“Mbak Alea, boleh Ratih masuk?” tanya Ratih yang tampak kikuk di depanku.
Ratih, adik mas Farhan, orangnya pendiam, jarang ngobrol denganku. Seperti memiliki dunia sendiri. Lebih senang dengan ponselnya, daripada berinteraksi dengan banyak orang. “Ada apa?” tanyaku mempersilahkannya masuk. “Mbak, boleh gak aku minta tolong untuk sampaikan kepada mas Farhan kalau minggu depan ada acara kampus di luar kota, Ratih butuh dana sekitar satu juta.” “Satu juta?” tanyaku heran. Ratih mengangguk. Gadis berusia 20 tahun, dengan wajah cantik, pemalu, tiba-tiba saja meminta tolong untuk mengeluarkan dana di luar dana yang sudah aku atur. “Aku harus bicarakan dengan mas Farhan, Ratih. Satu juta bukan uang yang sedikit.” “Ratih tahu, tapi ini penting banget buat acara Ratih di kampus. Kalau Ratih gak ikut, nanti Ratih gak bisa buat laporan presentasi,” ucapnya. “Mbak tahu, tapi uang segitu cukup besar untuk mbak kasih tanpa sepengetahuan mas Farhan. Ratih kirim pesan ke mas Farhan aja yah?” usulku. Dengan wajah ragu, Ratih mengeluarkan ponselnya. Ponsel dengan logo apel digigit keluaran teranyar membuatku sedikit syok. Untuk seorang mahasiswi yang mengandalkan keuangan dari kakaknya untuk biaya kuliah, bagaimana mungkin dia bisa memiliki ponsel semahal itu? Aku sendiri hanya pakai ponsel smartphone yang aku pakai beberapa tahun sebelum menikah dengan mas Farhan. “Ini mbak, jawabannya mas Farhan,” ucap Ratih sambil memberikan ponselnya kepadaku. “Nanti minta sama mbak Alea yah. Mas sudah kasih gaji mas ke mbak Alea. Yang terpenting, kamu kuliah yang bener, biar cepat lulus dan cepat kerja,” tulis mas Farhan. “Tuh, mbak Alea. Mas Farhan sudah acc,” ujar Ratih dengan tersenyum puas. “Baiklah, tunggu disini. Mbak ambil dulu uangnya.” Aku masuk ke dalam kamar, membuka laci lemari yang biasa aku gunakan untuk menyimpan uang. Kali ini, amplop yang aku tulis dana cadangan, aku buka, aku hitung dan mengambil satu juta untuk kebutuhan Ratih. “Ini.” Kuserahkan uang satu juta kepada Ratih. Sebenarnya, aku ada sedikit tidak ikhlas memberikan uang itu kepada keluarganya mas Farhan. Karena mudah sekali mereka meminta uang kepada mas Farhan, sedangkan aku yang mengelola keuangan, pusing untuk mengatur dananya. Dengan tersenyum puas, Ratih menerima uang sejuta itu dan pamit pulang karena akan kuliah. Aku kembali menghitung anggaran dana bulananku. Gaji dua puluh juta, aku rinci kembali, 5 juta untuk cicilan mobil, 3 juta untuk kebutuhan makan selama sebulan, 3 juta untuk pegangan mas Farhan, 2 juta untuk kebutuhanku pribadi, 2 juta untuk kebutuhan ibu mertua, 1 juta untuk kebutuhan kuliah Ratih, 1 juta untuk kebutuhan listrik, air, sampah, air galon, internet, dan 2 juta untuk kontrak rumah. Sisa sejuta digunakan untuk dana cadangan yang sudah aku dan mas Farhan sepakat di tabung untuk DP KPR. Pernikahanku yang menginjak tahun kedua, seharusnya sudah terkumpul 24 juta, namun kenyataannya, tidak sampai 10 juta. “Gimana bisa DP rumah kalau terlalu banyak keluar uang untuk hal-hal yang kadang tidak terlalu penting?” Kadang aku merenung memikirkan pengeluaran rumah tangga ini. Untuk kebutuhanku sendiri sebesar 2 juta, aku keluarkan seminim mungkin, hanya untuk transportasi aku ke restoran yang setelah menikah aku limpahkan ke manager restoran. Aku hanya bekerja dari rumah. Menghitung cost bahan baku, menuliskan menu, lalu mengirimkan kembali ke manager restoran. Aku hanya pergi ke restoran hanya waktu-waktu tertentu, hanya untuk mengontrol restoran tetap berjalan, dan Alhamdulillah, sampai saat ini masih tetap eksis. Apalagi Evan baru saja mengirimkan jadwal booking yang hampir sebulan ini full. Biasanya, para istri selalu memprioritaskan skincare agar tetap glowing dimata suami mereka, tapi aku cukup beruntung memiliki kulit yang tidak butuh banyak perawatan. Hanya perawatan dari yang biasa dijual minimarket-minimarket saja, wajahku tetap cerah. Hanya membubuhkan sedikit makeup agar penampilanku bisa terlihat lebih cantik, walau harus bergelut di dapur restoran. “Mas, tadi ibu pinjam lima ratus ribu untuk bayar arisan sama satu juta, aku kasih Ratih karena mas sudah acc,” tulis pesanku yang aku kirimkan ke ponsel mas Farhan. “Iya, Sayang. Untuk ibu, tolonglah jangan pake istilah pinjam, sudah berikan saja. Nanti kamu atur kembali pengeluarannya yah,” balas mas Farhan. Aku menghela napas panjang. Kalau saja aku tidak mempunyai penghasilan diluar pemberian mas Farhan, mungkin aku seperti istri-istri diluar sana yang uring-uringan memikirkan nasib keuangan mereka. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, saatnya aku ke pasar untuk cek harga kebutuhan restoran, serta stock beberapa bahan yang diperlukan seperti bahan kue, beras, minyak, bumbu-bumbu, telur dan daging-dagingan. Sedangkan untuk sayur-sayuran, supplier yang datang langsung ke restoran sehari sebelum acara. Aku ganti pakaian, dan bersiap untuk ke pasar besar dan memesan ojek online untuk mengantarkan aku kesana. Dua jam aku berkutat di pasar, memesan kebutuhan untuk stock restoran yang bisa menghabiskan anggaran 20 juta. “Evan, aku sudah belanja kebutuhan restoran, nanti mereka antar sejam lagi yah.” “Siap, mbak Alea! Evan disini standby buat persiapan besok. Apa mbak Alea mau mampir kemari?” tanya Evan yang aku hubungi melalui telepon. “Mungkin setelah makan siang yah. Mbak lapar, makan siang dulu baru mampir ke restoran.” “Oke, mbak!” tutup Evan. Setelah semua pesanan masuk semua ke dalam mobil box untuk dikirimkan ke restoran, aku pun mulai mencari tempat makan sebelum aku pergi ke restoran. Rumah makan lesehan dengan menu ayam goreng adalah pilihanku saat ini. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pasar, cukup berjalan 200 meter dari pasar. Semenjak menikah, aku tidak lagi memakai mobil. Karena aku berpikir, suami yang harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan istri bukan? Jadi mobil digunakan untuk operasional restoran saja, karena mereka lebih perlu. Apalagi aku hanya memantau pekerjaan mereka, jadi cukup dengan ojek online. Aku memesan ayam goreng dengan tumis kangkung dan es kelapa muda yang segar diminum siang-siang seperti ini. Ditambah rumah makan dengan konsep lesehan yang terbuka, aku duduk di pinggir jendela, sehingga angin yang berhembus membuatku tidak terasa kepanasan. Selesai makan, aku memesan ojek online untuk mengantarkan aku ke restoran. Kuambil helm dari si driver, dan baru saja ojek ini melaju, aku melihat mobil mas Farhan masuk ke rumah makan lesehan dan terlihat wajah seorang perempuan di samping mas Farhan. Aku menengok sekali lagi untuk memastikan bahwa plat nomor mobil itu milik mas Farhan, dan benar saja itu milik mas Farhan. Motor yang aku tumpangi melaju lebih cepat hingga aku tidak mampu berpikir apa yang harus aku lakukan. “Siapa wanita yang berada di samping mas Farhan itu?”Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti