Share

Bab 5

BUKAN SALAH IBU 5

Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.

Lalu, pintu sebelah sopir terbuka dan sepasang sepatu kets putih melompat turun. Aku terkejut, ternyata yang memakai mobil itu bukan Papanya Helena, melainkan Helena sendiri. Dia lalu menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar.

Jantungku berdegup kencang. Mau apa mereka kesini? Aku ingat Ibu, dan tubuhnya yang mungil itu, bagaimana jika Helena kesini mencari Ibu dan memarahinya? Atau yang lebih parah lagi, memukuli Ibu seperti yang dia lakukan padaku?

Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, tapi dua orang bertubuh besar itu langsung menghadang.

"KTP."

Aku belum punya KTP. Meski usiaku sudah delapan belas tahun, aku kemana-mana masih menggunakan kartu pelajat. Kupikir nanti saja setelah lulus. Tapi rupanya, aku salah perhitungan.

"Saya belum punya KTP. Tapi, saya sudah delapan belas tahun."

Si penjaga tersenyum dan menggeleng.

"Silakan datang kalau adik sudah cukup umur."

"Tapi, teman saya tadi bisa masuk, namanya Helena!"

Mereka berdua saling tatap. Salah satunya langsung menarik tanganku menjauh. Aku meronta. Kenapa Helena bisa masuk sementara aku tidak? Oh, tentu saja, di tempat seperti ini, uang yang punya kuasa.

"Tolong, saya mau ketemu Ibu saya. Ibu saya di dalam. Ibu Mariana namanya, cleaning servis atau pelayan. Semacam itu."

Si petugas jaga melepaskan tangannya dan mendorongku pelan.

"Sebaiknya kau pergi, Nak. Sebelum kau menyesal karena bertahan di sini."

"Tapi … "

Dua orang itu melambaikan tangan dan berjalan kembali ke posisinya, berdiri mengawasiku. Aku melangkah dengan gontai ke tempat dimana motorku diparkir. Hatiku gundah membayangkan Ibu disakiti didalam sana. Oh Tuhan, Apa yang harus aku lakukan?

"Dasar pela-cur!"

Suara bentakan itu yang akhirnya membuatku memalingkan kepala. Tertegun memandang tubuh Ibu diseret keluar dari pintu depan oleh Helena. Aku berlari dan menyongsongnya, tepat sebelum tubuh itu jatuh ke tanah.

"Ibu."

Aku sempoyongan oleh beban tubuh Ibu. Tapi sekuat mungkin, aku bertahan. Kupeluk tubuh Ibu, dan membawanya menjauh. Rambut Ibu yang saat berangkat tadi digelung dengan rapi di belakang kepalanya, kini kusut masai. Sepertinya, Helena menjambak rambut Ibu. Begitu juga dengan kemejanya yang terburai keluar dari pinggang celana.

"Kenapa kamu bisa ada disini, Bella?"

Aku tak menjawab. Hatiku mendidih oleh pemandangan yang baru saja kulihat. Dia boleh saja menyiksaku, memukuliku, mengataiku apa saja. Tapi, aku tak akan membiarkannya memperlakukan Ibu seperti hewan.

"Ibu tunggu disini."

Aku menyandarkan tubuh Ibu di motorku, lalu berjalan dengan langkah lebar, ke tempat dia berdiri menatap kami sambil bertolak pinggang.

"Bagus! Kau datang kesini juga."

Plak!

Kalimat Helena kujawab dengan tamparan. Dia terkejut, mungkin tak menyangka aku berani melakukannya. Di sekitar kami, beberapa orang berdiri menyaksikan. Sepertinya para pengunjung klub malam. Entah dimana kedua penjaga tadi.

"Aku terima selama ini kamu menghina dan memukuliku. Tapi, jika kamu melakukannya pada Ibuku, aku tak akan tinggal diam!

"Oh bagus! Tentu saja kamu membela pela-cur itu!" seru Helena garang sambil mengusap pipinya.

"Ibuku bukan pela-cur!"

"Pela-cur sekaligus pelakor! Suruh dia menjauhi Papaku!"

"Kenapa tidak kau saja yang menyuruh Papamu menjauhi Ibuku!"

Kami saling berteriak, saling tatap dengan benci yang meraja di dalam hati. Aku tak memikirkan lagi resiko apa yang akan kudapatkan. Yang jelas, ini saatku membalasnya. Disini tak ada tiga bodyguard Helena yang biasa memiting tanganku agar dia bisa bebas memukuliku.

Baru saja aku melangkah hendak memukulnya, kurasakan sepasang tangan memelukku dari belakang.

"Sudah, Bella. Sudah, ayo kita pulang."

"Ibu, biar kubalas sakit hatiku selama ini." Aku meronta.

"Tidak, Nak. Tidak, sudah cukup. Ibu janji ini malam terakhir Ibu menginjakkan kaki di tempat ini."

Aku berhenti meronta dan berbalik menatap Ibu. Ada air mata menetesi pipinya.

"Ayo kita pulang."

Ibu menatap Helena dari balik tubuhku, dan untuk pertama kalinya kudengar suara Ibu yang tajam dan tegas.

"Helena. Sebaiknya, kau tanyakan pada Papa dan Mamamu apa yang terjadi diantara kami bertiga dimasa lalu. Kalau kau masih belum puas pada jawaban mereka, kau boleh datang ke rumah saya. Kalian berdua, perlu mengetahui sesuatu."

Ibu lalu menarik tanganku ke arah motornya sebelum Helena sempat menjawab.

"Ayo kita pulang, Bella."

Aku menurut, naik ke motor dan menghidupkannya. Ibu naik di boncengan dan memelukku erat dari belakang. Dari kaca spion, dapat kulihat Helena menatap kami. Aku tak peduli. Yang kupikirkan adalah kata-kata Ibu tadi. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, antara Ibu, dan kedua orang tua Helena?

Aku tak sabar lagi ingin segera sampai di rumah. Ini mungkin baru jam sepuluh malam, masih banyak waktu bagi Ibu untuk bercerita. Tapi, begitu kami masuk ke dalam rumah, Ibu membalikkan badan dan memandangku.

"Bella, bisakah kau bersabar lagi? Ibu lelah dan ingin istirahat."

Aku memegang tangan Ibu, menatap wajahnya yang sendu. Ada memar di sudur bibirnya. Apakah Helena sempat menampar Ibu di dalam tadi? Ya Tuhan, dia kejam sekali.

"Ibu tahu banyak hal yang ingin kau tanyakan. Tapi, Ibu rasanya lelah sekali dan nyaris tak sanggup berdiri lagi."

Benar. Ada ribuan pertanyaan berkecamuk di benakku. Tapi melihat wajahnya yang kuyu dan tubuhnya yang tampak lemas itu, aku tak tega. Aku menghela napas sejenak dan memeluk Ibu.

"Asalkan Ibu tak kembali ke tempat itu."

Ibu menganggukkan kepala, mengusap pipiku sejenak dan masuk ke dalam kamarnya. Aku duduk termenung di kursi ruang tengah, menelusuri dan menarik ingatan, adakah yang terlupa olehku?

***

"Bella! Tunggu!"

Aku menoleh, dan mendapati Niar berlari-lari menghampiri. Dia rupanya menepati janji kemarin untuk mempublikasikan pertemanan kami. Begitu tiba di dekatku, dia langsung menarik tanganku.

"Mama kolot sekali. Aku naik motor hanya boleh dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam. Kau bayangkan saja itu, Bella! Apa gunanya motor baru?"

Aku tertawa. Kami berjalan beriringan masuk ke dalam kelas. Tapi, aku tertegun saat menyadari bahwa kelas sepi, kecuali empat orang yang duduk di pojok kelas, dan kini menatap kami berdua. Langkah Niar ragu, dia tampak berusaha menyembunyikan diri di belakang tubuhku.

"Pergilah, aku tak mau kamu ikut kena masalah," bisikku saat melihat Helena dan genk-nya berdiri dan berjalan mendekati kami. Niar langsung lari tunggang langgang, sementara aku berdiri dengan tegak, menyongsong kedatangan mereka.

Bersiap menghadapi apa saja yang akan terjadi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status