Share

Bab 5

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2024-02-21 20:24:31

BUKAN SALAH IBU 5

Satu jam kemudian, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Mobil Papanya Helena yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku memutar kunci motor, menguncinya, dan menunggu pintu mobil itu terbuka dengan dada berdebar kencang.

Lalu, pintu sebelah sopir terbuka dan sepasang sepatu kets putih melompat turun. Aku terkejut, ternyata yang memakai mobil itu bukan Papanya Helena, melainkan Helena sendiri. Dia lalu menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang bertubuh besar.

Jantungku berdegup kencang. Mau apa mereka kesini? Aku ingat Ibu, dan tubuhnya yang mungil itu, bagaimana jika Helena kesini mencari Ibu dan memarahinya? Atau yang lebih parah lagi, memukuli Ibu seperti yang dia lakukan padaku?

Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, tapi dua orang bertubuh besar itu langsung menghadang.

"KTP."

Aku belum punya KTP. Meski usiaku sudah delapan belas tahun, aku kemana-mana masih menggunakan kartu pelajat. Kupikir nanti saja setelah lulus. Tapi rupanya, aku salah perhitungan.

"Saya belum punya KTP. Tapi, saya sudah delapan belas tahun."

Si penjaga tersenyum dan menggeleng.

"Silakan datang kalau adik sudah cukup umur."

"Tapi, teman saya tadi bisa masuk, namanya Helena!"

Mereka berdua saling tatap. Salah satunya langsung menarik tanganku menjauh. Aku meronta. Kenapa Helena bisa masuk sementara aku tidak? Oh, tentu saja, di tempat seperti ini, uang yang punya kuasa.

"Tolong, saya mau ketemu Ibu saya. Ibu saya di dalam. Ibu Mariana namanya, cleaning servis atau pelayan. Semacam itu."

Si petugas jaga melepaskan tangannya dan mendorongku pelan.

"Sebaiknya kau pergi, Nak. Sebelum kau menyesal karena bertahan di sini."

"Tapi … "

Dua orang itu melambaikan tangan dan berjalan kembali ke posisinya, berdiri mengawasiku. Aku melangkah dengan gontai ke tempat dimana motorku diparkir. Hatiku gundah membayangkan Ibu disakiti didalam sana. Oh Tuhan, Apa yang harus aku lakukan?

"Dasar pela-cur!"

Suara bentakan itu yang akhirnya membuatku memalingkan kepala. Tertegun memandang tubuh Ibu diseret keluar dari pintu depan oleh Helena. Aku berlari dan menyongsongnya, tepat sebelum tubuh itu jatuh ke tanah.

"Ibu."

Aku sempoyongan oleh beban tubuh Ibu. Tapi sekuat mungkin, aku bertahan. Kupeluk tubuh Ibu, dan membawanya menjauh. Rambut Ibu yang saat berangkat tadi digelung dengan rapi di belakang kepalanya, kini kusut masai. Sepertinya, Helena menjambak rambut Ibu. Begitu juga dengan kemejanya yang terburai keluar dari pinggang celana.

"Kenapa kamu bisa ada disini, Bella?"

Aku tak menjawab. Hatiku mendidih oleh pemandangan yang baru saja kulihat. Dia boleh saja menyiksaku, memukuliku, mengataiku apa saja. Tapi, aku tak akan membiarkannya memperlakukan Ibu seperti hewan.

"Ibu tunggu disini."

Aku menyandarkan tubuh Ibu di motorku, lalu berjalan dengan langkah lebar, ke tempat dia berdiri menatap kami sambil bertolak pinggang.

"Bagus! Kau datang kesini juga."

Plak!

Kalimat Helena kujawab dengan tamparan. Dia terkejut, mungkin tak menyangka aku berani melakukannya. Di sekitar kami, beberapa orang berdiri menyaksikan. Sepertinya para pengunjung klub malam. Entah dimana kedua penjaga tadi.

"Aku terima selama ini kamu menghina dan memukuliku. Tapi, jika kamu melakukannya pada Ibuku, aku tak akan tinggal diam!

"Oh bagus! Tentu saja kamu membela pela-cur itu!" seru Helena garang sambil mengusap pipinya.

"Ibuku bukan pela-cur!"

"Pela-cur sekaligus pelakor! Suruh dia menjauhi Papaku!"

"Kenapa tidak kau saja yang menyuruh Papamu menjauhi Ibuku!"

Kami saling berteriak, saling tatap dengan benci yang meraja di dalam hati. Aku tak memikirkan lagi resiko apa yang akan kudapatkan. Yang jelas, ini saatku membalasnya. Disini tak ada tiga bodyguard Helena yang biasa memiting tanganku agar dia bisa bebas memukuliku.

Baru saja aku melangkah hendak memukulnya, kurasakan sepasang tangan memelukku dari belakang.

"Sudah, Bella. Sudah, ayo kita pulang."

"Ibu, biar kubalas sakit hatiku selama ini." Aku meronta.

"Tidak, Nak. Tidak, sudah cukup. Ibu janji ini malam terakhir Ibu menginjakkan kaki di tempat ini."

Aku berhenti meronta dan berbalik menatap Ibu. Ada air mata menetesi pipinya.

"Ayo kita pulang."

Ibu menatap Helena dari balik tubuhku, dan untuk pertama kalinya kudengar suara Ibu yang tajam dan tegas.

"Helena. Sebaiknya, kau tanyakan pada Papa dan Mamamu apa yang terjadi diantara kami bertiga dimasa lalu. Kalau kau masih belum puas pada jawaban mereka, kau boleh datang ke rumah saya. Kalian berdua, perlu mengetahui sesuatu."

Ibu lalu menarik tanganku ke arah motornya sebelum Helena sempat menjawab.

"Ayo kita pulang, Bella."

Aku menurut, naik ke motor dan menghidupkannya. Ibu naik di boncengan dan memelukku erat dari belakang. Dari kaca spion, dapat kulihat Helena menatap kami. Aku tak peduli. Yang kupikirkan adalah kata-kata Ibu tadi. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, antara Ibu, dan kedua orang tua Helena?

Aku tak sabar lagi ingin segera sampai di rumah. Ini mungkin baru jam sepuluh malam, masih banyak waktu bagi Ibu untuk bercerita. Tapi, begitu kami masuk ke dalam rumah, Ibu membalikkan badan dan memandangku.

"Bella, bisakah kau bersabar lagi? Ibu lelah dan ingin istirahat."

Aku memegang tangan Ibu, menatap wajahnya yang sendu. Ada memar di sudur bibirnya. Apakah Helena sempat menampar Ibu di dalam tadi? Ya Tuhan, dia kejam sekali.

"Ibu tahu banyak hal yang ingin kau tanyakan. Tapi, Ibu rasanya lelah sekali dan nyaris tak sanggup berdiri lagi."

Benar. Ada ribuan pertanyaan berkecamuk di benakku. Tapi melihat wajahnya yang kuyu dan tubuhnya yang tampak lemas itu, aku tak tega. Aku menghela napas sejenak dan memeluk Ibu.

"Asalkan Ibu tak kembali ke tempat itu."

Ibu menganggukkan kepala, mengusap pipiku sejenak dan masuk ke dalam kamarnya. Aku duduk termenung di kursi ruang tengah, menelusuri dan menarik ingatan, adakah yang terlupa olehku?

***

"Bella! Tunggu!"

Aku menoleh, dan mendapati Niar berlari-lari menghampiri. Dia rupanya menepati janji kemarin untuk mempublikasikan pertemanan kami. Begitu tiba di dekatku, dia langsung menarik tanganku.

"Mama kolot sekali. Aku naik motor hanya boleh dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam. Kau bayangkan saja itu, Bella! Apa gunanya motor baru?"

Aku tertawa. Kami berjalan beriringan masuk ke dalam kelas. Tapi, aku tertegun saat menyadari bahwa kelas sepi, kecuali empat orang yang duduk di pojok kelas, dan kini menatap kami berdua. Langkah Niar ragu, dia tampak berusaha menyembunyikan diri di belakang tubuhku.

"Pergilah, aku tak mau kamu ikut kena masalah," bisikku saat melihat Helena dan genk-nya berdiri dan berjalan mendekati kami. Niar langsung lari tunggang langgang, sementara aku berdiri dengan tegak, menyongsong kedatangan mereka.

Bersiap menghadapi apa saja yang akan terjadi.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 50 (ENDING)

    BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 49

    BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 48

    BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 47

    BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 46

    BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 45

    BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status