Liam menatap wanita muda di depannya dengan tanda tanya. Seketika wajahnya mengeryit seolah mencari memori untuk lebih mengingat siapa wanita itu. Sekilas dia mengingat seorang gadis yang tersenyum dan selalu bersama Dania. Tapi belum juga dia bicara, wanita itu telah mendahului."Kalau boleh tahu, Mas, proses sidang cerainya gimana?" tanyanya tiba-tiba, membuat Liam tertegun. Liam menoleh cepat, alisnya terangkat. "Sidang cerai? Kamu,.."Keya memegang mukena itu erat, jantungnya berdegup kencang. Perempuan itu masih menatap Liam, seolah menunggu jawaban dengan sesekali meliriknya dengan ttapan tak bersahabat.Suara hiruk pikuk pasar mendadak terasa jauh, hanya tatapan mata itu yang membeku di antara mereka. "Saya Dinar, familinya Dania. Bahkan bisa dibilang, saya sahabat dia sejak kecil hinggah saya selalu berada di sisinya sejak dia menjalani masa pertunangan dengan Mas Liam. Sayangnya, saya sudah menikah terlebih dahulu sebelum Dania menikah, padahal tunangannya duluan Dania." Pa
"Ey... gimana mau berhasil kalau begini?" guman Liam saat ia melihat Keya terlelap di ranjang, masih memeluk Sheryn yang menempel di dadanya.Keya terbangun perlahan, matanya sayu. "Kak... aku nggak tega. Dia hampir semalaman nangis minta meyusu. aku sampai ketisuran begini membujuknya."Liam duduk di sisi ranjang, memandang wajah anaknya yang tampak lelah. Ujung mata Sheryn basah, seperti baru saja menghapus air mata dengan punggung tangan mungilnya. Dielusnya kepalanya dengan tak tega."Aku ngerti kamu sayang sama dia, Ey... tapi kita nggak bisa terus begini. Kalau kamu nggak tega, Sheryn nggak akan pernah lepas. dia jadi anak yang nggak mandiri dan kamu anntinya juga akan repot karena dia menyusu makin keras, sementara air yang dihasilkan air susumu makin sedikit."Keya membetulkan selimut di tubuh anaknya. "Tapi mau gimana, Kak, aku cuma mau dia tenang."Liam menghela napas panjang, lalu meraih rambut Keya yang jatuh ke wajahnya. "Besok pagi kita ke pasar. Aku tahu tempat orang bi
"Kak..." suara Keya terdengar lirih, namun matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda. "Jangan pernah meragukan didikan kita, Kak.""Bagaimanapun juga, kekhawatiran itu ada, Ey. Aku sangat menyayanginya dan aku tak mungkin memiliki yang lain selain dia.""Kalau kamu ragu, kita bisa bikin anak lagi, Kak. Mau?" Keya mengerling, lalu kembali mencium Liam. Sekeras apapaun dia membantah ucapan lelaki itu, hanya makin memperumit kekhawatiran Liam hinggah Keya berusaha mengalihkannya ke hal lain.Ciuman Keya yang dalam, membuat Liam merasakan lain. "Kalau kamu siap," ujarnya pelan, "kita bikin sekarang."Keya membelalakkan mata. "Sekarang? Di sini?"Sudut bibir Liam terangkat. "Kenapa tidak?"Keya melirik sekeliling. Ruang kerja itu cukup luas, namun meja penuh tumpukan kertas, rak buku panjang menempel rapat ke dinding. Lampu meja memberi cahaya hangat yang memantulkan bayangan di wajah mereka. Liam melirik ke sofa panjang yang kalau dia kelelahan kadang suka tidur di sana sebe;um dia menika
"Kak..." suara Keya terdengar dari arah belakang Liam, memanggil suaminya yang sedang menyisir rambut ikalnya.Liam menoleh sebentar. "Kenapa, Ey?"Belum sempat Keya menjawab, suara langkah kecil terdengar tergesa dari dalam kamar. Sheryn muncul dengan pipi merona, masih mengenakan baju tidur bergambar kelinci. "Yah... idul..."Liam terkekeh melihat anaknya berlari sambil mengangkat kedua tangan. "Mau ngajak tidur Ayah?"Gadis kecil itu mengangguk, matanya berbinar. "Yah... emein...""Sheryn, bunda kan sudah berusaha menidurkan kamu," sahut Keya, mencoba tetap sabar. "Ayo, nak, tidur sama Bunda dulu. Ayah mau sholat. Lagian Ayah juga banyak pekerjaan di akhir tahun ajaran."Tapi Sheryn langsung memeluk kaki Liam erat-erat, wajahnya menunduk sambil merengek. "Aku au...ma,.. Yah..."Liam jongkok, menatap mata anaknya yang mulai berkaca-kaca. "Nak, Ayah mau sholat dulu. Tidur sama Bunda dulu, ya? Nanti kalau Ayah sudah selesai, kita main sebentar sebelum tidur."Sheryn menggeleng cepat,
"Seatbelt dulu," ucap Arfan sambil melirik sekilas. Tangannya tetap di kemudi, tapi bibirnya sedikit terangkat.Najla menarik tali pengaman, menguncinya di sisi kursi. "Sudah."Mesin mobil menyala, deru halus terdengar. Jalan desa sepi, hanya sesekali motor lewat dengan suara knalpot yang memecah tenang siang itu.Hening beberapa menit, hanya suara radio pelan mengisi udara. Najla membuka sedikit kaca jendela, membiarkan angin sore masuk."Sidang tadi lumayan tegang, ya?" tanya Arfan akhirnya.Najla menoleh sekilas. "Lumayan. Aku juga baru pertama kali lihat langsung prosesnya. Ternyata lebih banyak formalitas daripada yang aku bayangkan."Arfan terkekeh. "Kalau sidang perceraian, apalagi yang melibatkan angka besar, biasanya memang begitu. Ada tarik-ulur sebelum masuk ke pokok perkara."Najla mengangguk, matanya kembali mengamati jalan. Sesekali ia melihat anak-anak bermain sepeda di pinggir jalan, sorakan mereka mengalun, kontras dengan obrolan serius beberapa menit lalu.Ponsel Naj
Sheryn sudah berdiri di ujung teras, rok pink yang dikenakannya setengah terangkat karena berlari-lari kecil. Tangan mungilnya terangkat tinggi, minta digendong.Liam langsung tersenyum lebar. Langkahnya lebar-lebar menghampiri, lalu menunduk dan mengangkat gadis kecil itu tinggi-tinggi. "Wah, putri ayah udah pulang sekolah, ya?" candanya.Suara tawa Sheryn pecah ketika Liam menciumi pipinya berkali-kali. Pipi bulat itu wangi bedak bayi, bercampur sedikit aroma keringat siang."Jam segini udah mandi Wangi amat . Dmandiin Uti ya?"Gadis itu mengangguk. "Yah... ain..." ucapnya dengan ucapan yang belum jelas."Mainnya nanti, sekarang kita masuk dulu," jawab Liam sambil menurunkannya perlahan.Keya berdiri di teras sambil memegang tas kerjanya dan beberapa buku. Matanya menatap Liam lama, seolah membaca isi hati suaminya. "Gimana sidangnya, Kak?" tanyanya singkat.Liam melepaskan napas panjang, lalu menaruh tas kerjanya di kursi rotan teras. "Masih minta satu miliar. Udah jelas aku kasih