"Keya, kamu mau bikin sayur apa, dhuk... kok motongnya begitu?" Maryam geleng-geleng.Keya menghentikan pisaunya. "Salah ya, Bu?" tanyanya malu."Memang kamu ghak pernah masak?"Keya teringat Bu Ira, pembantunya. Ternyata untuk membuat masakan sampai di perutnya juga ada ilmunya. Pelan Keya menggeleng."Ghak pernah bantuin Ibu sewaktu memasak?"Lagi-lagi Keya menggeleng. "Mami ghak pernah memasak, Bu. Yang masak Bu Ira. Mami mengajar di SMA, sore baru pulang, yang mengurus keperluan rumah ya Bu Ira."Maryam memperhatikan jemari Keya. "Pantas kamu ghak ngerti memasak, Dhuk."Maryam kemudian ikut duduk di dipan kecil tempat mereka meracik masakan."Lalu sekarang kamu kok ikut ibu memasak, apa ghak berat?" candanya."Tidur-tidur saja juga ghak enak, Bu," katanya kemudian. "lagi pula, Keya nantinya juga harus bisa memasak juga."Sejenak Maryam menatap Keya. Dari kemarin dia ingin menanyakan itu tapi ragu. dari "Maaf, Dhuk. Apa ayah dari bayi kamu menolak mengakui bayinya?"Sejenak Keya te
Diam-diam Aisyah menyimpan handphone yang ditemukannya di lantai itu di laci pakaian, tempat yang hanya dia sendiri yang menggunakan. Tak mungkin ketahuan Aba dan Nabil, pikirnya. Saat tangannya menyentuh kulit casing handphone Keya yang lucu, ada perasaan aneh mengalir dalam hatinya. Perasaan bersalah, perasaan takut, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menatap layar yang sudah mati itu sesaat, seolah melihat wajah Keya yang pucat, matanya yang penuh air, saat ia datang dan memohon di depan pintu rumah mereka."Maafkan Ummi, Nak... Ummi juga tidak tahu harus bagaimana," gumam Aisyah perlahan, menutup laci dengan pelan dan duduk di atas ranjang, menekan dadanya yang sesak. Nafasnya berat, seperti menyimpan beban yang lama tak dikeluarkan.Aisyah tahu, suaminya keras kepala. Namun ia juga tahu betapa hati kecilnya tak sanggup melihat seorang gadis menderita dalam diam. Ia mengelap air matanya diam-diam. Ia ingin bicara pada Nabil, namun dia takut. Ia ingin menelepon nomer yang ada di
Nabil sudah menyelesaikan ospeknya. Pagi sekali dia bermaksud pulang ke desanya.Dia menatap layar handphonenya. Wajah ceria Keya yang duduk dengannya masih menjadi wallpapernya. Kali ini kerinduan yang sangat membuat dia mencoba menelpon handphone Keya, ternyata berdering."Alhamduuulillah, tidak diblokir lagi."Nabil kembali teringat masa-masa SMA-nya bersama Keya. Walau dia tak pernah satu tim dengan Keya, dia sering bersama Keya mewakili sekolah mereka sebagai duta anak-anak yang gemar lomba karya ilmiah. Dari sanalah akhirnya cinta itu tumbuh. Kebersamaan yang kerap mengundang kagum, bahkan mengundang iri yang menimbulkan bencana. Nabil sendiri sampai sekarang tidak dapat memastikan, di antara dua puluh temannya yang mengajak mereka ke puncak, apakah semua terlibat memberi dia dan Keya obat itu. Yang jelas setelah kejadian itu, dia tak ingin lagi mengenal nama anak-anak itu, apalagi berhubungan dengan mereka—yang rata-rata juga murid berprestasi sekaligus anak orang tajir.SMA ya
"Kamu mau menggugurkan bayimu?" tanya Maryam mengikuti pertanyaan Liam.Keya menganggukkan kepala dengan tertunduk. Dia sudah tak dapat berfikir lain. Hatinya terombang ambing."Sabar, Dhuk, jangan melakukan dosa besar. Yang telah kamu lakukan itu salah, jangan menambah dosa lagi.""Bukan salah saya, Bu. Saya hanya korban. Kami dijebak dengan diberi minuman yang dicampur obat," bela Keya."Maksud kamu?" Liam heran dengan perkataan Keya."Aku dan..." Keya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara tentang Nabil. "Aku dan dia dijebak hingga kami melakukan perbuatan tak bermoral itu, Bu. Bukan keinginan kami."Maryam dan Liam menatap prihatin. Dari awal mereka memang tidak yakin jika gadis seperti Keya bukanlah gadis baik-baik. Sikapnya bahkan seperti seorang anak polos yang masih tak memahami hal-hal yang aneh-aneh."Masih ada waktu saya masuk kuliah, Bu. Tinggal beberapa hari lagi, jika saya tak masuk saya dianggap tidak menjadi mahasiswi lagi. Sedangkan menjadi dokter adalah impian s
Liam mengucek matanya. Sepertinya dia tertidur setelah melaksanakan shalat tahajut. Hanya sekejap, tapi yang sekejap itu memberinya jawaban. Pertanyaan yang sejak kemarin dia seperti pernah melihat gadis itu entah di mana. Ternyata dia adalah gadis yang pernah hadir di mimpi-mimpi Liam beberapa hari yang lalu. Mimpi sekejap seperti saat ini. Biasanya setelah sholat Tahajut dia tak pernah tidur, tapi berzikir atau membaca Al Qur'an sampai Subuh pergi ke masjid, tapi saat itu, sama seperti hari ini, dia mengantuk sekali dan terlelap dalam duduk, lalu datanglah mimpi itu.Kembali Liam mempertanyakan makna mimpinya, terlebih gadis itu kini telah di rumahnya dengan keadaan yang sepertinya tak baik.-baik saja. Maryam ataupun dirinya belum berani menanyakan apa sebab dia pergi dari rumahnya. Padahal dia masih teramat muda, belum mengenal apapun.Apakah ini artinya mereka harus menolong gadis itu seperti yang kini Maryam dan dia lakukan? Liam tak memiliki adik. Dia bungsu dari 3 bersaudara. B
"Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar."Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya."O, ya...siapa namamu?""Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana."Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang."Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam."Liam mengangguk dan tersenyum."Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu."Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar
"Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.Keya terperanjak. "Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih.Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning.Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa.Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga.Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian."Ke mana aku akan berjalan?" Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka."Dhuk, kamu siapa?" Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu ya
Keya melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Sore itu terasa dingin, angin menerpa wajahnya, membawa serta air matanya yang terus menetes tanpa bisa dia kendalikan. Tangannya yang menggenggam setang pun gemetar, bukan karena udara, tapi karena luka di dalam hatinya. Kata-kata papinya tadi terngiang berkali-kali di kepalanya."Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!"Sakit. Sangat sakit. Keya bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak seperti biasa. Semua terasa kacau. Dunianya seakan runtuh. Sekolah, rumah, orangtua... tak satu pun yang menjadi tempat pulang.Sudah cukup lama ia berkendara. Tak terasa hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai terlihat. Hanya saja saat memasuki kawasan desa, hanya sorot lampu motornya yang menembus gelap, menuntunnya ke arah desa yang terpampang di Google Maps. Keya menyeka air matanya dan menunduk pada layar ponsel di holder motornya. Tak salah. Ini jalannya.Beberapa menit kemudian, sebuah tugu besar bertuliskan n
Mahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan."Maaf, Bu. Keya positif."Waktu seolah berhenti.Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak.Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!""Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan.Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk."Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih."Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?""Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya.""Bisa-bisanya, kalian,