Share

Foto Keluarga

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-01 13:22:57

“Ya ampun, Teh ... Santai aja kali. Tenanglah, aku nggak bakalan berbuat yang tidak-tidak kecuali kalau Teteh yang minta,“ katanya. Adik ipar pertamaku ikut tersenyum miring lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

“Mamah nyuruh Teteh ke warung,“ lanjutnya.

“Ngapain?“ tanyaku dengan alis bertaut.

“Beli rokok sama kopi. Sekalian beli cinta buat aku,“ katanya terkekeh membuat ulu hatiku mual seketika. Candaannya itu tidak lucu sama sekali.

“Yasudah simpan uangnya di atas meja,“ ujarku ketus. Hadi tersenyum lalu mengulurkan uangnya.

“Nggak ah, aku maunya Teteh ambil langsung dari tanganku,“ katanya membuat gigiku gemeretuk.

“Oke, tapi setelah itu aku mau pukul kamu pake ini.“ Aku mengayun-ayun raket nyamuk dan berhasil membuat mengumpat. Dengan wajah ditekuk dia menyimpan uang itu lalu melenggang dari kamarku. Alhamdulillah ... Selamat.

.

“Dari mana dulu, Dek?“ tanya Mas Hasan saat kulabuhkan bobot di sampingnya.

“Ke warung disuruh beli rokok sama kopi,“ jawabku. Mas Hasan menatapku iba lalu mengusap puncak kepalaku.

“Udahlah, Mas. Aku udah biasa, kok,“ cetusku sakras.

**

Prosesi Akad nikah selesai. Ikmal sudah resmi mempersunting Ningrum dengan mahar seperangkat alat shalat dan perhiasan dua puluh gram. Lebih ringan dari permintaan Mamah dan Ningrum saat lamaran dulu. 

Ikmal berdiri menyambut Ningrum yang datang diapit Nuri dan Rika. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Sementara Mamah hanya menatap datar mantu barunya itu. Sepertinya Mamah kecewa karena mahar tak sesuai dengan permintaannya.

Ningrum terlihat makin dewasa dengan make up tebalnya. Kebaya putih yang dikenakannya pun  membentuk tubuhnya yang sintal. Aku yang melihatnya risih sendiri karena bagian dadanya tak tertutup hijab.

Acara inti sudah selesai. Para tamu undangan mulai berdatangan. Fotograper sibuk memberi arahan. Sementara aku hanya berdiri di sudut taman seraya menggendong Khalid. Ada perasaan yang tak bisa diungkapan ketika Mamah melambaikan tangan pada Nuri dan Rika. 

“Jangan dulu naik, ini foto keluarga inti.“ Sang fotograper memberi intruksi. Para tamu yang hendak menyalami pengantin sontak berhenti melangkah.

Mamah, Bapak, Pengantin, Nuri dan Rika juga kedua iparku berpose dengan berbagai gaya. Kulihat Bapak berbisik, tapi Mamah tak mengindahkannya.

“Di sini ternyata. Mas nyariin dari tadi.“

Suara Mas Hasan tak membuatku melepaskan pandangan dari mereka. Dia baru kembali dari mengantar penghulu.

“Dek ...“

Panggilnya sambil menatap ke tempat yang sama.

“Kok kita nggak diajak sih, Mas?“ 

“Mungkin mereka lupa, Dek.“ Mas Hasan mengusap lembut pundakku.

“Bukan lupa, Tapi dilupakan.“

Aku tersenyum getir sembari menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera dada. Mas Hasan menatapku iba. Dia merangkulku, lalu meminta maaf atas nama Mamah. 

Sebenarnya lebih kasihan Mas Hasan. Anak kandung pertama tapi tak pernah dianggap. Mamah selalu memandangnya sebelah mata. Padahal dulu, Mas Hasan-lah yang banting tulang membiayai keluarganya. Dia merantau ke Saudi Arabia selama sepuluh tahun, karena Bapak terkena stroke. 

Namun sepertinya baik Mamah atau ketiga adiknya lupa akan hal itu. Bahkan saat kami menikah, Mamah hanya memberi mahar lima gram dan seserahan yang sederhana. Padahal uang hasil jerih payah Mas Hasan selama jadi TKI, selalu dikirim ke Mamah.

Mamah juga tak memberi Mas Hasan jatah tanah. Berbeda dengan ketiga adik Mas Hasan. Mereka bukan hanya diberi jatah tanah, tapi juga rumah dan lucunya tanah itu dulunya dibeli dengan gaji Mas Hasan.

Beruntungnya, Mas Hasan tak pernah menggugat. Dia selalu legowo menerima keputusan Mamah. Mas Hasan bilang, gajinya sepuluh tahun tak ada apa-apa jika dibandingkan jasa seorang ibu.

“Kita makan saja yuk, Dek.“ Mas Hasan mengambil alih Khalid dariku. Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya.

Kami bertiga makan di kamar. Celotehan Khalid, membuat kami tertawa ringan. Usia Khalid baru 2,5 tahun. Masih menggemaskan, tapi sayang tingkah lucunya tak mampu membeli hati sang nenek. Khalidku jarang disentuh oleh neneknya sendiri. Mamah sering memarahi Khalid dan pernah juga membentaknya. Empat hari lalu, Mamah membentaknya di depan para saudara dan tetangga. Hanya karena memainkan potongan daun pisang. Padahal Uwak Piah--istri uwak Mas Hasan--sengaja memberinya, supaya tak menggangguku yang sedang menggoreng kue ali.

“Kita pulang besok yuk, Mas.“ Aku berkata sambil menyuapi Khalid. Mas Hasan menatapku dengan iba, kemudian mengangguk.

**

Sinar matahari kian merangkak naik. Langit semakin membiru, tak terlihat  lagi arakan awan-awan. Kutepuk-tepuk pelan punggung Khalid. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak karena dentuman musik yang begitu memekakan telinga.

Aku membawanya ke dapur umum yang terletak di antara rumah Mamah dan rumah Nuri. Suasana dapur umum sudah sepi. Para tetangga yang membantu sudah mulai pulang untuk shalat dzuhur. 

Aku duduk di saung berlantai papan. Saung bapak buat khusus untuk para saudara dan tetangga yang rewang. Kulantunkan surah Muhammad kesukaan Khalid, berharap dia bisa terlelap dengan nyenyak.

“Teteh ...“

Aku menoleh saat mendengar suara Uwak Piah. Sedari tadi pagi kami memang belum bertemu karena dia pergi dulu ke sekolah mengambil Rapot anaknya. 

“Eh, Uwak ... baru datang?“ tanyaku sambil berdiri, mengayunkan Khalid dengan pelan-pelan.

“Enggak, udah dari tadi, Teh. Cuma Uwak jaga dapur. Nyiapin bingkisan, soalnya Bibi Nisa jaga prasmanan,“ jawabnya. Aku hanya mangut-mangut. Memang sudah tradisi di daerah Cianjur, apabila ada saudara yang datang, mereka bukan hanya disuguhi makan tapi juga diberi berbagai macam bingkisan sebagai buah tangan.

Uwak Piah duduk di sampingku. Netranya tertuju pada gamis yang kukenakan.

“Nggak dikasih jatah seragam?“ tanyanya. 

Aku menggeleng. Uwak Sopiah mengembuskan napas kasar. 

“Mertuamu itu memang aneh. Saudara jauh dikasih, tapi menantunya enggak. Entah gimana pemikirannya,“ katanya dengan geram. 

“Enggak apa-apa, Uwak. Lagian Hanna juga nggak biasa pake kebaya sama rok sempit,“ kataku menghibur diri.

“Iya sih. Nggak apa-apalah, Uwak juga pake gamis.“ Uwak Piah memegangi gamis yang dikenakannya.

Dari semua keluarga Mas Hasan, hanya Uwak Piah dan suaminya yang peduli pada kami. Sementara yang lain, aku tak tahu. Karena saat Mamah memarahiku, yang lain hanya saling pandang dan bisik-bisik. Sedangkan Uwak Piah langsung pasang badan. Dia balik memarahi Mamah.

“Itu Khalidnya udah tidur, Teh. Ayo kita ke rumah Uwak, biar Khalid tidur di sana.“ Uwak Piah berkata sambil beranjak berdiri.

**

Rumah Uwak paling sederhana jika dibanding rumah saudara Mamah yang lain. Rumah berdinding geribik, berlantai papan kayu dengan pelataran luas yang ditanami berbagai macam pohon dan tanaman membuatku betah berlama-lama. 

Setelah menidurkan Khalid, aku shalat dzuhur. Lalu menikmati rujak pecel yang Uwak buat sembari menikmati angin sepoi-sepoi.

“Uwak harap, Teteh bisa kuat menjalani rumah tangga. Bisa kuat mendampingi Hasan dan bisa kuat menghadapi Mertua yang modelnya pilih kasih kayak Teh Aas—Mamah mertuaku. Kalau Teh Aas marah, jangan didengerin. Kebalin aja telinga. Biarin dia ngoceh sesuka hatinya. Insya Allah, nanti akan ada balasan untuk kesabaran Teteh,“ kata Uwak sambil menatap pohon-pohon mangga yang berbuah lebat.

“Insya Allah. Aamiin. Doain terus ya, Wak. Sebenarnya Hanna udah nggak kuat, Wak. Makan hati Hanna sama sikap Mamah. Tapi kalau lihat Mas Hasan, Hanna nggak tega. Mas Hasan lelaki baik. Kalau Hanna milih pisah, belum tentu juga dapetin yang lebih baik dari Mas Hasan,“ sahutku sambil tertawa sumbang.

Jika bukan karena sikap baik Mas Hasan, tentu aku lebih memilih mundur dari biduk rumah tangga ini. Dari awal pernikahan, Mamah tak pernah bersikap baik padaku. Dia sering memojokanku. Bukan hanya di hadapan keluarganya tapi juga di hadapan orangtuaku sendiriku pun pernah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
mertua dan adik ipar pada brengsek..anak tertua fan menanti tdl dianggap karena miskin
goodnovel comment avatar
eerupsi Id
nice story
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • BUKAN MENANTU KAYA   Bertemu lagi

    BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng

  • BUKAN MENANTU KAYA   Zayn

    ”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mertua Idaman

    Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,

  • BUKAN MENANTU KAYA   Sebuah Janji

    “Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mamah jatuh

    Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand

  • BUKAN MENANTU KAYA   Menjaga hati

    Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status