"Hey!" Dania melambaikan tangannya, menyipitkan mata menahan silau matahari siang di pesisir pantai WBL. Seorang pria dengan tubuh tak seberapa tinggi, semampai, berjalan menghampirinya sambil tersenyum lebar."Apa kabar, Dania?" sapanya hangat. Ia langsung mengembangkan tangannya, dan Dania pun, tanpa sadar, sudah berada dalam pelukannya. Dekapan itu tak terlalu lama, tapi cukup membuat Dania diam terpaku. Tinggi tubuh mereka yang hampir sejajar membuat mata mereka langsung bertemu-dan tiba-tiba, bibir Angga menyentuh bibirnya. Lembut. Singkat. Tapi cukup untuk menghantam jantung Dania.Dania terkesiap. Itu adalah ciuman yang menurutnya sebagai ciuman pertama orang yang dengan penuh hasrat padanya.Sekujur tubuhnya seolah disengat kejutan listrik. Tangannya mengepal di sisi tubuh, ingin menolak-tapi juga tak bisa. Getaran yang menjalar dari bibir ke dadanya membuat dirinya bingung antara marah atau terpana. Terlebih lagi, ini datang dari seorang Angga, pria yang sudah dikenal sangat
“Ey… kamu cari apa?”Suara Liam terdengar pelan di belakang punggung Keya yang sedang membongkar laci kecil di dekat meja televisi. Kedua lututnya bertumpu ke lantai, tangan sibuk mengobrak-abrik tumpukan dokumen, kotak jarum, dan berbagai kartu identitas yang tak rapi.“Aku cari kartu KB,” jawab Keya tanpa menoleh.Liam mendekat, lalu membungkuk memeluk pinggang Keya dari belakang. Dagu Liam bertengger santai di pundaknya.“Lho, bukannya udah kamu taruh di dompet?”“Udah aku cek, nggak ada. Di tas juga nggak. Aku ngerasa nyelip di sini, tapi… nggak ketemu.”“Aku bantu cari, ya.”Namun tangan Liam tak kunjung bergerak. Ia justru menarik tubuh Keya pelan hingga bersandar ke dadanya, kemudian duduk bersila bersama di lantai, memeluk istrinya dengan hangat.“Kenapa sih tiba-tiba cari kartu itu?” tanyanya pelan, sambil menyandarkan pipi ke rambut Keya yang mulai tergerai dari ikatan.Keya menghela napas.“Aku bingung… bulan ini atau bulan depan ya waktunya aku KB? Soalnya kemarin-kemarin
“Bil… kamu kenapa? Kamu habis nangis ya?” suara Bu Aisyah terdengar pelan dari arah ruang tengah.Langkah kaki Nabil pelan menyusuri ruang tamu rumah . Tak banyak berubah—karpet biru tua, perabotan berukuran Jepara dengan taplak rajutan tangan, dan aroma kayu manis dari dapur.“Oh, enggak, Bu.” Nabil tersenyum kecil, memaksakan bibirnya mengembang, padahal matanya masih buram.Duduk di sofa, H. Darman terlihat sehat. Rambutnya yang mulai memutih tersisir rapi, dan tubuhnya tegap seperti dulu, seolah dia masih muda dengan segala aktifitas taninya. Beliau menatap anak bungsunya itu, seolah ingin menerka isi hatinya yang kini tertutup kabut.“Katamu mau pamit sama Sheryn, kamu kok agak lama. Kamu ngak kenapa-napa kan?""Aku baik-baik saja, Ba. "Bagaimana dengan Keya? Apa kamu sudah pamit mereka? " tanya abanya lagi, dengan suara berat tapi tenang.Nabil mengangguk, duduk di kursi seberang orang tuanya. Ia menatap kedua wajah itu, orang-orang yang selama ini selalu mendukungnya. Walau
"Nanti juga tau." kata Nabil seraya membawa Sheryn di dekapannya. Keya mengekornya saja."Menengok Aba? Aba baru pulang? Kenapa lama?""Tadi nunggu hasil lab duluh baru boleh pulang."Keya pun masuk saat Nabil membukakan pintu mobilnya."Lho, katamu ke Aba, kenapa jadi jalan lurus?""Sebentar, mau beli sesuatu di warung."Namun di warung pun Nabil belum berhenti. Baru berhenti setelah di depan rumah Liam."Maaf berbohong." kata Nabil enteng. Keya hanya bingung dengan maksud Nabil."Assalamualaikum!" Nabil mengetuk pintu dengan mengucap salam, begitu mendapati sepeda Liam yang sudah terparkir di depan rumah. Dia seolah upa kalau rumah itu ada belnya."Bil, mau ngapain?" tanya Keya yang mau berbalik, namun keburu pintu dibuka Liam.Mata Liam dan Keya yang bertemu, diantara rindu dan kebencian."Kak, tolong izinkan kami masuk," pinta Nabil tanpa meminta persetujuan Liam sudah masuk terlebih duluh."Aku baru tau dari Evan pagi tadi, kalau Kak Dania sudah pergi dari sini karena Kak Liam sud
Keya yang sudah tiba di rumah, mendapati Nabil sudah duduk di depan teras. Ia tampak gelisah, memeluk lutut sambil menatap jalanan kosong.“Ada apa ini, Ke?” tanya Nabil begitu melihat Keya turun dari motor. Sheryn masih meronta di gendongan ibunya, tubuh kecilnya basah oleh keringat dan air mata.Melihat itu, Nabil berdiri cepat dan meraih balita itu.“Ya, ya,. ya,.. ya,." "Sini sama Ayah dulu,” bujuk Nabil lembut. Sheryn tak melawan, hanya menelungkupkan wajahnya ke dada Nabil, sesekali tersedu pelan.Tangis seraknya membuat Nabil bertanya-tanya, “Apa yang terjadi tadi, Ke?”Keya tak menjawab. Ia duduk di balai kecil teras rumah, memeluk lutut, menunduk, diam seperti batu. Sesekali tangannya naik mengusap air mata yang terus jatuh dari kelopak matanya.Inginnya Nabil menangkup wajahnya dan menghabus air mata itu seperti duluh jika dia bersedih. Namun,.. dia ragu.“Diam ya, Putri Ayah yang cantik. Nanti jelek lho kalau nangis terus,” Nabil mencoba membuat Sheryn tertawa. Ia mengelus
"Apa kabar, Keya?" tanya Dania yang telah menggandeng lengan Liam.Keya menatap Liam dan Dania bergantian. Baru juga dia merasakan sedikit bahagia setelah bersama Liam. Namun kenyataan yang ada,... tangan itu,...lengan kokoh itu, telah digandeng dengan mesranya.Dania tersenyum dengan penuh kemenangan walau Liam mengibaskan tangannya."Ey,.. dengar aku. Aku dan Dania udah,..."Keya yang melihat tangan Dania mesra menggandeng Liam, sudah tak mampu membendung perasaannya lagi. Tanpa memberi kesempatan Liam menjelaskan, dia dengan cepat meraih Sheryn yang masih meronta karena tak mau pergi dari gendongan Liam. Lalu melangkah pergi tanpa memperdulikan Liam yang memanggilnya.Dania tertawa senang menyaksikan Liam ditinggalkan Keya. Hatinya merasa puas sekali bisa membalaskan kekalahannya."Apa yang tengah kamu lakukan, Dan?" tanya Liam geram."Kamu pikir aku akan ihlas melihatmu bahagia, setelah apa yang telah kaulakukan padaku?" geram Dania sambil berlalu dari Liam."Dengar aku, Dania. Bu