Kaj Is, jumkatku tiap hari 2.4k /25k lho, artinya 3 x up.
Nabil terlenguh. Ternyata jilbab Keya bukanlah hanya jilbab yang menutup kepalanya saja. Dia telah memakaikan jilbab itu dalam ke dasar hatinya, hingga menjaga citra jilbabnya agar tak ternoda. Diingatnya saat dulu, Keya yang suka mengagetkannya, lalu memeluknya dari belakang dengan mengacak rambutnya."Cinta itu sudah mati untukmu, Nabil!" ucap Keya dengan kaki yang sudah luntruh ke lantai. "Keke yang mencintaimu sudah tiada."Nabil terhentak. Dia tidak mengira akan mendengar kata-kata itu dari mulut Keya. Langkahnya sampai mundur ke belakang. Dia masih mengira, tatapan Keya masih sama untuknya."Tidak, Ke.. kamu bohong," bantahnya. Bagaimanapun juga rasa di hatinya tak pernah padam. Dia selalu berharap pandangan Keya tetap sama hanya untuknya walau dia milik orang lain.Keya beranjak, mendekat ke Sheryn. Dibujuknya kembali anak itu untuk ikut dengannya. "Ke,.. jangan kamu luapkan amarahmu padanya. Di masih tidur, Ke." Ditariknya tangan Keya dengan paksa, lalu direngkuhnya. Namun d
"Astaghfirullah, Nabil!"Keya buru-buru memalingkan wajah, pipinya bersemu merah. Ia tak menyangka pintu terbuka begitu saja, menampilkan sosok lelaki itu dengan hanya handuk melilit pinggang.Nabil berdiri membelakangi sinar pagi dari jendela kamar, membuat siluet tubuhnya semakin terlihat jelas. Bahunya lebar, otot lengannya menggurat, dan dada bidangnya masih basah. Sisa sabun mengalir pelan, turun mengikuti alur otot perutnya yang mengeras. Bahkan masih ada sabun di dadanyaKeya menelan ludah. Jantungnya berdebar. Pandangannya meluncur cepat ke lantai."Aku kira siapa," kata Nabil. Suaranya serak, sedikit tertahan, seolah baru sadar apa yang terjadi."Maaf..." bisik Keya, langkahnya berbalik cepat ke arah dapur, hendak mencari Bu Aisyah untuk menutupi rasa malu. Namun belum sempat ia melangkah jauh—"Ya, ya, ya, ya!"Suara Sheryn melengking di ruangan itu. Tangannya terjulur ke arah Nabil. Anak itu menangis, suaranya pecah, dan tubuhnya memberontak dari gendongan Keya."Sshh... She
Pukul 2. 30 dini hari.Barak masih tenggelam dalam keheningan. Udara dingin menyusup masuk dari celah jendela, menggigit kulit. Ranjang-ranjang besi berderet rapi, masing-masing dihuni tubuh lelah yang tenggelam dalam mimpi.Tiba-tiba suara langkah tergesa memecah sunyi. Suara sepatunya berat, khas sepatu komando yang menghantam lantai dengan dentuman kecil."Taruna Nabil!"Suara itu keras dan tegas, menggema di ruang barak. Nabil terlonjak bangun. Matanya membelalak. Sekilas ia pikir ia sedang bermimpi, tapi tidak—panggilan itu nyata, menggetarkan jantungnya."Iya, Komandan!" jawabnya cepat sambil berdiri tegak, walau masih separuh sadar."Ikut saya ke ruang pengasuh. Ini penting. Ada kabar dari rumah."Tanpa bertanya, tanpa ragu, Nabil menyambar jaket dan mengikuti langkah cepat sang pengasuh. Perasaannya tak menentu. Hatinya mendadak dicekam resah.Sesampainya di ruang pengasuh, seorang perwira muda menyerahkan ponsel kantor."Ini ibumu. Cepat bicara. Jangan lama."Dengan tangan gem
Tiba di rumah orangtua Dania, Liam mengetuk. Hari sudah malam, hampir jam 02.00."Dania!" Bu Marya segera memeluk putrinya yang berurai air mata.Pak Bagus hanya menatap Liam. Melihat putrinya dalam keadaan seperti itu, tentunya bukan hal baik yang telah terjadi."Sekali lagi saya minta maaf. Saya ke sini kapan hari saya rasa saya sudah mengatakan yang sejelas-jelasnya, bahwa saya akan mengirimkan surat gugatan cerai dari pengadilan. Tapi kenapa tiba-tiba saja Dania sudah di rumah saya, di kamar saya, dengan mengusir Keya dari rumah.""Bukan aku yang mengusir. Keya sendiri yang ingin pergi." Dania masih menyangkal."Aku yakin kamu telah mengatakan sesuatu sampai dia memutuskan untuk pergi."Dania menunduk."Sekali lagi saya tanya, di mana Keya?""Tanya pada Nabil!" kata Dania, masih berusaha memancing emosi Liam dengan mengatakan hubungan Nabil dengan Keya. Lalu Dania berlalu melangkahkan kakinya ke dalam kamar."Maafkan saya, Nak Liam. Saya tidak bisa mendidik anak saya dengan baik. K
"Pak Haji! Astaghfirullah, Pak Haji!"Suara itu membelah subuh yang belum sempurna tiba. Seorang lelaki berlari dari serambi masjid, tubuhnya gemetar melihat Haji Darman terbujur dengan nafas tersengal. Beberapa jamaah yang baru tiba berhenti di tempat."Angkat ke dalam! Jangan dibiarkan di lantai dingin!" seru seorang bapak, buru-buru menggelar sajadah sebagai alas.Langkah-langkah pelan orang ke masjid, menjadi dipercepat, melihat kondisi H Darman. Di antara mereka, terdengar suara sandal terburu-buru. Bu Aisyah yang datang ke masjid hendak Subuhan dengan mukena terpasang sempurna, mendekat."Aba!" jeritnya. Ia langsung menjatuhkan diri di sisi tubuh suaminya. "Apa yang terjadi? Tadi masih semangat wudhu di rumah!""Baru saja sampai serambi, Bu. Tiba-tiba jatuh. Nafasnya berat.""Panggil Hanafi! Cepat!""Tapi orang itu susah dibangunkan, Bu.""Bentak saja dia kalau perlu!" Wajah Bu Aisyah tegang. "Itu abanya, bukan kambing!"Seorang pemuda langsung berlari ke arah rumah Hanafi. Nafas
Bangun, bangun, ada maling!" suara keras lelaki dari luar menggetarkan jendela kamar Keya.Lampu-lampu rumah tetangga menyala satu per satu. Suara langkah tergesa membelah kesunyian tengah malam. Terdengar pintu berderak, anak kecil menangis, dan orang-orang berbicara cepat, tumpang tindih.Sheryn terbangun. Matanya membesar, mulutnya bergetar. Tangis pun terdengar. "Non Key, itu suara apa?" Bi Ira sudah kebingungan.Keya segera bangun, memeluk putrinya. "Tenang, Sayang. Gak apa-apa. Cuma orang ramai."Bi Ira sudah berdiri di depan pintu, wajahnya panik. "Non, di luar ramai. Katanya rumah kita barusan dimasukin orang."Keya memeluk Sheryn lebih erat. Jantungnya berdetak cepat. "Masuk ke sini?""Iya. Tapi gak tahu lewat mana. Aku barusan dengar suara pintu geser dari belakang," jawab Bi Ira cepat.Suara langkah mendekat. Pintu diketuk. "Bu Keya, kami dari pos ronda!"Keya menggendong Sheryn keluar, lalu membuka pintu. Tiga lelaki berdiri dengan senter dan tongkat kayu. Di belakang mere