Share

Masa lalu

last update Huling Na-update: 2024-03-16 11:01:41

"Astaghfirullah, Mbak. Tolong jangan mengatakan hal yang tidak benar di depan menantu saya," jawab ibu ketika mendengar ucapan Bu Sarah.

"Mas Firman memang hanya menikahi saya secara siri, tapi kami menikah lebih dulu dibandingkan dengan kalian," lanjut Ibu lagi. "Lagipula bukannya saya sudah dengan ikhlas meminta talak darinya, meskipun saat itu saya sedang hamil? Kenapa ucapan Mbak Sarah masih seperti itu?"

"Halah, sok suci kamu, Aisyah. Di mana-mana yang namanya istri siri itu ya pelakor!" sahut Bu Sarah lagi.

"Ilmu dari mana itu, Bu?" Aku akhirnya menyahut. "Pernikahan siri tetap sah di mata agama."

"Kamu masih ingusan, gak usah ikut-ikutan!" Bu Sarah menatapku sengit. "Saya dan Mas Firman sudah lebih dulu dijodohkan. Jadi tetap saja si Aisyah ini pelakor. Sudah cerai pun masih mengemis uang untuk biaya melahirkan. Kamu gak tahu itu, kan?"

"Mbak, saya sudah berjanji akan menggantinya, dan melunasinya secepatnya," jawab Ibu lagi. "Jadi tolong, jangan bicara lagi tentang masalah kita di depan menantu saya."

Bu Sarah terlihat mendecih. Dengan angkuhnya dia kembali menatap Ibu.

"Minggu depan anak saya Nikita akan menikah," ucapnya kemudian. "Pastikan kamu dan Lana akan datang, Aisyah. Ini permintaan Mas Firman."

Ibu terlihat terdiam cukup lama, dan setengah menunduk.

"Tapi, Mbak, saya merasa tidak pantas untuk datang," jawab Ibu kemudian.

"Kenapa? Malu?" Bu Sarah tampak tersenyum mengejek. "Sebenarnya kalau bukan Mas Firman yang minta, saya juga tidak sudi mengundang kalian. Tapi apa boleh buat, kami juga tidak mungkin menyembunyikan aib keluarga di depan calon besan selamanya."

Aku ingin membuka mulut lagi, ingin membalas ucapan Bu Sarah yang benar-benar keterlaluan itu. Tapi Ibu memegang tanganku erat, menatapku sedih dan menggeleng pelan. Memintaku untuk tidak melawan wanita itu lagi.

"Jangan khawatir, Aisyah. Saya tahu apa yang kamu pikirkan." Bu Sarah mengulurkan tas besar yang dia bawa tadi pada Ibu. "Ini ada baju bekas yang masih layak pakai. Pakai saja ini untuk datang. Jadi kamu tidak perlu susah-susah memikirkan jika penampilanmu akan memalukan."

Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan penghinaan itu. Jadi meskipun Ibu masih memintaku untuk tak membalas, aku mengabaikannya.

"Tidak perlu, Bu. Bawa kembali. Kalau hanya baju, saya mampu membelikan untuk ibu mertua saya!" ucapku kemudian.

"Wah, sombong juga menantumu ini, Aisyah. Baguslah kalau begitu. Saya tunggu kedatangan kalian," jawab Bu Sarah lagi sambil melenggang pergi.

Aku masih berdiri di tempatku bersama Ibu, sampai suara mobil wanita itu terdengar pergi meninggalkan rumah kami. Setelahnya, aku membuang napas kesal, merasa belum puas membalas ucapan Bu Sarah tadi.

"Maafkan Ibu ya, Nduk," ucap Ibu sambil menatapku sendu. "Baru sehari kamu tinggal di rumah Ibu, tapi sudah terlibat banyak sekali masalah."

Aku menarik napas panjang, lalu membalas tatapan ibu mertuaku itu.

"Bu, kenapa Ibu selalu mengalah jika dihina orang? Dengan para tetangga juga. Kalau Ibu tetap mengalah seperti itu, mereka jadi makin suka menginjak-injak Ibu. Padahal Ibu tidak melakukan kesalahan apapun," ucapku kemudian padanya.

"Menjelaskan pun percuma, Nduk. Bagi mereka, ucapan orang seperti Ibu ini hanya angin belaka," jawab Ibu.

"Orang seperti Ibu?" Aku menutup kedua mataku, miris.

Apakah benar di dunia ini hanya orang kaya saja yang dihargai? Apakah selamanya orang miskin hanya akan dipandang sebelah mata saja? Aku sempat menyesal karena terlahir kaya, hal yang membuatku kehilangan sesuatu yang paling berarti dalam hidupku. Tapi kali ini, aku seketika sadar akan aku gunakan untuk apa semua kekayaan yang aku miliki.

"Berapa jumlah utang Ibu pada Bu Sarah?" tanyaku kemudian, kembali menatap Ibu dengan pandangan serius.

Ibu terlihat sedikit terkejut mendengar ucapanku, tak langsung menjawab. Aku segera sadar jika pertanyaanku sedikit sensitif, jadi segera kuraih kedua tangan ibu mertuaku itu, menggenggamnya erat.

"Sekarang aku ini adalah mantu Ibu, artinya anak Ibu juga. Jadi semua masalah Ibu sudah menjadi tanggung jawabku," ucapku kemudian meyakinkan. "Ceritakan semuanya padaku, Bu."

"Tapi, Nduk, Ibu gak mau merepotkan kamu. Ibu juga malu kamu jadi tahu tentang masalah ini," jawab Ibu dengan wajah seperti menahan tangis.

"Ibu percaya padaku, kan?" Aku menatap Ibu lebih lekat.

Ibu membalas tatapanku, lalu mengangguk pelan. Akhirnya dia mau menceritakan semuanya. Rupanya dulunya Ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga Pak Firman. Saat itu mereka masih sama-sama lajang. Entah bagaimana awalnya mereka saling jatuh cinta. Tapi tentu saja, hubungan mereka berdua ditentang keras oleh orang tua Pak Firman. Alasannya klasik, karena kasta mereka berbeda.

Saat mengetahui hubungan itu, keluarga Pak Firman akhirnya memecat Ibu, dan menjodohkan Pak Firman dengan Bu Sarah. Namun Pak Firman diam-diam menikahi Ibu, dan membelikan Ibu rumah untuk ditinggali. Bagaimanapun, hubungan keduanya akhirnya ketahuan juga. Pak Firman akhirnya menjatuhkan talak pada Ibu saat sedang mengandung Mas Lana.

"Saat itu Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi untuk biaya melahirkan. Jadi Ibu terpaksa meminta bantuan pada mereka, dengan syarat akan mengembalikan semuanya, termasuk rumah yang Mas Firman belikan untuk Ibu. Jadi sampai sekarang kami belum sanggup melunasi." Ibu terisak di akhir ceritanya.

Aku menarik napas panjang, lalu merangkul wanita berjilbab lusuh di depanku itu. Sungguh kehidupan yang tidak adil untuk Ibu. Ibu hanya korban, namun harus menerima tuduhan dan penghinaan. Malang sekali nasibmu, Bu.

"Kita tidak perlu datang, Nduk. Ibu tahu mereka mengundang kita hanya untuk mempermalukan kita. Ibu gak mau kamu dan Lana malu gara-gara ibu," ucap Ibu lagi, sambil terus terisak.

"Tidak, Bu. Kita harus datang. Justru ini kesempatan bagus untuk membersihkan nama ibu di depan orang-orang sombong itu," jawabku.

"Tapi, Nduk ...."

"Ibu tenang saja. Serahkan semuanya padaku." Aku meyakinkan Ibu lagi.

Benar, akan kubuat orang-orang itu menyesal karena sudah membuat wanita berhati malaikat seperti Ibu menderita. Akan aku pastikan itu!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Akhir ( END )

    Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Pada akhirnya

    "Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Pengorbanan

    "Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Lancang

    "Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Para Penjahat

    "Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in

  • BUKAN MENANTU MISKINĀ Ā Ā Iman

    "Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status