BUKAN SALAH IBU 18Helena menatapku sebentar, lalu memandang ke depan tanpa menjawab sapaanku. Aku tersenyum, membuka tas dan mulai menyiapkan buku. Jam pelajaran akan segera dimulai. Diam-diam, aku merenung, betapa mudahnya keadaan berbalik. Tak ada sedikitpun kesulitan bagi Allah jika dia sudah berkehendak. Helena yang kemarin adalah tuan putri di kelas ini, sekarang dikucilkan. Aku dapat melihat jarak kursi Allen dan Rekha yang menjauh dari tempat duduk kami, begitu juga kursi dan meja yang ada di belakang. Jam istirahat, aku menghabiskan waktu di dalam kelas, karena merasa terlalu lelah untuk berjalan ke kantin. Aku tak ingin jadi pusat perhatian. Ibu telah membawakanku bekal. Roti isi sosis buatannya sendiri, juga semangkuk salad buah kesukaanku."Bella, aku minta maaf."Aku mendongak, mendapati tiga dayang Helena berdiri di dekat mejaku. Tubuh mereka yang jangkung dan menjulang membuatku harus mendongakkan kepala."Aku minta maaf karena pernah memukulmu. Meski itu atas perintah
BUKAN SALAH IBU 19Hari terus berlalu, hingga akhirnya ujian kelulusan tiba. Hubunganku dengan Helena tidak mengalami kemajuan, tapi juga tak seburuk dulu. Dia masih tak menyahut setiap kali aku menyapa, tapi tak lagi membuatku celaka.Sementara itu, Ayah tak pernah lagi datang atas permintaan Ibu, tapi kirimannya nyaris setiap minggu tiba di rumah. Permen, coklat, hadiah-hadiah kecil untukku dan juga Ibu. Di dalam surat yang diselipkannya di dalam paket-paket itu, Ayah memohon agar kami tak menolaknya, untuk menebus semua yang dulu tak bisa dia lakukan pada kami berdua. Perlahan tapi pasti, aku mulai merindukannya. Hati kecilku mulai bisa menerima alasan yang dia berikan. Tapi, masalahnya, Ayah bukan hanya milikku dan Ibu.Sampai hari itu, di hari ujian terakhirku, aku pulang dari sekolah dan mendapati mobil yang belum pernah kulihat terparkir di pinggir jalan depan rumah. Aku sudah bisa berjalan lancar tanpa kruk, meski masih harus berhati-hati dan tak boleh berlari. Di ruang tamu,
BUKAN SALAH IBU 20"Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Ayahmu?"Aku menganggukkan kepala, mengusap air mata yang masih bandel tak mau berhenti menetes. "Kenapa?""Karena Ayah hanya manusia biasa, Ibu. Manusia biasa yang bisa saja membuat kesalahan.""Apa lagi?""Karena permintaan maafnya sungguh-sungguh, dan Ayah juga tak pernah lelah mencoba menebus kesalahannya pada kita."Ibu tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut. Mobil melaju meninggalkan rumah itu, dengan Ayah berdiri di pinggir jalan, mengawasi kami hingga sosoknya tak terlihat lagi di kaca spion. Kini, kurasakan setengah hatiku tertinggal dalam genggaman Ayah."Jadi, apa yang Bella inginkan sekarang?"Aku diam sejenak. Yang kuinginkan hanya satu, Ibu. Berkumpul bersama Ayah dan Ibu, merasakan sebuah keluarga utuh tanpa ada seorangpun memandang iri padaku. Tapi, mungkinkah?"Kalau Ibu mengizinkan, kabulkanlah permintaan Ayah tadi, untuk datang menemuiku seminggu sekali. Aku memang bukan anak kecil lagi, Bu, tapi, baru se
BUKAN SALAH IBU 21Jantungku berdebar keras. Seumur hidup, belum pernah aku melihat Papa semurka itu. Aku sudah dewasa, sudah dapat mera-ba apa yang telah terjadi. Oh, kenapa Mama jadi sebodoh ini? Bukankah dengan kehadiran Bella dan Ibunya, seharusnya Mama lebih berhati-hati? Seharusnya Mama menjaga apa yang sudah menjadi miliknya sekuat tenaga."Ayo kita masuk, Ma."Aku tak punya alasan untuk menolak perintah Papa. Tapi, Mama bergeming, berontak dari pelukanku dan berjalan terhuyung-huyung mendekati Papa. Papa yang tak menyadari kehadiran Mama, tetap fokus pada lelaki itu, yang dengan bodohnya, bukannya langsung lari dan pergi, malah menatap Mama."Meira … "Bugh!Aku terpekik, Mama histeris dan langsung menjerit-jerit, mengundang para ART kami datang mengintip. Melihat si lelaki asing itu terpental oleh pukulan Papa, rupanya mengembalikan setengah kesadaran Mama."Mas! Mas! Berhenti!"Mama menarik tangan Papa, gagal. Lalu dengan nekad merangkul pinggang Papa dari belakang. Kepalany
BUKAN SALAH IBU 22Aku pulang dengan hati hancur, membayangkan keluarga yang selama ini amat kubanggakan, telah berada di gerbang kehancuran. Ternyata, duri itu bukan Bella maupun Ibunya. Duri itu adalah Mama sendiri. "Dari mana kamu?"Mama menghadang saat aku masuk ke dalam rumah. Sore sudah tiba dan Mama telah berdandan rapi, seperti hendak pergi. Aku memandangnya sinis. Kupikir, Mama akan kapok dan berhenti berulah. Bukannya bersiap menunggu Papa pulang dan menunjukkan penyesalan, Mama justru berencana menyulut api."Kenapa baru sekarang aku menyadari kalau Mama nggak sebaik yang aku kira?""Bicara apa kamu, Helena? Kamu pasti habis menemui Bella dan Ibunya? Kamu mau mengkhianati Mama?"Aku menatap Mama heran."Jadi, Mama sudah tahu kalau aku tahu?""Helena … ""Ya. Aku sudah tahu sejak lama, bahwa Bella adalah anak kandung Papa. Mama merebut Papa dari Bella dan Ibunya. Aku tahu semuanya."Kalimatku serupa pukulan telak bagi Mama. Dia meletakkan tas mahalnya di atas lantai, bersan
BUKAN SALAH IBU 23Pov BELLAAku melompat turun dari motor setelah memarkirnya asal saja. Kuposisikan diriku di depan tubuh Ibu, menjadi tameng baginya. Kutarik tangan Helena yang sudah terulur, hendak menampar Ibu. Dulu, dia pernah mendorong Ibu sampai jatuh di depan klub malam dan aku belum sempat membalasnya. Aku bahkan belum sempat membalas tamparannya di bibirku yang berdarah, juga tendangannya di perut yang membuatku pingsan waktu itu."Lepaskan aku, Bella. Dasar preman!" seru Helena sambil berusaha melepaskan peganganku.Si nenek sihir menjerit-jerit memanggil sopirnya. Lelaki tua itu turun, menatap kami semua dengan bingung. Sementara dari balik pagar, Wak Rusni, yang kini telah menua terbelalak. Dia ikut heboh memanggil suami dan anaknya."Pukul anak itu, Bram, cepat!" teriak si nenek."Berhenti, Pak. Atau Bapak akan ikut saya laporkan polisi karena menyerang rumah orang!" ancamku.Lelaki itu tertegun kebingungan. Kasihan sekali, menjadi hamba sahaya dari seorang berhati jaha
BUKAN SALAH IBU 24Aku keluar dari kampus sore ini saat hari mulai gelap. Ada rapat BEM yang membuatku harus pulang terlambat. Pesan Ibu di telepon, agar aku berhati-hati karena sejak pagi, mendung menggantung di kaki langit. Benar saja, ketika motor melewati gerbang kampus, gerimis turun disertai angin yang cukup kencang. Sungguh sial, aku lupa membawa jas hujan.Aku tak peduli, terus melajukan motor menembus gerimis yang seperti jarum halus karena hanya setengah jam lagi, magrib akan tiba. Ibu pasti cemas menungguku di rumah.Berbelok melewati jalan Sultan Hasanuddin, aku mengambil jalan pintas supaya lebih dekat. Jalan itu sudah diaspal, tak lagi hanya berupa batu-batu seperti dulu, tapi jalannya sempit hingga jarang dilewati kendaraan roda empat. Apalagi di saat menjelang malam seperti ini. Tapi saat ini, aku mengerutkan kening karena dari kejauhan, dua lampu belakang sebuah mobil tampak berkedip-kedip.Apa itu? Aku menambah laju motor, dan terkejut saat melihat sebuah mobil terpe
BUKAN SALAH IBU 25"Ayah! Tunggu disitu!"Aku berseru saat melihat pintu mobil Ayah terbuka dan beliau hendak langsung keluar, padahal, hujan tak juga mau berhenti. Aku mengembangkan payung besar milik Ibu dan berjalan menyusuri carport. Ayah turun begitu aku tiba dan langsung mengambil alih payung dari tanganku. Berjalan disisi tubuhnya yang tinggi menjulang, aku jadi seperti anak kecil."Helena sakit, demam dan sedang menangis di kamar. Aku ketemu dia di jalan tadi, mobilnya terperosok ke parit."Ayah tampak terkejut. Beliau meletakkan payung di teras dan mengikuti langkahku. Di depan kamar Helena, kami bertemu dengan Ibu yang memegang nampan berisi sup dan teh panas. Ibu tampak ragu untuk masuk karena masih mendengar dia menangis."Mas saja. Bujuk dia supaya makan. Badannya panas sekali, tapi kaki dan tangannya dingin."Ayah mengangguk, mengambil alih nampan dari tangan Ibu dan mengetuk pintu kamar. Kubantu Ayah membuka pintu itu. Ayah masuk dan aku menutupnya lagi dari luar. "Sud