"Kami bercerai bukan karena ada yang selingkuh," kata Shelin berusaha untuk tidak terpengaruh dengan berita yang dibawa oleh Ratna.
"Ohya? Berarti, Pram itu tidak se-cinta itu sama kamu, sampai dia sudah move on dari kamu!""Setiap orang berhak memulai kehidupan baru setelah gagal dengan pernikahannya, termasuk dia. Aku ikhlas kalau memang dia sudah punya pengganti.""Terus kamu? Situasi kamu yang begini gimana bisa bersaing dengan mantan suami kamu, masa kamu kalah belum dapat pengganti?""Hubungan itu bukan perkara menang atau kalah, Ratna, lagipula, aku belum kepikiran untuk mengenal pria lain, sekarang hidupku hanya untuk fokus membesarkan Sheila, itu aja.""Apa sekarang, kamu cuma menghibur diri kamu sendiri? Sebenarnya, kamu itu masih cinta sama mantan suami kamu, tapi mantan suami kamu tidak cinta lagi sama kamu, jadi kamu memilih sendiri?""Kamu pernah bercerai?""Enggaklah! Enak aja!" jawab Ratna dengan nada suara yang meninggi."Semoga pernikahan kamu langgeng, jangan sampai ada perceraian, itu momok menakutkan bagi pasangan yang sudah menikah, tapi yang namanya takdir, tidak bisa kita atur, Ratna, kamu pikir aku suka bercerai? Tentu tidak, aku memikirkan Sheila, tapi apa boleh buat, itu sudah jalan yang diberikan Allah buat aku."Padahal saat ini, Shelin rasanya sangat sesak sekali, namun ia masih berusaha untuk menahan perasaan sesak itu, dan bicara sebijak itu pada orang lain.Mengeluh di hadapan manusia seperti Ratna, rasanya tidak akan membuat perubahan positif bagi dirinya. Itu sebabnya, Shelin memilih untuk bicara demikian saja pada tetangga rese-nya tersebut."Kata-kata kamu itu sudah menunjukkan fakta, kalian bercerai karena kesalahan kamu, mungkin kamu tidak peduli dengan dirimu sendiri, jadi Pram menceraikan kamu, melihat wanita baru dia tadi itu, rasanya aku sudah tahu selera Pram seperti apa.""Aku capek, aku mau masuk."Ratna tertawa getir ketika Shelin justru mengalihkan pembicaraan ketika ia mengatakan hal itu dihadapan wanita tersebut."Lin, kamu tahu kenapa aku selalu memakai uang belanja buat ke salon?"Gerakan Shelin yang ingin masuk ke rumahnya terhenti saat Ratna melontarkan pertanyaan tidak penting itu padanya."Karena kamu memang suka berdandan!""Iyalah! Dandan itu wajib, Shelin! Kamu itu harus dandan, seksi di hadapan suami kamu, jadi dia selalu puas, lihat aku! Di rumah aja aku selalu dandan, enggak kayak kamu, cuma pakai bedak tipis dan pelembab bibir, kucel tau! Pram itu ganteng, bodinya bagus, wajar seleranya tinggi!"Mendengar apa yang diucapkan oleh Ratna, Shelin membalikkan tubuhnya dan menatap wanita itu dengan tatapan mata yang tajam."Aku memang tidak menor kaya kamu! Bagiku yang penting itu bersih dan wangi, masalah seperti itu sebenarnya Pram tidak mempermasalahkan. Aku dan dia sebelum menikah sempat pacaran beberapa bulan, tidak ada hal yang menjurus ke sana yang membuat Pram seperti yang kamu bilang. Dia cukup puas dengan apa yang aku berikan padanya. Jadi, kamu enggak usah mengomentari sesuatu yang kamu sendiri enggak tahu!""Hei! Sombong sekali kamu? Kamu pikir anak kamu itu bisa menerima perceraian kalian? Kamu tahu tidak? Saat dia ada di rumahku, bicara dengan anakku, Sheila selalu mengatakan bahwa ayahnya pasti akan pulang. Dia selalu merindukan ayahnya, apa yang kamu katakan pada anak kamu hingga dia merasa kalian itu belum bercerai? Kamu membohongi Sheila bahwa ayahnya itu tidak cinta lagi dengan ibunya?!""Jaga ucapan kamu, Ratna! Lipstik kamu belepotan di luar area bibir, lebih baik kamu merapikan itu saja karena terlihat tidak enak dipandang mata, aku tidak berbohong dengan Sheila, aku hanya mencari waktu yang tepat agar bisa bicara hal yang sebenarnya dengan dia. Jadi, kamu tidak perlu berkomentar yang tidak-tidak!"Setelah bicara demikian, Shelin masuk ke dalam rumah kontrakannya.Rasanya hatinya sangat hancur sekarang. Bukan karena kabar bahwa Pram sudah memiliki wanita lain yang mungkin adalah wanita yang akan jadi penggantinya.Tetapi karena perkataan Ratna yang mengatakan dirinya membohongi Sheila. Di satu sisi ucapan tetangga rese-nya itu memang ada benarnya, ia berbohong karena tidak mau membuat sang anak jadi membenci Pram.Shelin tidak mau anaknya menganggap ayahnya adalah ayah yang jahat. Karena memang sebenarnya Pram bukan pria yang jahat. Hanya saja, predikat yang diberikan oleh sang mantan suami atas dirinya sebelum bercerai itulah yang membuat Shelin sendiri tidak mengerti, mengapa Pram tiba-tiba saja memberikan label dirinya pembawa sial?Apa yang menyebabkan mantan suaminya itu sampai serius mengatakan ha itu padanya hingga tetap memilih bercerai dengan dirinya?Namun, Shelin benar-benar bukan ingin selalu berbohong pada sang anak. Ia hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sebenarnya, lagipula, Shelin percaya seiring waktu pikiran anaknya juga semakin lama semakin dewasa.Ketika itu terjadi, ia yakin menjelaskan hal yang sebenarnya juga akan terasa mudah. Yang penting sekarang, Shelin tidak mau menanamkan bibit kebencian di hati Sheila pada Pram, meskipun sebenarnya ia kecewa dengan pria yang pernah mencintai dan dicintainya tersebut."Mama....."Suara Sheila membuat Shelin mengusap sudut matanya yang berair karena wanita itu nyaris menangis."Kenapa?" tanyanya sambil berjongkok di hadapan sang anak."Celai itu apa, Mama? Tata Tante Latna, Mama dan papa celai?"Jantung Shelin nyaris berhenti berdenyut mendengar pertanyaan Sheila yang mengatakan 'cerai itu apa Mama? Kata Tante Ratna Mama dan papa cerai'.Sheila terlalu cerdas hingga mampu mendengar apa yang diperbincangkannya dengan Ratna baru saja."Ah, tidak apa-apa. Itu masalah orang dewasa, nanti Sheila boleh tahu kalau sudah besar, ya?" jawab Shelin sedikit tergagap.Hatinya mengutuk tetangganya itu karena sudah membuat sang anak jadi bertanya hal yang sangat ingin ia hindari untuk dibahas di hadapan sang anak, setidaknya untuk sekarang ini."Atu mau matan!" kata Sheila sambil menatap ibunya dengan sorot mata memohon setelah mengatakan bahwa dirinya mau makan pada sang ibu."Oh, mau makan, boleh, boleh nanti Mama buatkan makanan untuk Sheila.""Bial cepat becal, tupaya tau, alti celai itu apa!"Rasa girang Shelin karena mengira anaknya melupakan kata cerai yang dipertanyakannya musnah seketika ketika mendengar ucapan sang anak, yang mengatakan, 'biar cepat besar, supaya tahu, arti cerai itu, apa!***"Pram, pekerjaan kamu itu sudah cukup baik, aku rasa kalau kita menikah secepatnya, itu juga akan lebih baik."Di rumah, Pram yang pulang sebentar setelah masuk lokasi pertambangan beberapa hari, menerima kedatangan Julie yang selalu saja bagai ulat daun yang suka menempel dengannya semenjak wanita itu dijodohkan oleh kedua orangtuanya pasca ia menjadi duda.Kedua orang tua Pram sedang tidak ada di rumah, hingga Julie yang biasanya menjaga sikap, kini terlihat seperti sengaja mengundang Pram untuk tergoda dengannya dengan cara melepas jaket yang ia kenakan dengan alasan ruang tamu rumah orang tua Pram panas.Semenjak perusahaan Pram bangkrut bukan hanya rumahnya sendiri yang disita bank, tapi juga rumah orang tuanya agar Pram tidak digelandang ke kantor polisi karena tidak bisa melunasi hutang.Jadilah sekarang orang tua Pram tinggal di rumah yang lebih kecil tanpa AC seperti sekarang, dan Julie merasa situasi rumah orang tua Pram cukup membuat ia kegerahan."Pakaian kamu terlalu seksi, tolong dipake lagi jaketnya, kalau ada tetangga yang melihat tidak baik, atau kalau orang tuaku tiba-tiba pulang, mereka akan berpikir kalau kita berbuat yang tidak-tidak saat mereka tidak di rumah."Julie tersenyum penuh arti mendengar apa yang diucapkan oleh Pram untuknya.Gadis itu berpindah duduk di sisi Pram, tanpa melakukan apa yang diinginkan Pram tadi padanya."Berbuat yang tidak-tidak, ya? Gimana kalau kita memang melakukannya? Aku enggak keberatan kok kalau kamu mau...."Sambil bicara demikian, Julie membuka tanktop merah muda yang dikenakannya hingga memperlihatkan bra yang dipakainya di hadapan Pram!"Apa yang kau lakukan? Hentikan! Kalau ada yang melihat tidak akan baik!" Dengan cepat, Pram membetulkan kembali pakaian yang dikenakan oleh Julie, membuat tubuh sintal wanita itu tersentak ke belakang karena Pram melakukannya dengan sangat cepat. Bahkan terkesan kasar.Ini membuat perempuan itu mencibir. "Kamu tuh kenapa, sih? Kamu bukan perjaka lagi, lho! Ngapain bersikap seperti pria yang seolah enggak bisa nakal dan genit sedikit? Aku ini kan calon istri kamu, enggak papa kali melakukan sesuatu yang lebih dari bergandengan tangan.""Aku tahu, tapi aku bukan pria yang seperti itu, Julie, kita memang dijodohkan, orang tua kita memang ingin kita menikah, tapi aku masih perlu waktu, aku pernah gagal menikah, tentu saja aku tidak mau melakukan hal yang salah untuk keduakalinya!""Sesuatu yang salah? Apanya yang salah? Aku gadis, kamu duda, salah darimana?""Jangan pura-pura tidak paham!""Kamu itu, ih! Heran aku, kamu kembali ke sini cuma sebentar, nanti masuk lokasi lagi, aku engga
"Pulang nanti dijemput siapa?" tanyanya, dengan senyuman di bibir mengandung arti. Shelin mundur, agar tangan Wira tidak bisa menyentuh dirinya. "Saya pulang sendiri," jawab Shelin tidak mau menentang tatapan mata pria tersebut. Sementara Sheila menarik tangan ibunya agar segera pergi meninggalkan tempat itu karena tidak suka dengan laki-laki yang bicara dengan ibunya. Namun, karena tidak ingin dianggap kurang ajar tidak mau menanggapi pembicaraan, Shelin terpaksa menahan diri untuk merasa tidak suka pada pria di hadapannya. "Sama aku saja, ya? Aku antarin," tawar Wira, sambil mengedipkan sebelah matanya pada Shelin hingga Shelin makin merasa tidak nyaman. "Enggak, makasih, saya-""Pakai aku saja, jangan pake saya, terasa kurang greget gitu, ya?" potong Wira cepat dan Shelin terpaksa mengangguk mendengar permintaan itu. "Terimakasih untuk tawarannya, tapi aku dan anakku pulang sendiri aja, karena rumah kami tidak begitu jauh."Wajah Wira terlihat terkejut mendengar kata rumah ti
Ia langsung memperhatikan potongan wortel hasil dari karyanya. Parasnya terlihat terkejut, benar-benar seperti bukan potongan wortel yang seharusnya dianjurkan. Shelin buru-buru berdiri dan minta maaf dengan penuh perasaan bersalah pada Ibu Ani. "Maafkan saya, Bu. Maaf," ucap Shelin berulang kali. Perempuan itu membungkukkan tubuhnya di hadapan pemilik catering itu agar kesalahannya bisa diampuni. Sementara Ibu Ani? Geleng-geleng kepala mendengar permintaan maaf Shelin. "Apa yang sedang kau pikirkan? Kalau kerja itu yang serius! Jangan bermain-main, jangan tidak fokus, kita masak untuk dimakan manusia, Shelin! Bukan kambing!"Wira melirik ke arah Shelin yang sedang diceramahi oleh pemilik catering tersebut. Ingin mendekat untuk membela, ia khawatir Sheila tidak bisa ia ambil hatinya karena ia belum selesai mengambil hati bocah perempuan tersebut. Sumi yang melihat raut wajahnya Wira terkekeh. "Gara-gara kamu, tuh! Mbak Shelin kena marah!" katanya pada Wira sembari masih sibuk m
Wira kelabakan ketika Shelin bertanya demikian padanya.Sialan, gimana ini? Gue keceplosan! Pake ngatain anaknya bangke pula!Hati Wira bicara, dan ia sesaat bingung merespon apa yang dikatakan Shelin tadi padanya.Sementara itu, Shelin yang sebal dengan kata 'bangke' yang dikatakan Wira pada sang anak, akhirnya memilih untuk pergi sambil menggandeng tangan Sheila.Ia tidak mempedulikan teriakan Wira yang mengatakan bahwa ia tidak bermaksud mengatakan kata itu untuk anak Sheila.Shelin terlanjur sebal, meskipun ia sebenarnya harus lebih sabar karena masih karyawan baru, namun karena Wira mengatai anaknya demikian, Shelin jadi kurang suka dengan pria tersebut sekarang."Sheila, Sheila duduk di sini dulu ya. Jangan ke mana-mana, Mama kerja dulu, ya?" bujuk Shelin sambil menunjuk kursi yang ada di depannya meminta anaknya duduk di sana saja."Tapan puyang, Ma?" Sheila justru bertanya kapan mereka pulang, dan Shelin berjongkok di hadapan sang anak mendengar pertanyaan itu diucapkan oleh
Shelin mengerutkan keningnya ketika mendengar ultimatum wanita seksi yang tidak lain adalah Julie tersebut. Atas informasi yang diberikan oleh Ratna, Julie berhasil menemukan Shelin di sekitar tempat ia bekerja.Namun, karena Shelin terlanjur pulang, Julie menemukan Shelin bukan di tempat perempuan itu bekerja, tetapi di jalan menuju pulang ke rumah kontrakan Shelin. Hanya saja Julie sempat melihat Shelin berbicara dengan Wira di sekitar area rumah Ibu Ani saat Wira minta maaf pada Sheila, itu sebabnya, Julie menilai, Shelin adalah perempuan yang gampangan."Kamu, siapa?" tanya Shelin pada Julie. Julie tersenyum miring mendengar pertanyaan Shelin.Ia mengulurkan tangannya ke arah Shelin namun ketika Shelin ingin menyambut telapak tangan itu, Julie justru menarik kembali telapak tangannya, hingga telapak tangan Shelin menggenggam angin."Namaku, Julie, kamu Shelin, kan? Mantan istri Pram? Aku calon istri baru Pram!"Mendengar pengakuan Julie, hati Shelin sebenarnya tidak terlalu terk
Julie memperlihatkan sesuatu di ponselnya, dan Pram terdiam melihat foto yang ada di ponsel milik Julie. Ada foto Shelin di sana dengan seorang pria yang tidak lain Wira, lalu Wira bicara dengan anaknya yang saat itu digandeng oleh Shelin. Pram mendorong tangan Julie yang memegang ponsel seolah tidak suka dengan pemandangan itu diperlihatkan padanya.Wajahnya terlihat tidak suka, dan Julie senang melihat perubahan di wajah Pram. Pria itu seperti marah juga juga melihat foto sang mantan istri dengan seorang pria seperti itu."Aku kenal dengan pria ini," katanya dengan nada datar.Telapak tangannya mengepal, dan semua itu tidak luput dari perhatian Julie.Ada perasaan senang sekaligus kesal melihat kenyataan di hadapannya. Senang, karena Julie melihat Pram marah dengan Shelin, kesal karena Julie bisa merasakan, Pram seperti masih peduli dengan sang mantan istri."Kenal? Apakah kamu enggak curiga, mereka itu udah akrab, jauh sebelum kamu dan mantan istri kamu cerai?""Entahlah. Tapi, a
Paras Tante Putri terlihat seperti sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Julie tadi. Hingga, perempuan itu menatap gadis berambut pirang tersebut dengan tatapan mata serius."Kamu bercanda?" katanya pada Julie, dan Julie tersenyum mendengar pertanyaan sang calon mertua."Tentu saja tidak! Apakah selama ini aku sering bercanda pada Tante?""Wah, terimakasih. Karena kalian memang akan menikah nanti, jadi untuk permintaan kamu itu Tante rasa tidak akan jadi sebuah hal yang memberatkan bagi Pram, baiklah, Tante akan bantu, Tante akan bicara pada Pram, kau tunggu di sini.""Tunggu!"Langkah kaki Tante Putri terhenti saat Julie menahan perempuan itu seketika."Ya?" katanya sambil menatap ke arah Julie dengan penuh perasaan ingin tahu.Julie beranjak mendekati ibunya Pram, dan berbisik ke salah satu telinga wanita itu dan wajah Tante Putri sedikit tegang saat menyimak hal itu dari Julie. Namun, hanya sebentar, karena beberapa saat kemudian, senyum terukir di bibir Tante Putri s
Wajah Pram berubah mendengar ancaman yang diucapkan oleh Julie. Untuk sesaat, Pram berpikir keras apa yang harus ia lakukan untuk membuat dirinya tidak bertindak gegabah.Jika perempuan ini berteriak segala bahwa ia memperkosanya, bukankah itu sesuatu yang sangat buruk baginya?"Julie, tolong jangan seperti ini, aku tidak mau hubungan kita tidak sehat. Aku dan kamu masih dalam masa penjajakan, kenapa tidak perlahan saja? Agar kita bisa semakin memahami satu sama lain?"Pram akhirnya mencoba untuk membujuk Julie agar supaya wanita itu tidak sembarangan dalam bertindak."Aku enggak sabar menunggu, kamu bisa aja tertarik lagi dengan mantan istri kamu itu, terus aku gimana?""Lalu apakah dengan cara seperti ini, kau pikir bisa membuat hubungan kita semakin erat?""Setidaknya, kalau aku hamil, kamu enggak akan dijerat oleh wanita manapun, kan?"Pram mendorong tubuh Julie ketika Julie nekat merunduk untuk mencium bibirnya setelah perempuan itu usai bicara demikian pada dirinya.Julie tersun