pada orang asing yang masuk rumahnya tanpa sepengetahuannya.
Bukannya aku terus melanjutkan niat ke luar, malah mengikuti Irma kembali masuk ke dalam.
"Kamu, tidak apa-apakan, Irma?" Bagaimanapun, melihat penampilan nya seperti ini cukup menghawatirkan. Karena biasanya penampilan Irma selalu terlihat perfek dan bersih.
"Ti-tidak. Mak-maksudku, tentu aku baik-baik saja ... memangnya apa yang akan terjadi padaku!" ucapnya keras tapi, terdengar sedikit tergagap.
Aku terus mengikuti Irma. Seperti ia tidak sedang baik-baik saja. Melihat dari cara ia bertindak terlihat orang kebingungan.
Ia berjalan ke dapur. Bolak balik di sana, tanpa mengambil apa-apa ia kembali keruang tengah. Ia menatapku sebentar kemudian ia cepat-cepat mengalihkan pandangan.
"Ada apa, Irma?" tanyaku, ketika instingku menangkap nada sesuatu yang disembunyikannya. Sorot matanya terlihat sangat cemas.
Ia hanya diam. Bolak balik diruangan ini dan itu berlangsung beberapa menit. Sebelum kemudian ia membuka pintu sebuah ruangan yang aku rasa adalah kamarnya.
Cukup lama juga ia berada dalam kamar itu. Lalu aku tidak bisa menghentikan rasa penasaran, lantas kaki inipun melangkah bermaksud masuk ke dalam.
Aku terdiam di depan pintu. Ketika melihat Irma dengan tergesa memasukkan pakaian yang berada di lemari ke koper besar.
"Irma ... kamu mau kemana?"
Tidak ada jawaban.
Aku gemas dengan tingkahnya, lalu aku menyentuh bahunya.
"Irma, apa ini ada hubungannya dengan seseorang yang kamu lihat itu?"
"Tidak, Mala. Aku hanya sedang kacau sekarang." Bahunya terguncang, lalu samar terdengar isakan kecil.
"Irma ..." Aku menyentuh bahunya lembut.
"Aku hancur, Mala. Seseorang memberiku kabar kalau suamiku ternyata punya wanita lain!" Isaknya keras.
Aku terbelalak mendengarnya. Benarkah?
"Lalu, kamu mau pergi ke mana sekarang? Mana anak-anakmu?" Aku begitu khawatir padanya.
"Aku mau pergi memenangkan diri ke kampung dulu. Anak-anak kutitip pada kakak sepupuku yang tinggal di komplek sebelah, selagi aku berkemas." jelasnya, terdengar sambil menahan isakan.
"Aku sungguh berharap semuanya baik-baik saja Irma. Tenangkanlah hatimu. Semoga kabar yang kamu dengar itu tidak sepenuhnya benar. Tetaplah sabar demi anak-anaknya." Aku hanya bisa berkata seperti itu. Semoga sedikit menenangkan hatinya.
Aku terus mengawasinya berkemas. Sesekali ia menghapus air mata dengan punggung tangannya. Ah, seandainya kami lebih dekat sebelumnya tentu aku akan sedikit lebih leluasa membesarkan hatinya. Tetapi kami hanya sebatas tetangga yang hanya saling ber say hello sesekali saat bertemu. Namun, tetap saja aku masih belum beranjak dari sini. Mataku ikut berembun melihat kesedihan yang berusaha disembunyikannya.
Setelah semua selesai ia kemas. Irma menatapku dengan sorot mata yang membuatku sedikit ngeri. Entah kenapa Irish yang memerah itu terasa menyiratkan sebuah pesan kewaspadaan.
"Mala ..." Ia mengejutkanku dengan nada panggilan yang entah kenapa membuat dadaku berdetak cepat.
"I-iya ..."
Ia berjalan perlahan ke arahku. Kemudian jemarinya itu menyentuh telapak tanganku yang sedang bertaut.
"Aku sebenarnya mau jujur padamu, kuharap kamu mau memaafkanku."
Aku menatap wajah bersimbah air mata yang membuat hatiku begitu tersayat.
"Sebenarnya, seseorang yang aku katakan Selalu berkunjung kerumahmu setiap malam ..."
Ucapannya menggantung, digantikan oleh isakan yang begitu pilu.
"Apa, Irma?" Aku mengutuk bibirku ini. Pertanyaan yang bernada desakan itu meluncur begitu saja. Seharusnya aku menunggu saja sampai Irma tenang dari tangisnya itu.
"Sebenarnya ... orang itu ... sebenarnya orang itu tidak ada. Aku hanya mengada-ada ...."
"Irma ..."
" Maafkan, aku, Mala ... sungguh aku minta maaf." Ia mengatupkan kedua tangannya ke arahku.
Aku tidak tahan dengan tangis dan sorot penyesalan di mata itu. Lantas aku meraih tubuh Irma ke pelukanku.
"Sudahlah, Irma. Itu bukan sesuatu yang besar. Aku tidak marah dengan hal itu." Aku mengusap-usap punggung Irma dengan lembut.
Irma melepaskan pelukan kami. Lalu ia ia mengarahkan pandanganku ke kamera yang hancur di ubin.
"Aku juga minta maaf atas kamera itu. Anak-anakku, mereka mengira itu mainan, dan membantingnya."
Aku mengangguk, meyakinkan dari tatapan mata kalau itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan.
"Yang penting sekarang tenangkanlah dulu hatimu. Semoga permasalahanmu cepat selesai." Ucapku ketika aku membukakan pintu taksi yang sudah menunggu di halaman.
"Terimakasih, Mala. Kamu juga 'hati-hati' ya." Irma menatapku dalam. Entahlah aku merasa tatapan itu menyiratkan sesuatu. Terlebih ia terdengar memberi penekanan pada kata hati-hati.
"Daah ... Mala. Semoga segalanya akan baik-baik saja di sekitarmu." ucapnya, pandangannya masih tidak lepas dariku. Hingga pintu taksi itu tertutup.
Aku terpaku, menatap taksi yang telah berlalu. Meninggalkanku dalam beribu pertanyaan.
Apa benar yang dikatakan Irma itu, bahwa seseorang orang yang katanya di lihatnya selaku bertamu kerumahmu adalah kebohongan yang dikarangnya sendiri?
Apa ia pergi dengan begitu tiba-tiba memang karena suaminya selingkuh?
Mengingat tingkah Irma tadi, entah kenapa sekarang hati kecilku menyimpulkan ia tidak sedang patah hati. Tetapi lebih tepatnya sedang ketakutan, ia terlihat di bawah tekanan, dan seperti dipaksa meninggalkan rumahnya sendiri.
Entahlah ... Aku tiba-tiba merasa begitu janggal. Kata-kata terakhir Irma kembali berdengung di telingaku.
"Semoga segalanya akan baik-baik saja di sekitarmu"
.
"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah m
Pov narator ( Bagian akhir) "Kalau kau terus saja melakukan ini, bisa-bisa bayi kita lahir prematur...." Lirih ucapan Nirmala di sela helaan nafas memburu, seluruh tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga, pasrah ketika sang suami mengangkat dirinya untuk menyingkirkan seprey yang telah basah oleh cairan cinta yang berasal darinya. Giantara terkekeh senang, setelah kain putih itu teronggok di lantai sepenuhnya, ia kembali meraup tubuh polos istrinya ke dalam pelukan, mengecup pucuk kepala dan dibagian manapun ia suka, jemarinya pun membelai perut buncit yang terasa masih menegang akibat pelepasan beruntun yang di alami wanita itu. "Nggak lah sayang, justru bayi kita akan semakin kuat dan lincah, lagipula kan dokter menyarankan jika di trimester terakhir ini kita harus sering melakukannya," Giantara mengusap sisa-sisa keringat yang masih menempel di sekitar wajah Nirmala, merapikan rambut panjang yang lembab, menyatukan ke belakang hingga dada dan leher seputih pualam dan sehalus sutera
Tidak dapat kuhindari, lengan kekar itu telah meraup tubuhku ke dalam dekapan dadanya, dan dapat terdengar jelas gemuruh hebat dari dalam sana, helaan nafasnya pun begitu berat begitu sesak terhempas di pucuk kepala. Ia mengecup berkali-kali di ubun-ubun, memeluk begitu erat seakan kami tidak berjumpa bertahun-tahun. "Pergilah Joana, aku mohon bawa putrimu, biarkan dia hidup dengan tenang di sisiku ... aku siap menerima hukuman apapun karena telah mengusir anakku tapi sungguh aku tidak bisa ditinggalkan oleh wanita ini," Ia bicara putus-putus di tengah helaan nafasnya yang memburu.Aku terbungkam, yang tadi hendak membebaskan diri dari pelukannya yang memabukkan menjadi tidak bisa lagi menggerakkan otot-otot tangan. Ia tengah menyeruak pada ceruk leherku, begitu terasa nafas berat terhempas membelai, seiring pelukannya yang kian mengetat, lalu kulitku menemukan rasa hangat yang lain tersebab tetesan air matanya. Aku termenung, tidak lagi mampu bicara atau melakukan sesuatu, seme
Seperempat jam sejak panggilan di ponsel itu, suara kedatangan mobil telah terdengar menderu. Aku yang memang sengaja menanti kedatangannya di balkon melihat kendaraan tersebut diparkir asal di perkarangan. sekejap kemudian lelaki itu telah mengeluarkan diri dari sana, menghempas pintu mobil dengan kekuatan penuh lalu langkah panjang setengah berlari membawa tubuhnya dengan cepat memasuki rumah.Hitungan menit dia sudah muncul di kamar yang begitu kacau, barang-barang Joanna berserakan dan barang-barangku masih belum selesai mereka kemas. Raut pria itu begitu mengeras, denyut di rahangnya nampak begitu kentara, sesaat matanya menyapu seluruh ruangan beserta isinya membuat mereka yang masih berusaha nampak mengkerut ketakutan dan menegang, setelahnya tatapan tajamnya itu hanya tertuju padaku meminta penjelasan."Sayang ...." Suaranya berat dan tercekat, aku tahu dia tengah menahan amarah yang amat sangat.Sekejap dia telah merengkuhku, membawa tubuhku tenggelam dalam pelukannya, gemur
"Mari kita buktikan, Kak. Apa memang yang kau katakan itu benar. Jika iya, dengan suka rela aku akan pergi dari kehidupan Giantaramu itu!"Aku benar-benar tidak tahan hingga melenyapkan segala kesabaran dalam jiwa ini. Aku menyambar lengannya, ingin segera menyeretnya ke dalam kamarku.Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksiku, itu bisa dilihat dari ekspresinya, tatapannya yang tadinya begitu percaya diri menghujaniku kini telah berubah menjadi sorot penuh cemas."Mala, apa-apaan?" Ia menepis cengkramanku di saat langkah kaki kami sudah hampir keluar dari area taman."Kenapa, Kak? Takutkah? Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tadi!" jelasku berusaha mempertahankan cengkraman di lenganku."Jangan macam-macam, Mala. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!""Oh ya? Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku tidak akan lagi bisa berada di dalam rumah ini sebelum sebuah kejelasan!" tegasku membuat matanya begitu membola."Apa maksudmu?""Seperti yang kau inginkan, Kak.
Bukan Hasrat Suamiku 66"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah merengkuh kemenangan, mungkin karena membaca kepasrahan di ekspresi wajahku yang kesal."Seharusnya kau berterimakasih padaku, Mala. Kalau tidak Glarissa akan membuat G menyingkirkanmu dari p