Home / Rumah Tangga / BUKAN ISTRI LEMAH / Kabar Perselingkuhan

Share

BUKAN ISTRI LEMAH
BUKAN ISTRI LEMAH
Author: Rahayu Triningsih

Kabar Perselingkuhan

last update Huling Na-update: 2024-08-02 11:17:35

“Halo, Wat? Aku butuh uang dua puluh lima juta untuk bayar uang pangkal sekolahnya Melati,” ucap mas Marno, suamiku begitu panggilan tersambung.

Selalu saja seperti ini, ia menelpon kalau sedang membutuhkan uang dan tak pernah sekalipun menanyakan kabarku di sini. Padahal aku disini bekerja menjadi TKW di Arab demi kehidupan keluargaku menjadi lebih baik.

“Wati! Kok kamu malah diem aja sih? Buruan kirim uangnya, Senen besok udah batas terakhir bayar. Kalau gak segera dilunasin, nama Melati bisa dicoret dan gak bisa masuk sekolah ini!” lanjut suamiku lagi.

“Kok mahal banget sih, Mas? Bukannya Melati itu baru masuk SD? Kenapa biayanya udah sama kayak SMA?” keluhku kepada suamiku yang sedang berada di rumah.

“Ya aku kan pengen Melati dapat pendidikan yang bagus, Wat. Ini kan demi masa depannya juga. Dia itu masuk ke SD Az Zahra sekolah Internasional, makanya uang masuknya mahal tapi kan sebanding sama apa yang didapat nanti!”

“Tapi, Mas. Aku gak ada uang segitu banyaknya. Uang gajiku bulan ini udah aku kirim semua ke kamu kan? Masa udah abis aja sih?”

Bukannya pelit untuk urusan anak, tapi baru awal bulan kemarin aku mengirimkan dua puluh juta kepada Mas Marno. Selain merawat seorang nenek yang ditinggal keluarganya bekerja, aku juga merangkap menjadi asisten rumah tangga, sehingga gajiku lumayan besar bila dibandingkan dengan pekerja devisa lainnya.

“Ya udah abis lah, Wat. Kemarin kan baru aja buat bayar tukang yang lagi renov rumah terus buat ngelunasin mobil juga. Pokoknya aku gak mau tahu, kirim uangnya sekarang juga! Kalau gak pengen ngeliat Melati nangis karena gak jadi masuk sekolah impiannya!”

Diancam seperti itu membuatku akhirnya hanya bisa menghela nafas.

“Ya udah aku kirim, Mas. Tapi aku hanya ada sepuluh juta, itu aja buat keperluanku di sini, Mas.”

“Ya gak bisa lah, Wat! Emangnya sekolahnya itu kayak bank plecit bisa diangsur! Ini tuh sekolah internasional jadi gak mungkin lah kalau bayarnya kurang! Aku gak mau tahu pokoknya kamu kirim sekarang juga! Ingat! Ini semua demi Melati!”

Panggilan dimatikan sepihak. Selalu saja seperti ini, kalau Mas Marno menginginkan sesuatu, aku harus menurutinya karena selalu saja anak kami yang menjadi alasan. Kuletakkan pel yang tadi sedang kupegang dan meraih ponsel yang kuletakkan di meja dapur. Aku mengirimkan uang yang diminta kepada Mas Marno.

Mau bagaimana lagi? Demi anakku, aku rela makan seadanya di sini dan mengirimkan semua uang yang ada di rekening milikku. Tidak apa-apalah, semua demi Melati, aku kerja juga buat dia semua. Laporan terkirim sudah kuterima, berarti besok Mas Marno pasti sudah bisa mencairkan uangnya, aku pun mengirim pesan kepadanya untuk memberi kabar kalau uangnya sudah masuk dan aku juga meminta Mas Marno untuk mengirimkan foto Melati mengenakan seragam barunya. Membayangkan senyum tersungging dari wajah lugunya, pasti anakku terlihat bahagia.

Satu jam, dua jam pesanku tidak dibalas oleh Mas Marno, begitu pun panggilan dariku juga diabaikan olehnya, aku menjadi kepikiran sebenarnya apa yang terjadi dengan suamiku?

Hari berganti hari, Mas Marno menjadi semakin sulit dihubungi. Ia hanya membalas dengan singkat dengan alasan sibuk mengurus toko. Hingga akhirnya nomor Mas Marno benar-benar tidak aktif.

Seharian ini, aku menjadi tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Pesanku sejak dua hari yang lalu masih centang satu, itu artinya nomor Mas Marno masih belum aktif juga. Aku menjadi semakin panik! Takut terjadi apa-apa dengan suami dan anakku. Aku sudah mencoba menelpon Ibu mertua dan adik iparku, tapi katanya Mas Marno baik-baik saja dan hpnya rusak. Mereka memintaku mengirim uang untuk membeli ponsel baru kalau ingin Mas Marno bisa menelpon lagi.

“Halo, Wat?”

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa mendengar suara suamiku setelah hampir seminggu tidak ada kabar meskipun aku menelpon lewat nomor ibu mertuaku.

“Kamu kemana sih, Mas? Abis aku transfer kok ngilang gitu aja!? Gimana kabar Melati? Dia udah masuk sekolah kan? Coba kirimin fotonya dong? Aku juga mau denger suaranya!” cerocosku tak bisa menahan kerinduan lagi.

“Aduh! Cerewet banget sih! Hp ku tu rusak, jadi gak bisa nelpon. Kamu kirim uang dong Wat buat beli hp baru. Aku mau nya epon yang 14 promak, malu soalnya semua wali murid make hp itu.”

“Melati mana, Mas?” Aku mengabaikan ucapannya dan memilih menanyakan anak semata wayang kami.

“Dia masih sekolah, pulangnya nanti sore jam empat. Abis itu dia ngaji dan belajar terus tidur. Jadi lebih baik gak usah ganggu dia! Yang penting kirimin uang dulu!”

Aku kembali menghela nafas, susah sekali hanya untuk berbincang dengan anakku.

“Aku belum gajian, Mas. Aku udah gak ada uang lagi, ini aja aku udah ngirit-ngirit banget di sini.”

“Ya udah, kalo gitu gak usah nyari aku karena aku gak punya hp, gak enak kalo kamu neror ibu dan adikku terus! Kabarin aja kalo kamu udah ada uang buat beli epon.”

“Astagfirullahaladzim!” aku hanya bisa beristighfar menanggapi sifat suamiku yang seenaknya sendiri begitu.

Baru saja aku meletakkan ponselku, benda pipih itu kembali berbunyi. Ngapain Mas Marno nelpon lagi?

“Halo, Assalamualaikum Mas?” Aku mengangkat panggilan tanpa melihat kembali nomor yang menelpon.

“Wa Alaikum sallam. Aku Santi, Wat. Bukan suamimu!” jawab si penelpon.

Aku sedikit kaget dan mengecek kembali ponselku ternyata memang benar kalau yang menelpon itu Santi, temanku yang sama-sama bekerja di Arab dan secara kebetulan dia tinggal tak jauh dari rumah tempat tinggalku.

“Astaga, sorry banget, San. Aku pikir kamu itu Mas Marno, barusan aku telponan sama suamiku. Tumben malem-malem gini nelpon? Ada apa, San?”

Berada di kampung sebelah, membuat Santi tahu tentang Mas Marno karena aku pernah menunjukkan foto suamiku kepadanya, hanya saja dia tidak mengenalnya dan hanya tahu wajahnya saja.

“Aku mau ngomong penting sama kamu, Wat. Tapi Kamu percaya sama aku kan? Aku ngelakuin ini karena kasihan sama kamu dan ngerasa kalau kamu harus tahu hal ini!”

“Bentar-bentar! Ini ada apa sih? Kamu kenapa, San? Lagi ada masalah?” Aku heran kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu kepadaku.

Beberapa minggu yang lalu memang Santi pulang duluan karena dia mau menikah dengan pacarnya dan rencananya akan kembali ke sini setelah menikah jadi apa mungkin ia pernikahan mereka batal?

“Aku kirim aja ya ke kamu, tapi kamu harus tenang dulu pokoknya. Ini aku dapet gak sengaja pas aku ikut temenku dateng ke acara nikahan.”

“Iya, San. Ya udah kirim aja. Aku tunggu ya!” jawabku dengan nada santai.

Santi mematikan panggilan, dan tak berapa lama sebuah video masuk kepadaku. Awalnya aku tidak berpikir apa-apa hingga saat aku memutar videonya, duniaku seakan runtuh.

Di video itu aku melihat kalau Mas Marno sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita. Aku hampir tak bisa mempercayai apa yang kulihat, air mata mengalir deras. Aku tak bisa lagi melihat kelanjutan video pernikahan itu.

Mas Marno yang selama ini menjadi suami yang kucintai, tega menduakanku dan menikah dengan wanita lain di belakangku. Hatiku sakit, teramat sakit sampai aku tak bisa berkata apa-apa. Di sini aku bekerja keras demi keluargaku, tapi malah ini yang kudapatkan? Pengkhianatan dari suamiku sendiri. Pantas saja beberapa hari ini dia tak ada kabar, wajar lah karena dia sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita perusak rumah tangga orang.

Setelah puas menangis, dengan hati yang teramat perih, aku memutuskan untuk memutar kembali video yang baru saja dikirimkan oleh Santi. Di situ pernikahan mereka dihadiri oleh seluruh keluarga Mas Marno, yang artinya Ibu dan juga adik iparku mendukung pernikahan mereka bukannya mengingatkan kalau tindakan Mas Marno itu salah. Raut bahagia terlihat sekali di wajah mereka semua. Apa mereka lupa kalau mereka bisa tersenyum lebar seperti itu karena hasil kerja kerasku?

Butuh waktu lama untuk mengontrol hatiku sendiri. Sakit memang, tapi rasa kecewa dan api kemarahan jauh lebih besar dibanding rasa sakit yang kurasakan. Sebelum menikah denganku, Mas Marno hanya bekerja serabutan sedangkan ibu hanya mendapatkan uang pensiunan dari bapak yang berpangkat rendah. Setelah aku mengangkat derajat hidup mereka dengan bekerja menjadi TKW, kini mereka malah tidak tahu diri dan tega menusukku dari belakang.

Ini tak bisa dibiarkan! Aku harus secepatnya kembali dan mendapatkan kembali apa yang memang seharusnya menjadi milikku! Aku kembali menelpon Santi setelah memikirkan masak-masak apa yang akan kulakukan kepada suamiku dan keluarganya.

“Halo, San? Sepertinya aku butuh bantuanmu disana, San!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wahid Listiawan
bagus ceritanya up lagi kaka
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Karma?

    Sudah enam bulan berlalu sejak aku memberi tahu Melati kalau ayahnya sekarang berada di penjara. Mungkin dia memang masih kecil tapi aku tidak mungkin membohonginya sehingga aku pun mengatakan hal yang sebenarnya kepadanya. Mas Marno di penjara karena perbuatannya menyakiti Melati, secara tidak langsung aku mengajari Melati kalau kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Awalnya Melati merasa sedih karena bagaimanapun dia adalah ayahnya tapi kini senyum ceria di wajahnya sudah kembali.“Wat, usahamu sudah berkembang dengan pesat, gimana kalau kamu mulai buat beli rumah? Ucap Ibu di sela-sela memasak. “Boleh juga, Bu tapi aku belum nemu yang cocok. Ibu ada rekomendasi gak pengen tinggal dimana?”“Sebenarnya ada sih.” Ibu menaruh pisau yang dipegangnya kemudian mulai bercerita.“Bu Intan yang dulu tinggal gak jauh dari rumah mertuamu nawarin tanahnya. Dia mau jual karena butuh biaya buat berobat anaknya. Katanya sih mau dijual murah.”“Murahnya berapa, Bu?” tanyaku mulai tertarik. Aku meman

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Diusir

    PoV Ratna“Setelah melihat dari bukti dan saksi yang ada akhirnya kami memutuskan untuk memberikan hukuman selama satu tahun penjara dan denda satu milyar. Mereka mendapatkan keringanan karena berkelakuan baik selama berada di dalam penjara. Hal itu lah yang digunakan sebagai pertimbangan.”Aku tidak mungkin bisa melupakan kalimat yang membuat hidupku berubah. Anakku satu-satunya di penjara padahal dia sama sekali tidak bersalah. Ini semua gara-gara Wati, wanita yang dinikahi oleh Marno, anakku. Kalau saja mereka tidak menikah, pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi kepadaku. Setiap hari aku hanya bisa menangis di dalam kamar yang sempit ini menunggu mereka berdua keluar dari hotel prodeo itu.Brak!Pintu kamar dibuka dengan keras, membuatku sampai berjingkat karena kaget. Rupanya yang melakukannya Devi, adiknya Linda yang menggantikan usaha kakaknya berjualan warung kopi yang lumayan ramai dikunjungi pembeli.“Bu, aku udah bilang berapa kali? Di sini tuh bukan hotel jadi jangan

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Gara-gara Tiara!

    Aku mengajaknya turun untuk makan, dan mungkin bisa mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin membahas tentang hal ini karena menurutku belum saatnya Melati mengetahui kalau ayahnya beras dibalik jeruji.Kupikir dia akan lupa, tapi tetap saja ia turun dengan membawa baju untuk ayahnya. Ya sudah mau tak mau aku pun harus menjawab pertanyaannya anak gadisku ini. Namun Bagaimana bisa dia membeli baju laki-laki seukuran ayahnya? Apakah begitu mudahnya dia memaafkan perilaku bapaknya yang tidak manusiawi itu? Aku masih terdiam, masih belum bisa menerima kenyataan kalau Melati semudah itu ingin bertemu dengan bapak kandungnya “Bukan ibu yang suruh, tapi dia tadi ngerengek minta dibeliin baju buat suami mu. Katanya di sekolah besok ada pelajaran bercerita tentang ayahnya, jadi dia pengen beliin sesuatu dan akan dia ceritakan di sekolah kalau dia masih punya bapak yang sayang sama dia.”Ya Allah, hatiku mencelos saat mendengar ibu menceritakan kisah dibalik sebuah kemeja berwarna putih itu.

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Hukuman

    Aku menjalani hari dengan tenang karena kedua orang yang mengganggu hidupku kini sedang berada di penjara. Aku senang karena akhirnya perlahan keadilan mulai datang kepadaku. Mas Marno dan Linda sedang berada di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya meskipun keputusan dari pengadilan belum keluar sepenuhnya. Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan panggilan telepon dari kepolisian katanya mereka berdua ingin berbicara denganku tapi aku mengabaikannya. Dan hari ini adalah sidang putusan tentang semuanya, makanya aku memutuskan untuk mengunjungi merek sebentar.“Bu, aku titip Melati ya! Bekal dan peralatan sekolahnya udah kusiapkan di kamar.”“Iya, Wat. Oh iya, nanti aku mau ngajak Melati jalan-jalan ke mall karena katanya dia pengen beli mainan yang sama dengan temannya. Boleh kan?”“Boleh, Bu. nanti aku transfer uangnya ya! Jangan lupa nanti pulangnya langsung ke warung aja, Bu. Soalnya nanti truk pengangkutnya datang siang.” Ibuku mengangguk setuju, tak lupa aku salim

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Rencana Masa Depan

    Tanpa menunggu lagi, aku mendatangi rumah rentenir yang biasa dipanggil Bu Kaji itu. Siapa pun yang mendengar pertama kali pasti tidak akan menyangka kalau wanita itu adalah seorang rentenir karena gayanya yang terlihat biasa saja. Sudah dua kali aku pergi ke rumahnya dan terus saja kagum karena keamanannya. Banyak sekali preman-preman yang duduk santai di rumah ini seakan rumah mereka sendiri. Wajah mereka seram dan bertato tapi sama sekali tidak menakutkan karena mereka sangat ramah kepadaku. Preman itu juga selalu tersenyum, kontras sekali dengan jaket kulit dan tato yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.“Duduk di sini ya Mbak Wati. sebentar lagi Ibu turun kok. Diminum dulu tehnya!”“Makasih, Mas.” Aku tersenyum saat ada seorang pria yang menyodorkan segelas teh kepadaku, aku mencicipinya untuk menghargai si empunya rumah yang sudah menyambutku dan tak lama kemudian yang kucari akhirnya muncul. Seperti biasa, wanita yang akrab dipanggil Bu Kaji ini datang dengan menggunakan daste

  • BUKAN ISTRI LEMAH   Gadaikan Saja

    “Wati? Kok mau bisa ada di sini?”“Ibu apain anakku?” teriakku marah.Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi apa yang sudah ibu perbuat benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Kupikir setelah kehilangan rumah, Ibu akan menyadari kesalahannya tapi ternyata tidak. Memang benar kalau watak itu tidak akan bisa berubah.“Ibu gak ngapa-ngapain kok. Melati terus aja teriak-teriak padahal gak ada apa-apa. Ibu minta buat diem, tapi dia ngeyel. Ya udah gimana lagi?”Nafasku memburu, dalam hati berulang kali aku mengucapkan istigfar agar tidak memukul wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. Perbuatannya kali ini sudah diluar batas dan tidak bisa dimaafkan lagi. “Dari Mana Ibu bisa tahu dimana sekolah Melati, hah? Dan kenapa ibu lancang jemput dia? Apa ibu belum puas nyakitin anakku?! Dasar–” Hampir saja amarahku meledak, untung saja tadi akhirnya Ibu dan Ardian ikut serta sehingga bisa membuatku mengerem ucapanku sendiri agar tidak mengumpat di depan Melati.Kuhirup nafas dalam-dalam untuk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status