Share

TATAPAN BUAYA WIRA

"Apa yang kau lakukan? Hentikan! Kalau ada yang melihat tidak akan baik!"

Dengan cepat, Pram membetulkan kembali pakaian yang dikenakan oleh Julie, membuat tubuh sintal wanita itu tersentak ke belakang karena Pram melakukannya dengan sangat cepat. Bahkan terkesan kasar.

Ini membuat perempuan itu mencibir.

"Kamu tuh kenapa, sih? Kamu bukan perjaka lagi, lho! Ngapain bersikap seperti pria yang seolah enggak bisa nakal dan genit sedikit? Aku ini kan calon istri kamu, enggak papa kali melakukan sesuatu yang lebih dari bergandengan tangan."

"Aku tahu, tapi aku bukan pria yang seperti itu, Julie, kita memang dijodohkan, orang tua kita memang ingin kita menikah, tapi aku masih perlu waktu, aku pernah gagal menikah, tentu saja aku tidak mau melakukan hal yang salah untuk keduakalinya!"

"Sesuatu yang salah? Apanya yang salah? Aku gadis, kamu duda, salah darimana?"

"Jangan pura-pura tidak paham!"

"Kamu itu, ih! Heran aku, kamu kembali ke sini cuma sebentar, nanti masuk lokasi lagi, aku enggak salah dong kalau aku pengen kita melakukan sesuatu yang enak? Siapa yang melihat? Tutup aja pintunya, udah, kan?"

"Sebenarnya, kamu itu gadis seperti apa? Kenapa kamu bersikap seperti ini pada seorang pria yang bukan suami kamu? Belum menikah artinya kita belum bisa bebas melakukan apapun, kamu paham itu, kan? Kamu muslim, Julie."

Nada suara Pram meninggi ketika mengucapkan kata-kata itu di hadapan Julie.

Ini membuat Julie sadar, ia sudah kelepasan saat bersikap. Ia tahu, Pram bukan tipe pria genit meskipun pria itu sudah menjadi duda di usianya yang belum mencapai 30 tahun.

Hanya saja, entah kenapa, setiap kali berada di dekat pria itu, Julie merasa sangat membara hingga ia terobsesi melakukan hal-hal yang lebih intim dengan Pram meskipun setiap kali ia melakukan hal itu, setiap kali itu juga usahanya selalu gagal.

Pram begitu mampu membentengi diri hingga ia kesulitan untuk sekedar menggoda, tapi disitulah letak pesona sang duda muda tersebut sampai Julie terobsesi ingin memiliki pria itu segera.

"Tapi, kamu udah mikirin kapan kita akan nikah, kan?" tanyanya sambil menggeser duduknya lebih dekat setelah tadi Pram menjauhi posisinya.

"Sekarang aku perlu waktu."

"Waktu apa?" tanya Julie dengan wajah yang terlihat tidak mengerti hingga ia memperhatikan Pram dengan sangat serius.

"Waktu untuk semuanya, segalanya."

"Pram, kamu enggak suka sama aku? Aku kurang cantik dari mantan istri kamu? Aku bahkan tidak mempermasalahkan status duda satu anak dari kamu lho, kenapa kamu masih ragu juga sama aku?"

"Aku sudah menjawabnya, Julie, apa kamu masih kurang paham?" tanya Pram dengan nada suaranya yang datar.

"Justru karena kamu trauma, kamu butuh wanita pengganti yang bisa membuat trauma kamu itu hilang, Pram."

"Aku tahu, tapi aku benar-benar butuh waktu, jadi aku minta maaf untuk masalah pernikahan, aku belum bisa mengatakan hal yang pasti untuk sekarang ini."

"Enggak pasti? Tapi, kamu serius sama aku, kan?" tanya Julie sambil merangkul pundak kokoh Pram, tapi kemudian pria itu justru menghindar, dengan cara bangkit dari tempat duduknya hingga rangkulan tangan Julie justru menangkap tempat kosong.

"Aku ke dalam dulu," pamitnya, dan tanpa menghiraukan ekspresi wajah Julie yang terlihat kecewa, Pram benar-benar melangkah meninggalkan Julie yang diam-diam kesal dengan penolakannya.

"Awas kamu, Pram, kalau sampai kamu ternyata masih cinta sama mantan istri kamu itu, aku benar-benar akan membuat kamu akan membencinya sampai ke ubun-ubun."

Julie bicara sendiri sambil mencengkram permukaan sofa, hingga ia merasa ingin sekali menghancurkan sofa itu agar perasaan kesalnya jadi terobati. Akan tetapi, mana mungkin itu dapat ia lakukan? Jika Pram melihat dirinya yang seperti itu, bisa-bisa, usahanya untuk mendapatkan simpati Pram benar-benar akan musnah.

Malam harinya, saat makan malam bersama, Pram lagi-lagi disuguhi pertanyaan yang sama seperti halnya pertanyaan yang diberikan oleh Julie siang tadi dari orangtuanya.

Tentang kesiapannya untuk segera menikah dengan Julie, namun, seperti yang dikatakannya pada Julie, seperti itu juga Pram mengatakan hal yang sama pada kedua orangtuanya.

Ia butuh waktu, karena sekarang ia baru saja membuat hidupnya bangkit lagi setelah sekian lama ia terpuruk semenjak menikah dengan Shelin.

"Pram, kau tidak menghubungi mantan istrimu, kan?"

Setelah beberapa saat sudah selesai membicarakan masalah pernikahan dengan Julie yang diminta Pram untuk menunggu sampai ia bisa siap lahir dan batin, sang ibu bicara demikian sambil menyudahi makan malamnya dengan penuh perasaan bercampur aduk.

"Tidak."

"Baguslah. Shelin itu masalalu, Sheila juga lebih suka dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya, jadi biarkan saja, kau tidak perlu memikirkan mereka lagi."

"Tapi, aku tetap harus bertanggung jawab atas biaya hidup Sheila Ma, dia anakku."

"Ya, nanti! Kalau kamu sudah gajian, kamu titip sama Mama saja uangnya, tidak perlu kamu yang memberikannya sendiri, sekalian Mama yang tengok langsung keadaan dia, bisa tidak mantan istrimu itu merawat Sheila tanpa kamu!"

"Iya, terserah Mama saja."

"Mama cuma tidak mau, kamu ketularan sial lagi dari Shelin, sekarang ini kehidupan kamu sudah bagus, mulai bagus, jadi usahakan jangan bertemu Shelin lagi, ya?"

Pram hanya mengangguk, tanpa bersuara. Tidak mau banyak bicara soal mantan istrinya, karena makin dibahas, ia makin merasa sesak, jadi Pram memilih untuk diam saja membiarkan ibunya bicara sendiri tentang apa saja yang ingin dikatakannya.

***

"Kamu mau kerja di sini?" tanya pemilik rumah catering yang dikatakan oleh sang pemilik rumah kontrakan Shelin ketika melihat Shelin datang sambil membawa anak kecil.

"Iya, saya dengar, Ibu memerlukan karyawan untuk memasak di sini."

Wanita pemilik rumah catering itu menatap Shelin dan Sheila bergantian, seolah hal itu cukup mengganggunya sekarang ini.

"Kamu mencari pekerjaan, tapi kamu bawa anak kecil? Memangnya kalau bawa anak kecil itu kamu bisa membuat hati orang simpati dan langsung menerima gitu? Mbak! Ini kerja menyangkut soal makanan, aku tidak bisa membiarkan seseorang yang menghiba dengan membawa anak dan itu memang sangat memalukan, memalukan karena menjual perasaan kasihan seseorang!"

"Maaf, tapi saya bukannya sengaja membawa anak saya, dia tidak ada yang menjaga, Bu, jadi saya harus membawanya karena cuma saya yang ia miliki sekarang ini setelah saya dan suami bercerai."

Sang pemilik usaha catering itu menghela napas untuk sesaat ketika mendengar penjelasan Shelin.

"Masih muda sudah janda, kau ini, jadi sekarang kamu butuh pekerjaan untuk menghidupi anakmu?" tanya pemilik usaha catering itu dan Shelin mengiyakan.

"Kamu bisa masak? "

Kembali wanita itu bertanya.

"Lumayan, Bu."

"Bisa bergerak cepat tidak? Apalagi ada anak kecil seperti itu? Apa tidak bisa ditinggal saja?"

Si pemilik catering masih meragukan kemampuan Shelin sambil memandang ke arah Sheila yang masih dipegang erat telapak tangannya oleh sang ibu.

"Insya Allah, saya akan melakukan yang terbaik, dalam pekerjaan saya Bu, tolong berikan saya kesempatan."

"Lalu anak ini?"

"Karena tidak ada yang bisa saya harapkan untuk menjaga, tolong izinkan saya untuk membawanya, saya berjanji dia tidak akan membuat masalah."

"Jika ternyata dia membuat masalah, bagaimana?"

"Saya akan terima segala konsekuensinya, Bu."

"Baik, saya terima kamu di sini meskipun kamu bawa anak, tapi kalau kamu tidak becus, dan anak kamu membuat masalah, maka kamu akan aku pecat dan ada ganti-rugi kalau kamu merugikan cateringku ini."

Meskipun sikap pemilik catering begitu dingin dan datar karena melihat ada anak kecil yang dibawa Shelin segala, Shelin tetap gembira karena ia diberikan kesempatan untuk bekerja di tempat tersebut.

Sheila anak yang patuh, Shelin yakin, anaknya itu tidak akan menciptakan masalah selama ia bekerja.

Ibu Ani, pemilik catering itu mengajak Shelin untuk masuk ke dalam dapur besarnya yang terpisah dengan rumahnya yang juga besar.

Dapur besar itu khusus untuk memasak makanan yang akan dikirim ke perusahaan tambang batubara.

Letaknya di samping rumah besar Ibu Ani. Ibu Ani menerangkan beberapa hal pada Shelin hingga memperkenalkan beberapa karyawannya yang lain yang tidak semua wanita.

Ada dua orang pria yang bertugas untuk mengepak dan mengangkat makanan ke mobil, jika sedang melakukan pengiriman.

Yang satu lagi khusus membuang sampah dan membantu bersih-bersih dapur jika sudah selesai memasak.

Awalnya, Shelin mengira semua karyawan Ibu Ani sopan dan minimal tidak kurang ajar.

Akan tetapi, ketika salah satu pria yang bertugas mengepak makanan ke mobil yang saat berkenalan dengan Shelin menyebut namanya dengan sebutan Wira, membuntuti dirinya saat ia ke toilet lantaran Sheila ingin buang air kecil, perasaan Shelin mulai tidak nyaman.

Namun, karena ia baru saja mendapatkan pekerjaan, Shelin menepis perasaan tersebut, dan memilih untuk mengabaikan tatapan laksana menerkam Wira ke arahnya.

Ketika sang anak sudah selesai, ia segera mengajak anaknya keluar toilet dan melewati Wira yang berdiri di tengah jalan perlintasan antara toilet dan jalan keluar. Pria itu berdiri seolah sengaja menghalangi Shelin dengan senyum yang mengandung penuh arti terukir di bibirnya yang hitam karena ia perokok berat, saat Shelin ingin melewatinya, dengan kurang ajarnya, Wira mencekal pergelangan tangan Shelin!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status