Hari ini, Rachel sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Bersama Mbok Markonah dan Pak Danang, Rachel dituntun oleh keduanya sampai ke tempat di mana taksi yang mereka pesan terparkir. Mata Rachel menyipit saat tak menemukan Alex di sana, padahal sejak kemarin Rachel berharap Alex menunggunya dan membawanya pulang ke rumah tanpa harus memesan taksi.Ucapan Alex kemarin benar-benar membuat Rachel tak bisa berhenti berpikir, ujungnya selalu dia yang sakit sendiri. Mungkin Sheila adalah alasan dibalik ketidakhadirannya Alex di sampingnya sekarang. Mungkin, mulai saat ini dirinya harus lebih tahu diri. Dirinya tidak pernah diinginkan oleh Alex. Dia hanya menginginkan anak. Tidak lebih dari itu.Setelah masuk ke dalam taksi online, Rachel mencepol rambutnya agar tidak mengganggunya. Di siang hari cuaca sedang panas-panasnya, termasuk di dalam taksi yang sedang Rachel tumpangi bersama Mbok Markonah dan Pak Danang sekarang. Sumpek dan super panas."Pak, AC-nya bisa tolong dinyala
Alex melangkah dengan kesal naik ke ruang kerja Lidya siang itu. Sudah lama ia tinggal di luar negeri sejak ibunya meninggal dan sejak itu ia memang tidak pernah menginjakkan kaki ke perusahaan ini. Selama ini Alex memiliki perusahaan sendiri. Tetapi, semalam sang ayah memintanya datang dan mulai memegang kendali perusahaan. Itu semua karena kehamilan Rachel.Mahendra memang sudah menjanjikan jika Alex mendapatkan keturunan dia akan memegang kendali atas semua asset miliknya.Sebenarnya Alex tidak peduli. Tanpa warisan sang ayah dia sendiri juga memiliki perusahaan yang cukup maju. Tetapi, dia tidak mau apa yang sudah dibangun susah payah oleh almarhum ibunya dinikmati oleh ibu dan adik tirinya.Tidak heran kalau tidak ada yang mengenalnya di perusahaan sang ayah. Namun rasanya tetap menyebalkan saat para karyawan itu lebih mengenal Lidya daripada dirinya yang merupakan anak kandung dari Mahendra."Ini ruang kerjanya, silahkan, Pak! Maafkan aku sekali lagi yang tidak mengenalimu!" ka
Alex keluar dari kamar mandi dengan handuk terbalut menutupi tubuh bagian bawahnya. Rambutnya yang masih basah membuat pria itu terlihat jauh lebih hot dan seksi dengan otot besar serta roti sobek yang selalu dia jaga.Sheila yang baru saja selesai memakai lingerie-nya sontak membalikkan badan. Menelusuri setiap bagian yang ada pada tubuh suaminya. Memang tidak salah Sheila melampiaskan gairahnya pada Alex, pria itu sungguh membuatnya kecanduan."Sayang, malam ini jadwalku tidur sama Rachel. Kamu nggak masalah 'kan tidur sendiri di sini?" tanya Alex.Sheila berdehem kecil lantas mendekati Alex yang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Kemudian memeluknya dari belakang, tangannya spontan memainkan roti sobek milik Alex yang sedari tadi menggoda imannya."Kamu mau tidur sama Rachel?" Bukannya menjawab, Sheila malah balik bertanya membuat Alex sontak menghentikan kegiatannya.Alex melempar handuk kecilnya dan tepat melesat di punggung sofa, lalu berbalik badan agar bisa berh
Alex membuka matanya perlahan, cahaya matahari mulai mengusik tidur nyenyaknya. Sontak dia terbangun karena Sheila membuka jendela kamar mereka membuat udara segar dan sinar mentari menyapa kulitnya yang tak terlapis apa pun.Tanpa ada niat untuk beranjak dari tempat tidur, Alex memilih melamun sebentar karena hari masih terbilang cukup pagi untuk bersiap pergi ke kantor. Melihat Sheila yang sudah mandi dan bersih-bersih membuat Alex menyernyit heran. Biasanya, Sheila bangun setelah Alex selesai mandi. Namun, sekarang istrinya itu justru bangun lebih pagi daripada Alex. Bahkan penampilannya sudah rapi dan cantik.Sheila tersenyum tipis kala menyadari Alex yang sudah terjaga dari tidurnya. Dia mendekati sang suami yang masih sibuk melamun sembari memperhatikan dirinya. Sheila tahu Alex pasti penasaran karena tumben sekali dia mau bangun pagi, padahal keduanya baru bisa tertidur pukul 1 tengah malam."Baby, malah melamun. Nggak mau mandi? Sebentar lagi 'kan kamu harus ke kantor," tegur
Alex menghampiri Rachel yang sedang menata makanan di meja makan. Dengan cepat ia mencekal tangan wanita yang menjadi istri keduanya itu dan menatap dengan berang.“Siapa ini? Bisa kamu jelaskan dia siapa?” tanya Alex.Rachel memicingkan mata dan menatap layar ponsel milik Alex. Kemudian, wanita itu pun dengan berani menepiskan tangan sang suami.“Apa kamu lupa? Dia itu adalah Elang. Bukankah dia pernah ke rumah ini?” Rachel menjawab dengan tenang.Alex terdiam, dia baru menyadari jika lelaki di dalam foto itu adalah Elang. Kenapa dia bisa lupa?“Bukankah kamu kemarin mengizinkan aku keluar rumah untuk membeli barang yang aku inginkan dan berkunjung ke makam ayahku?” kata Rachel lagi.Alex hanya bisa diam, dalam hati ia merasa sangat malu karena sudah marah-marah sekaligus juga merasa kesal dengan pengirim pesan itu. Sial! Tetapi, bukan Alex namanya kalau mau mengalah begitu saja."Tapi, kamu pegangan tangan sama dia. Kamu asyik ngobrol sama dia, senyum-senyum nggak jelas bagaimana a
Alex menutup pintu ruangan khususnya cukup keras, napasnya masih memburu membuat Rafly yang hendak masuk mengurungkan niatnya. Rafly tahu betul tabiat Alex.Pria itu paling tidak suka diganggu ketika sedang marah atau suasana hatinya sedang tidak baik. Jika diganggu, dia bisa melampiaskan amarahnya kepada Rafly yang tidak tahu apa-apa.Tak lama kemudian, Sheila datang dengan sebuah paper bag di tangannya. Rafly yang masih berdiri di depan ruang khusus Alex pun mengerutkan dahinya. Selama bekerja untuk Alex, Rafly jarang sekali melihat Sheila datang menemui sang suami. "Nyonya, ada apa? Tumben sekali Nyonya datang ke sini?" tanya Rafly."Saya mau bertemu suami saya. Dia ada di dalam?"“Ada, Nyonya. Tapi-““Minggir!” kata Sheila. Wanita itu memang paling tidak suka jika ada yang menghalangi langkahnya.Rafly sendiri tidak bisa melarang istri pertama bosnya itu. Akhirnya dia membiarkan Sheila masuk ke dalam ruangan Alex.Sheila menghela napasnya panjang saat melihat Alex yang tengah me
Rachel memainkan ujung kakinya, menggigit kuku sembari menduga-duga siapa dalang dari pertengkarannya dengan Alex. Rachel tidak terima dirinya diadu domba oleh mereka yang tak bisa Rachel lihat keberadaannya. Dia juga kewalahan sendiri menghadapi Alex yang diselimuti kemarahan terhadapnya.Tidak biasanya Alex marah sampai sebesar itu pada Rachel, apalagi di saat kondisi Rachel yang tengah hamil muda. Ingin rasanya Rachel balik marah pada Alex, tapi di sisi lain dia juga harus memikirkan nasib calon anaknya. Dia tidak mau hal buruk yang terjadi padanya membuat kondisi kesehatannya kembali memburuk.Rachel terdiam sejenak kala matanya tak sengaja menangkap kalender berukuran mini yang terletak di atas nakas. Melihat benda berbentuk kotak itu membuat perasaan Rachel mendadak gelisah, entah karena apa. Seakan-akan ada yang Rachel lupakan, tapi dia tidak ingat betul apa yang sudah dia lewatkan."Jadwal?" gumam Rachel tiba-tiba. Dirinya kembali terdiam membuat suasana kamarnya semakin sepi.
Alex terdiam sejenak membuat suasananya kembali hening. Dia sebenarnya masih marah pada Rachel, tapi dia juga tidak tenang kalau Rachel pergi tanpa pamit padanya. Terlebih lagi, Rachel ke luar dalam keadaan hamil. Alex takut hal buruk terjadi pada istri dan calon anaknya. “Maafkan aku, Papi. Aku terlalu fokus dengan pekerjaanku jadi-“ “Fokus pekerjaan atau cemburu? Aku sudah tahu apa yang terjadi pagi tadi,” kata Mahendra sambil melirik ke arah Sheila. Sejak awal, Mahendra memang tidak terlalu menyukai Sheila. Terlebih saat Sheila dinyatakan sakit dan tidak bisa mengandung. Tetapi, sang istri selalu mendukung menantu pertama mereka itu. “Papi, bukankah Rachel juga salah karena bertemu dengan lelaki lain di belakang Alex? Seharusnya dia-“ “Tidak usah kamu pojokkan Rachel. Aku tau betul siapa keluarganya. Itu sebabnya aku mengizinkan Alex menikahi dia. Lagipula saat ini dia sedang mengandung cucuku.” Mahendra hanya menggelengkan kepala kemudian ia pun melangkah pergi tanpa mengin