Share

Bab 6

BUKAN SALAH IBU 6

Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain.

"Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."

Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan.

"Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"

Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum.

"Baiklah, aku menunggu."

"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"

Sebuah suara menginterupsi. Helena menggerakkan kepalanya dan menatap seseorang yang berjalan masuk dari balik bahuku.

"Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu. Selamat. Mungkin kamu bisa menggunakan dia untuk memperbaiki hidup kalian yang miskin. Jangan sampai kau tak bisa makan karena Ibumu berhenti mela-cur."

Bisikan Helena di telingaku terdengar menusuk telinga. Dia melangkahkan kaki hendak melewati lku, tapi, kucengkram tangannya.

"Aku akan mengingat kata-katamu ini Helena. Suatu saat nanti, aku pastikan kau akan mengemis memohon maaf dan meminta bantuanku."

Helena menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis. Dia lalu melangkah pergi diikuti ketiga dayangnya, tepat saat Pak Emir tiba disisiku. Dia menatap Helena yang melewatinya begitu saja. Sedikitpun tak menaruh rasa hormat.

"Mereka mengganggu lagi?"

'Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu.'

Suara Helena tadi tiba-tiba terngiang. Aku menatap wajah tampan di depanku dan langsung menundukkan kepala karena merasakan getaran yang aneh.

"Nggak, Pak. Sepertinya mulai sekarang saya bisa tenang. Kami sudah berdamai."

Ya. Aku harus menahan diri sampai mengetahui rahasia di balik ini semua. Saat aku berangkat seolah, Ibu belum bisa ditanyai karena tiba-tiba saja beliau demam. Aku meninggalkannya tadi pagi dengan semangkuk bubur ayam dan sebutir obat. Dan sepertinya, Helena juga belum bertanya pada orang tuanya seperti saran Ibu semalam. Semua ini terasa menjemukan. Aku tak sabar ingin segera mengetahuinya.

Pak Emir menarik napas lega. Dia tersenyum sambil menatapku lekat-lekat. Oh, kenapa tatapan matanya terasa berbeda? Aku teringat saat dirawat di rumah sakit, beliau menungguiku, bahkan membantu sebagian biaya rumah sakit. Benarkah apa yang dikatakan Helena, bahwa dia … menyukaiku?

"Bells!"

Suara Niar memecahkan keheningan. Dia berlari masuk dan tersenyum pada Pak Emir.

"Terima kasih Bapak langsung datang," ujarnya.

Jadi, Niar yang mengadu pada Pak Emir. Wajahku terasa panas karena malu. Aku merasa seperti seorang gadis manja yang pengadu. Padahal, tak ada yang dilakukan Helena padaku.

Pak Emir tersenyum.

"Saya senang kamu melakukan itu, Niar. Tolong jaga Bella. Lekas memberitahu saya jika dia mengalami kesulitan lagi."

Niar menganggukkan kepala, menatap Pak Emir dan jelas aku melihat dia takjub bagaimana guru olahraga tampan idola para gadis itu demikian perhatian padaku. Pak Emir lalu pergi setelah menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas.

"Helena nggak ngapa-ngapain?"

Aku menggelengkan kepala, merasa tak perlu mengatakan ancamannya tadi. Kami kemudian duduk di kursi masing-masing, menunggu bel masuk tiba.

Jika bagi banyak remaja, masa SMA adalah masa paling bahagia, bagiku, ini adalah masa yang paling suram. Satu-satunya penghibur bagiku adalah piala dan piagam Olimpiade yang berjejal di dalam kamar.

Sedikit lagi, Bella. Setelah itu, kau bisa pergi dari sini dan tak perlu bertemu dengannya lagi.

***

Sekolah sudah sepi saat kelas kami keluar dari kelas. Keluar paling akhir, karena guru bahasa Inggris yang sangat menyenangkan membuat kami lupa waktu. Tapi, aku tidak. Ingatanku terus melayang pada Ibu yang terbaring sakit di rumah. Seharusnya, aku izin saja tadi. Tapi, Ibu melarang karena detik-detik terakhir masa SMA ku tak akan terulang.

Di area parkir, hanya tersisa kendaraan milik siswa kelas kami, dan beberapa kendaraan milik guru dan staff sekolah. Aku melangkah cepat, nyaris saja berlari. Kubiarkan Niar berlari di belakangku.

Huft …

"Dah, Bella!"

Aku mengangkat kepala dan mendapati mobil sedan Helena berlalu, nyaris saja menyerempetku. Aku mundur selangkah karena kaget. Di dalam mobil itu, Helena dan ketiga temannya tertawa terbahak-bahak. Suaranya masih terdengar karena mereka membuka jendela mobilnya.

Aku menghela napas panjang dan berjalan meraih kunci motor dari dalam tas. Tapi, aku terkejut saat mendapati kedua bannya kempes.

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini?

"Bella, duluan!"

Niar melambaikan tangan dan melewatiku. Sepertinya dia tak tahu kalau aku mendapat masalah. Parkiran semakin sepi, dan aku kebingungan memikirkan cara untuk pulang.

"Bella?"

Aku menoleh dan mendapati Pak Emir datang dengan motornya. Dia membuka helm dan ikut menatap motorku.

"Kempes?"

"Iya, Pak."

"Kok bisa dua-duanya ya?"

Aku tersenyum getir, "Kayaknya ada yang usil."

"Mau dibawa ke bengkel?"

Duh, aku nggak bawa duit. Aku menggelengkan kepala.

"Besok aja deh, Pak. Saya naik angkot saja, Pak. Motornya saya titip Pak Satpam aja deh. Permisi, Pak!"

Aku berlari ke pos satpam dan menitipkan motor sekaligus kuncinya, kalau-kalau perlu dipindahkan. Kalau malam, gerbang akan ditutup. Motorku pasti aman. Lagipula, siapa yang mau mencuri motor tua seperti itu?

Kemudian, aku berlari lagi ke pinggir jalan raya, mencari angkot. Di zaman kendaraan online, sulit sekali mencari angkot. Gelisah karena ingat pada Ibu, aku sampai tak menyadari Pak Emir sudah ada di depanku.

"Ayo naik, Bella. Saya antar pulang!"

Aku terdiam. Tak apa-apakah berboncengan dengan guru? Tapi, Ibu menunggu di rumah.

Akhirnya aku menyerah dan naik ke boncengan motor Pak Emir. Motor baru yang masih mulus itu meluncur di atas jalan aspal.

"Rumah saya di Puri Sejahtera, Pak."

"Iya saya tahu. Nomor lima kan?"

"Kok Bapak tahu?"

Pak Emir tak menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang dapat kulihat dari kaca spion. Pelan-pelan, gemuruh di dadaku makin terasa. Aku diam saja, tak lagi berani bersuara, takut kalau-kalau beliau mendengar suaraku yang mungkin nanti akan bergetar.

Kami tiba di rumah, tepat saat sebuah mobil baru saja meninggalkan rumah kami. Aku terkejut, melompat turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Aku melupakan Pak Emir yang pastilah terkejut melihatku melompat turun padahal motor baru saja berhenti. Di dalam, kudapati Ibu duduk bersandar dengan wajah pucat pasi. Beliau memegangi dadanya.

"Ibu?! Ada apa? Siapa yang datang tadi?"

Ibu menatapku, ada keterkejutan di matanya. Dan sesuatu yang tak lagi bisa disembunyikan. Sebuah rasa sakit, kecewa, dan amarah. Wajah Ibu yang biasanya tenang tanpa gelombang, kini menampakkan emosi yang belum pernah kulihat.

"Bella, Dia adalah … "

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status