Share

BUKAN MENANTU KAYA
BUKAN MENANTU KAYA
Penulis: Fatimah

Seragam

“Loh ... Teteh dari mana? Kok belum ganti baju?“ tanya Bibi Nani—istri paman suamiku—saat aku masuk ke ruang keluarga. Dimana para perempuan di keluarga Mas Hasan—suamiku—tengah sibuk mematut penampilan masing-masing. 

Hari ini, Ningrum adik iparku akan menikah. Seperti lumrahnya, semua perempuan yang terlibat dalam acara akan dirias dan mengenakan seragam tapi tidak denganku.

“Hanna nggak bakalan pake seragaman, nggak bakalan dirias juga. Dia punya anak kecil, Riweuh,“ jawab Mamah mertuaku. Beliau baru selesai dirias. Bulu mata anti badai membuat matanya terlihat seperti orang kelelahan. Belum lagi shading hidung yang bentuknya tak tepat, membuat penampilan Mamah jadi agak aneh.

“Iya, Bi. Lagian susah juga kan, Teh Hanna sehari-hari pake gamis. Sedangkan seragaman kan kebaya dan rok jarik. Jadi nggak bakalan cocok,“ sahut Rika—istri Hadi, adik dekat Mas Hasan. 

“Betul. Pasti aneh kalau Teh Hanna pake seragaman kek gini.“ Nuri—istri Haikal, adik kedua Mas Hasan—ikut menimpali seraya tersenyum sinis. 

Aku hanya tersenyum masam. Pintar. Mertua dan istri ipar-iparku memang pintar bikin drama. Pintar pula berbohong. Padahal alasannya bukan itu. Mereka memang sengaja tak memesankan seragaman untukku. Aku tahu karena seminggu lalu saat menyapu di ruang keluarga, tak sengaja mendengar obrolan mereka tentang baju seragam keluarga.

“Mah, Ini seragamannya sudah jadi. Bikin tiga puluh lima potong sesuai nama-nama yang udah dilist. Kecuali Teh Hanna,“ kata Ningrum. 

“Oh ya, bagus. Hanna nggak usah dikasih, malu-maluin. Dia miskin, nggak sekufu dengan kita,“ sahut Mamah.

“Iya Mah, jangan dirias juga ya. Rika takut kalah saing. Mamah sendiri tahu kan gimana Mas Hadi, dari dulu sering banget muji-muji Teh Hanna.“ Suara Rika terdengar begitu menyedihkan. 

“Iya, Mah. Lagian dia kan sok alim, bajunya gombrang-gombrang, nggak cocok pake pake kebaya modis seperti ini.“ Nuri pun menambahi tak kalah pedas. 

Aku yang mendengarnya, tentu sedih dan kecewa. Ternyata prasangkaku memang benar. Mamah pilih kasih dan mereka bertiga, Rika, Nuri dan Ningrum ... Ternyata menaruh dengki padaku. Apa salahku? Seingatku, selama ini tak pernah membuat masalah. Kalaupun karena Hadi menyukaiku, itu bukan keinginanku. Lagipula tak sedikit pun aku melayaninya dan justru sering menghindar.

Aku tak menyapu sampai selesai.  Mood hancur seketika. Aku memilih masuk kamar, bermain dengan Khalid. Tak kupedulikan suara menggelegar Mamah yang protes karena sampah masih berserakan di depan kamar Ningrum. Saat Mas Hasan pulang dari kebun, kuceritakan semua yang mereka bicarakan. 

Bukannya kecewa, Mas Hasan justru tersenyum lebar. Membuat bibirku mengerucut sebal.

“Syukur deh kalau Adek nggak dikasih seragaman dan dirias.“ Begitu katanya.

“Kok gitu sih, Mas?“ Aku tak terima. Soalnya sudah lama aku memimpikannya. Dirias lalu difoto bertiga dengan Mas Hasan dan Khalid. Seperti yang dilakukan keluarga kecil lain.

“Gini ya, Dek ... Dalam islam, berhias itu diperbolehkan. Tapi ... Tidak sembarangan. Seorang istri boleh berhias hanya untuk suaminya. Kalau kamu besok dirias, nanti yang lihat kecantikanmu bukan Mas saja. Tapi tiap lelaki yang berpapasan sama kamu. Kamu mau mereka zina mata melihat karena melihat wajahmu?“ 

Aku menggeleng cepat.

“Terus  masalah seragaman. Seragamannya kan kebaya, modelnya juga pada gitu ya, Dek. Ngepas badan alias membentuk lekuk tubuh. Dalam islam kan nggak diperbolehkan berpakaian seperti itu. Kalau Mas nggak keberatan alias mengizinkan, berarti Mas udah jadi suami dayyuts. Ih ... Naudzubillahi min dzalik,“ lanjutnya sambil bergidik ngeri.

Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat berbagai perkataan Ustadzah Munawaroh tentang bertabbaruj dan yang dikatakan Mas Hasan memang pernah dikatakan juga oleh Ustadzah Munawaroh. Aku sontak menggelengkan kepala. Naudzubillah ya Allah.

“Terus kalau Ibu sama Ningrum? Gimana mereka, Mas? Mereka kan ...“ kataku yang langsung disela Mas Hasan.

“Tidak usah mikirin mereka, Dek. Mas udah pernah ngomong dan mereka tetep, ngotot. Malah ngatain Mas ini ngotot, jadi ya terserah mereka saja.“ Mas Hasan berkata sambil mengendikkan bahunya.

**

“Heh, Hanna! Kok malah melamun? Cepet kasih belanjaannya ke canori.“

Suara ketus Mamah membuatku tersentak kaget. Aku memang baru pulang dari pasar. Membeli bahan-bahan yang habis sebelum saatnya. 

“Cepet sana!“ teriak Mamah membuat yang lain menoleh padaku. Aku pun segera melangkah ke arah dapur umum.

“Mantu saya yang itu memang beda dari yang lain. Dia pemalas, lelet pula.“

Saat aku sudah agak jauh, terdengar Mamah berkata demikian. Lagi-lagi aku hanya tersenyum masam. Mamah, sekeras apapun aku bekerja, tetap saja jadi bahan gunjingannya.

**

Setelah dari dapur umum, aku masuk kamar. Merebahkan diri di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Andai aku banyak harta ... mungkin tak akan seperti ini ceritanya. Mamah takkan memandang rendah, pun dengan ipar-iparku yang lain.

Astagfirullahal adziim ...

Kuusap dada pelan. Tak seharusnya berpikir demikian. Sebagai muslimah yang cukup paham agama, aku tak boleh berandai-andai. Itu sama saja memprotes takdir yang Allah beri.

“Hei Dek, lagi ngelamunin apa?“

Suara Mas Hasan membuatku menoleh. Dia dan Khalid putra kami sudah tampan dengan kemko berwarna lilac yang senada dengan gamisku.

“Hehe, nggak, Mas. Lagi suntuk aja,“ jawabku sambil tersenyum paksa.

Dia menghela napas panjang.

“Mamah bikin masalah lagi ya, Dek?“ tanyanya dengan nada berat. Mendengarnya sontak membuat netraku berkaca-kaca.

“Maafin Mamah ya, Dek,“ ucap Mas Hasan. Tangannya terulur menyentuh pipiku. Aku hanya mengangguk lalu menahan air mata yang bersiap meluncur.

“Cepat ganti baju, Dek. Akadnya sebentar lagi.“ Mas Hasan memberi perintah. Aku segera bangkit berdiri, lalu menyuruhnya keluar.

Kutatap pantulan diri di cermin. Gamis berbahan fursan emboss warna lilac dengan desain yang cantik dan pashmina instan syari membuat senyumku merekah. Warna dan desain gamis yang cantik membuatku merasa lebih muda beberapa tahun.

“Masya Allah, Umma cantik banget,“ kata Mas Hasan saat masuk kembali. Aku menutup wajah dengan tangan. Malu dan tersanjung mendengar pujiannya. 

“Abaa emang makin pinter ngegombal,“ kataku sambil meninju pundaknya. Sontak Mas Hasan pun tertawa.

“Enggak kok, Mas nggak ngegombal. Adek memang cantik, kok.“ Senyumku kembali merekah. Mamah mertua mungkin memang tak menyukaiku, tapi tidak mengapa. Toh masih ada Mas Hasan yang melabuhkan hatinya padaku.

“Yaudah, ayo, Dek,“ katanya.

“Mas duluan deh, mau beresin tempat tidur dulu. Acak-acakan nih,“ sahutku. Mas Hasan mengangguk dan  kembali keluar kamar sambil menggendong Khalid. 

Namun ketika merapihkan tempat tidur, pintu kembali terbuka.

“Ada apa, Mas?“ tanyaku sambil membalikkan badan dan mata terbelalak sempurna saat tahu bukan Mas Hasan yang masuk.

“Kamu ... Mau ngapain ke kamarku?“ tanyaku. Bukannya menjawab, dia justru melangkah menghampiri. Membuatku ketakutan bukan main. Spontan aku mundur lalu mengambil raket nyamuk di atas lemari.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kasihan jadi istri moskin dan tinggal di rumah mertua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status