BUKAN SALAH IBU 4
"Kenapa aku tidak punya Ayah?""Siapa bilang? Bella punya kok. Tapi, Ayah sedang pergi.""Kapan pulangnya?""Suatu saat nanti."Pertanyaan itu sudah berpuluh kali kuucapkan hingga delapan belas tahun usiaku ini. Tapi, sekalipun, aku tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Janji Ibu membuatku punya sebuah kegemaran, duduk di teras depan rumah seraya menatap ke ujung jalan, berharap sesosok tubuh lelaki tegap dan tampan datang dan memeluk serta menggendongku, lalu berkata : Ini ayah, Ayahmu sudah pulang."Bella, nggak capek kau duduk di situ? Bapakmu nggak akan pulang!" seru Wak Rusni, tetangga sebelah kanan rumah. Aku bergeming."Mau sampai kapanpun kau tunggu, dia nggak akan pulang, Bella." Nek Romlah tetangga sebelah kiri ikut bicara. Aku tetap tak peduli. Yang kupegang adalah kata-kata Ibu, bahwa suatu saat, dia akan kembali.Hingga usiaku sembilan tahun, akhirnya aku mengerti bahwa Ibu hanya membohongiku. Aku berlari masuk ke dalam rumah setelah maghrib nyaris datang tapi sosok itu tak kunjung tiba. Sebelum Wak Rusni dan Nek Romlah datang dan mengulangi kalimat sama yang menyakitkan itu, aku menghambur ke hadapan Ibu."Ibu bohong! Katanya suatu saat nanti Ayah akan pulang!"Suaraku adalah campuran rasa kecewa, putus asa, sedih dan marah. Tapi semua itu kemudian lenyap saat Ibu berbalik dan membalas tatapanku. Ada air mata, telah membentuk anak sungai di pipinya yang tirus. Ibu mungkin lelah karena setiap hari harus bekerja mencuci dan menggosok di rumah orang. Tapi, rasa lelah itu tak seberapa dibanding lelahnya menunggu seseorang yang tak kunjung pulang."Isabella, maukah kau mendengarkan Ibu sekali ini saja?"Ibu menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang gemetar. Air mataku ikut luruh. Aku menangis, karena sedih melihat air matanya.Aku menganggukkan kepala."Tapi, Ibu jangan bohong lagi."Ibu tersenyum sambil menyusut air mata, "Ibu tidak pernah berbohong, Bella.""Bella, ayahmu pergi saat kau masih sangat kecil, keciil sekali. Dia berkata bahwa, suatu saat nanti, dia akan kembali. Ibu memegang janjinya. Jadi, itulah yang Ibu katakan padamu.""Tapi, kenapa dia belum pulang juga?""Mungkin, ada beberapa hal yang membuatnya belum bisa pulang. Maukah kau bersabar lagi?"Ibu memintaku bersabar tanpa memberiku tenggat waktu. Itu artinya, aku harus punya kesabaran tanpa batas seperti dirinya."Boleh aku lihat foto Ayah?"Ibu menggelengkan kepala."Maafkan Ibu, Bella. Ibu bahkan tak menyimpan selembarpun fotonya. Dia tersimpan di sini, dan di sini." Ibu menunjuk kepala dan dadanya.Kala itu, ponsel berkamera masih menjadi benda mahal yang hanya dimiliki kaum berpunya.Kata-kata Ibu membuatku menyadari, demikian besar cinta Ibu pada Ayah. Di pertambahan usia, aku kerap bertanya-tanya, masihkah lelaki yang menelantarkan anak dan istrinya itu pantas dicintai. Ibu bekerja demikian keras hanya agar kami bisa makan dan hidup layak. Semakin dewasa, aku tak lagi bertanya apapun tentang Ayah karena toh pertanyaan itu tak pernah mendapat jawaban kecuali air mata.Dan kini, dadaku berdebar halus, sebuah gelenyar perasaan yang asing dan terasa aneh. Wajah lelaki yang pastilah Papanya Helena itu, terpatri jelas dalam ingatan. Aku seakan bisa melukisnya, meski tadi hanya melihatnya dalam waktu sedetik saja.Perasaan apakah ini namanya? Dan kenapa aku merasakan hal seperti ini?***"Aku ketemu Papanya Helena."Ibu yang tengah melipat pakaian di ruang tengah rumah mungil kami mendongakkan kepala."Lalu?""Kenapa aku seperti mengenalnya ya, Bu? Apa selain dengan Ibu, aku pernah bertemu dia? Mungkin saat dulu aku masih kecil. Kan kata Ibu, dia teman sekolah Ibu."Ibu diam sejenak, termenung. Aku diam-diam memperhatikannya. Sebenarnya, apakah hubungan Ibu dengan Papanya Helena hingga menyebutnya saja bisa membuat Ibu terdiam lama seperti itu."Aku akan menemuinya, dan bertanya apa yang dia lakukan pada Ibu."Ibu terbelalak."Jangan!""Apa Ibu mau Helena memukuliku terus di sekolah? Aku tidak akan kalah seandainya saja dia tidak punya tiga kac-ung yang badannya seperti raksasa!"Ibu tertegun, menatapku lama sekali. Entah, apakah beliau merasa tak percaya aku bisa mengucapkan hal sekasar itu, atau justru fakta bahwa aku mengalami kekerasan fisik di sekolah baru disadari Ibu. Waktu masuk rumah sakit minggu lalu, aku sudah menceritakannya pada Ibu. Tapi, Ibu malah memintaku pindah sekolah. Hal yang tak mungkin kulakukan karena kelulusan sebentar lagi."Bella, kalau pindah sekolah sudah tak mungkin bagimu, cobalah kau hindari saja dia. Jangan sendirian. Dia… ""Ibu pikir, ada orang yang mau berteman denganku? Semua temanku telah termakan omongan Helena bahwa Ibu menjual diri di klub malam.""Ibu hanya tukang bersih-bersih disana, Nak.""Kenapa harus tempat seperti itu? Tidak bisakah Ibu mencari tempat lain saja?"Ibu tertunduk. Tangannya meremas kain dalam genggaman. Aku bangkit dari kursi dan menenteng ransel sekolahku ke dalam kamar. Baiklah, aku sudah dewasa. Aku bukan lagi Bella si anak kecil yang hanya bisa menunggu Ayahnya pulang lalu menangis saat dia tak juga datang. Aku sendiri yang akan mencarinya. Dan entah bagaimana, aku merasa Papanya Helena tahu sesuatu. Bukankah dulu dia teman Ibu?"Bella, makanlah dulu. Ibu masak sayur lodeh kesukaanmu."Aku berbalik, tanganku yang sudah memegang handle pintu berhenti bergerak. Ibu memandangku dengan sorot mata memohon. Aku menghela napas dan akhirnya menganggukkan kepala.***Jam delapan malam, Ibu bersiap berangkat kerja. Seperti biasa, Ibu memakai celana panjang berwarna hitam dan kemeja putih. Lalu, beliau melapisi bajunya itu dengan jaket rajut yang kebesaran, hingga tubuhnya yang mungil tenggelam dalam jaket berwarna coklat kopi itu. Usia Ibu baru tiga puluh enam tahun. Wajahnya cantik dengan kulit halus dan seputih pualam yang dia turunkan padaku. Samar, ada jejak darah asing terlihat dari rambutnya yang kecoklatan, dan itu juga menurun padaku. Kata Ibu, rambut Ibu dan rambutku memang sudah seperti itu sejak lahir.Ibu memesan ojek langganannya, seorang wanita juga. Kata Ibu, beliau lebih nyaman dan merasa aman naik ojek Kak Della. Tentu saja, tubuh dan penampilan Ibu yang masih seperti gadis, membuat lelaki akan merasa sayang melewatkan pemandangan akan dirinya. Apakah karena itu juga Papanya Helena tertarik pada Ibu dan mengunjunginya ke klub malam?Beberapa detik setelah Ibu pergi, aku berlari dan mengeluarkan motor tuaku. Dengan dada berdegup kencang, aku melajukan motor menuju klub malam tempat Ibu bekerja melalui jalan lain. Sebuah jalan pintas yang akan membuat aku lebih dulu sampai. Celana hitam, jaket hodie hitam dan helm ini, kuharap cukup untuk membuat Ibu tak mengenaliku jika kami terpaksa bertemu.Aku tiba lebih dulu. Sepuluh menit kemudian, motor Ibu datang. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri, Ibu masuk melalui pintu kecil di samping bangunan dengan lampu gemerlap itu. Dadaku berdebar kencang. Jika memang ada apa-apa antara Ibu dan Papanya Helena, aku bertekad memergokinya saat ini juga.Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.***BUKAN SALAH IBU 5Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.Lalu, pintu sebelah sopir terbuka dan sepasang sepatu kets putih melompat turun. Aku terkejut, ternyata yang memakai mobil itu bukan Papanya Helena, melainkan Helena sendiri. Dia lalu menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar.Jantungku berdegup kencang. Mau apa mereka kesini? Aku ingat Ibu, dan tubuhnya yang mungil itu, bagaimana jika Helena kesini mencari Ibu dan memarahinya? Atau yang lebih parah lagi, memukuli Ibu seperti yang dia lakukan padaku?Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, tapi dua orang bertubuh besar itu langsung menghadang."KTP."Aku belum punya KTP. Meski usiaku sudah delapan belas tahun, aku kemana-mana masih menggunakan kartu pelajat. Kupikir nanti saja setelah lulus. Tapi rupanya, aku salah
BUKAN SALAH IBU 6Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain."Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan."Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum."Baiklah, aku menunggu."…"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"Sebuah suara menginterupsi. Helena
BUKAN SALAH IBU 7"Bella, ada apa?"Aku menoleh, sejenak tadi terlupa bahwa Pak Emir mengantarku pulang. Demi melihat ada orang lain datang, Ibu duduk tegak, menghapus sisa air mata yang sejenak tadi kutangkap jelas di wajahnya. Detik berikutnya, beliau telah tersenyum sambil berdiri, menyapa Pak Emir dengan ramah seolah-olah tadi tak terjadi apa-apa."Ya Allah, Bella. Ada teman kamu, kok nggak suruh ikut masuk?"Teman?Aku melirik Pak Emir. Seragam gurunya tertutup oleh jaket berhodie. Dan tanpa seragam itu, dia memang terlihat masih sangat muda. Usia kami hanya terpaut enam tahun. Aku mengetahuinya saat tak sengaja membuka database para guru dan staff di situs sekolah."Ibu, ini Pak Emir, guru aku di sekolah," ujarku pelan. Ibu semakin terkejut."Loh? Ya Allah, maaf … maaf … "Ibu dengan cepat menguasai diri. Pak Emir tersenyum dan tanpa kuduga mengulurkan tangannya, menyalami Ibu. Dia mencium tangan Ibu tanpa canggung."Waduh, saya jadi nggak enak ini." Pak Emir tersenyum dan meng
BUKAN SALAH IBU 8PoV IBUFLASHBACK, SEMBILAN BELAS TAHUN YANG LALUAku menatap alat tes kehamilan bergaris dua itu dengan perasaan campur aduk. Entah, apakah harus sedih atau bahagia. Satu bulan menikah, Tuhan langsung memberiku hadiah. Sesosok janin kini bersemayam di rahimku. Tapi, seminggu sudah berlalu, kenapa dia tak juga kembali?Wisnu Wardhana, seorang lelaki dari keluarga terpandang. Selain kaya raya karena orang tuanya punya beberapa pabrik kain yang tersebar di banyak kota di Indonesia, dia juga lelaki tampan yang penuh pesona. Dia kakak kelasku di SMA. Sebuah keajaiban bagaimana lelaki itu bisa jatuh hati padaku, seorang gadis yatim piatu yang susah payah menyelesaikan sekolah sambil bekerja. Seperti dongeng cinderella, lelaki itu lalu datang dan menawarkan cinta. Aku masih sangat muda kala itu. Tujuh belas tahun. Tak terpikir olehku bahwa seharusnya aku mundur ketika tahu orang tuanya tak memberi restu. Ya, bagaimana mungkin sang pangeran memungut gadis miskin dan sebat
BUKAN SALAH IBU 9"Saat itu, Mas datang ke perusahaan Om Andri untuk mencari pekerjaan. Dia sahabat baik Papa yang paling dekat dsngan keluarga kami. Kupikir, dia mau membantuku karena selama ini dia sangat baik padaku."Mas Wisnu memulai penjelasannya. Bella akhirnya melunak, mungkin dia merasakan hal yang sama denganku, membutuhkan penjelasan setelah bertahun-tahun kami menantinya. Mas Wisnu duduk dengan canggung di kursi paling depan, dekat dengan pintu. Aku duduk di depannya, sementara Bella bertahan berdiri di sisi kursi kayu yang kududuki. Sejenak tadi, dapat kulihat mata Mas Wisnu yang tampak sedih melihat keadaan rumah yang lapuk disana sini dan lebih layak disebut gubuk. Uang yang kudapatkan tidak banyak, dan bagiku, pendidikan Bella adalah yang utama. Aku tak akan membiarkan hidupnya terhina dan tersisih seperti aku."Mas disuruh menunggu di ruangan pribadi Om Andri. Lama sekali sampai-sampai Mas sempat makan makanan yang diantar oleh OB. Mas pikir, itu karena Om Andri mengh
BUKAN SALAH IBU 10PoV BELLAHari sabtu, sekolah masuk setengah hari. Aku membuka celenganku, uang yang kudapat dari mengajar anak-anak SMP. Sepertinya aku perlu membeli ban motor baru karena kemarin kempes total, dan mungkin tak bisa lagi ditambal. Tak apa-apa, lagipula, bannya memang sudah gundul dan perlu diganti."Ibu lupa nanya, motor kamu kenapa?" tanya Ibu saat aku sedang memakai sepatu."Kempes, Bu. Nanti mungkin aku pulang agak terlambat, mau ganti ban dulu."Ibu masuk lagi dan tak lama keluar. Diserahkannya tiga lembar uang seratusan padaku."Ini uangnya, Nak. Bawalah motormu ke bengkel."Aku tersenyum, mengeluarkan uangku sendiri dari dalam tas."Aku punya kok, Bu. Kan aku ngajarin anak-anak yang mau ujian kemarin. Lumayan, dapat tujuh ratus ribu, hihihi … "Ibu tersenyum melihatku tertawa. Entahlah, sejak kedatangan orang yang mengaku sebagai Ayahku dan mendengarkan semua penjelasannya, hatiku lega. Ada banyak fakta yang baru kuketahui. Satu hal yang jelas, ibuku bukan pe
BUKAN SALAH IBU 11PoV HELENAAku membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci, tepat saat kulihat Mama menurunkan tangannya dari wajah Papa. Aku terkejut bukan kepalang. Selama ini, tak sekalipun aku melihat Mama murka seperti itu, apalagi sampai berani menampar Papa. Tapi, apa yang baru saja Papa katakan memang sangat keterlaluan. Bagaimana bisa Papa mengatai Mama pela-cur? Mamaku seorang wanita terhormat. Sebutan keji itu hanya pantas diberikan pada perempuan kotor dan rendahan seperti … "Helena?"Dua suara serempak menegurku."Apa yang Mama lakukan? Kenapa Papa memaki Mama seperti iti."Keduanya tampak gugup. Mama menatap Papa tajam dan berjalan keluar sambil menarik tanganku. Tapi, dengan cepat aku menghempas tangannya. Aku harus tahu apa maksud kata-kata Papa. Delapan belas tahun lamanya, aku seringkali diam-diam melihat mereka bertengkar. Meski di depanku, mereka berpura-pura mesra, aku tahu bahwa sesungguhnya hubungan mereka berdua tak seromantis itu. Tadinya kupikir, karena
BUKAN SALAH IBU 12Pintu itu terbuka dan wajah yang keluar dari sana tampak terkejut melihatku duduk di depan pintu kamar Mama."Helen? Kenapa nggak sekolah?"Aku menatap wajah Eyang. Selama ini, Eyang adalah orang yang paling memanjakanku selain Mama. Apapun yang kuminta pasti diturutinya. Bahkan terkadang, sebuah barang keluaran terbaru sudah ada di hadapanku sebelum aku sempat meminta. Bagi Eyang, akulah satu-satunya permata berharga keluarga Wardhana. "Aku nggak bisa pergi sekolah dan meninggalkan Mama seperti itu."Eyang tersenyum dan duduk disampingku. Dia merangkul bahuku."Kau memang anak yang baik dan sangat sayang pada Mama dan Papamu. Eyang senang mendengarnya."Aku sayang pada Papa? Sejenak, aku tertegun mendengar kosakata itu. Seperti Mama, kasih sayangku pada Papa bertepuk sebelah tangan. Sejak kecil aku merasakan, bahwa Papa tak terlalu sayang padaku. Dia memang melimpahiku dengan uang, tapi kehadirannya di moment penting hidupku bisa dihitung dengan jari. "Tapi, kau