Share

Bab 6

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-05 17:29:23

BUKAN SALAH IBU 6

Helena berdiri tegak di depanku sambil menyilangkan kedua tangannya. Tak ada senyum di bibirnya yang tipis itu. Tapi, itu tampak lebih baik karena senyum yang selalu keluar dari bibir gadis berwajah oriental itu sinis dan mengandung maksud lain.

"Mulai saat ini, aku berjanji tidak akan memukulku, menendang atau bahkan menyentuhmu lagi, Bella."

Aku diam, menunggu kelanjutan kata-katanya. Tentu saja ini bukanlah akhir, karena aku tahu akan ada kelanjutannya yang pasti lebih mengerikan.

"Tapi, aku akan menyakitimu lebih dari ini. Aku, perlahan-lahan akan menghancurkan hatimu, mengambil apapun yang kau miliki hingga kau merasakan penderitaan lebih dari ini!"

Wajah kami hanya berjarak satu jengkal saja. Aku menatap wajah ovalnya yang dibalut rambut hitam pekat dan lurus sempurna. Beberapa detik lamanya, tak ada dari kami yang mengalah, sampai kemudian, aku tersenyum.

"Baiklah, aku menunggu."

"Isabella, Helena, kalian bertengkar lagi?!"

Sebuah suara menginterupsi. Helena menggerakkan kepalanya dan menatap seseorang yang berjalan masuk dari balik bahuku.

"Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu. Selamat. Mungkin kamu bisa menggunakan dia untuk memperbaiki hidup kalian yang miskin. Jangan sampai kau tak bisa makan karena Ibumu berhenti mela-cur."

Bisikan Helena di telingaku terdengar menusuk telinga. Dia melangkahkan kaki hendak melewati lku, tapi, kucengkram tangannya.

"Aku akan mengingat kata-katamu ini Helena. Suatu saat nanti, aku pastikan kau akan mengemis memohon maaf dan meminta bantuanku."

Helena menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis. Dia lalu melangkah pergi diikuti ketiga dayangnya, tepat saat Pak Emir tiba disisiku. Dia menatap Helena yang melewatinya begitu saja. Sedikitpun tak menaruh rasa hormat.

"Mereka mengganggu lagi?"

'Pak Emir kita tersayang, sepertinya menyukaimu.'

Suara Helena tadi tiba-tiba terngiang. Aku menatap wajah tampan di depanku dan langsung menundukkan kepala karena merasakan getaran yang aneh.

"Nggak, Pak. Sepertinya mulai sekarang saya bisa tenang. Kami sudah berdamai."

Ya. Aku harus menahan diri sampai mengetahui rahasia di balik ini semua. Saat aku berangkat seolah, Ibu belum bisa ditanyai karena tiba-tiba saja beliau demam. Aku meninggalkannya tadi pagi dengan semangkuk bubur ayam dan sebutir obat. Dan sepertinya, Helena juga belum bertanya pada orang tuanya seperti saran Ibu semalam. Semua ini terasa menjemukan. Aku tak sabar ingin segera mengetahuinya.

Pak Emir menarik napas lega. Dia tersenyum sambil menatapku lekat-lekat. Oh, kenapa tatapan matanya terasa berbeda? Aku teringat saat dirawat di rumah sakit, beliau menungguiku, bahkan membantu sebagian biaya rumah sakit. Benarkah apa yang dikatakan Helena, bahwa dia … menyukaiku?

"Bells!"

Suara Niar memecahkan keheningan. Dia berlari masuk dan tersenyum pada Pak Emir.

"Terima kasih Bapak langsung datang," ujarnya.

Jadi, Niar yang mengadu pada Pak Emir. Wajahku terasa panas karena malu. Aku merasa seperti seorang gadis manja yang pengadu. Padahal, tak ada yang dilakukan Helena padaku.

Pak Emir tersenyum.

"Saya senang kamu melakukan itu, Niar. Tolong jaga Bella. Lekas memberitahu saya jika dia mengalami kesulitan lagi."

Niar menganggukkan kepala, menatap Pak Emir dan jelas aku melihat dia takjub bagaimana guru olahraga tampan idola para gadis itu demikian perhatian padaku. Pak Emir lalu pergi setelah menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas.

"Helena nggak ngapa-ngapain?"

Aku menggelengkan kepala, merasa tak perlu mengatakan ancamannya tadi. Kami kemudian duduk di kursi masing-masing, menunggu bel masuk tiba.

Jika bagi banyak remaja, masa SMA adalah masa paling bahagia, bagiku, ini adalah masa yang paling suram. Satu-satunya penghibur bagiku adalah piala dan piagam Olimpiade yang berjejal di dalam kamar.

Sedikit lagi, Bella. Setelah itu, kau bisa pergi dari sini dan tak perlu bertemu dengannya lagi.

***

Sekolah sudah sepi saat kelas kami keluar dari kelas. Keluar paling akhir, karena guru bahasa Inggris yang sangat menyenangkan membuat kami lupa waktu. Tapi, aku tidak. Ingatanku terus melayang pada Ibu yang terbaring sakit di rumah. Seharusnya, aku izin saja tadi. Tapi, Ibu melarang karena detik-detik terakhir masa SMA ku tak akan terulang.

Di area parkir, hanya tersisa kendaraan milik siswa kelas kami, dan beberapa kendaraan milik guru dan staff sekolah. Aku melangkah cepat, nyaris saja berlari. Kubiarkan Niar berlari di belakangku.

Huft …

"Dah, Bella!"

Aku mengangkat kepala dan mendapati mobil sedan Helena berlalu, nyaris saja menyerempetku. Aku mundur selangkah karena kaget. Di dalam mobil itu, Helena dan ketiga temannya tertawa terbahak-bahak. Suaranya masih terdengar karena mereka membuka jendela mobilnya.

Aku menghela napas panjang dan berjalan meraih kunci motor dari dalam tas. Tapi, aku terkejut saat mendapati kedua bannya kempes.

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini?

"Bella, duluan!"

Niar melambaikan tangan dan melewatiku. Sepertinya dia tak tahu kalau aku mendapat masalah. Parkiran semakin sepi, dan aku kebingungan memikirkan cara untuk pulang.

"Bella?"

Aku menoleh dan mendapati Pak Emir datang dengan motornya. Dia membuka helm dan ikut menatap motorku.

"Kempes?"

"Iya, Pak."

"Kok bisa dua-duanya ya?"

Aku tersenyum getir, "Kayaknya ada yang usil."

"Mau dibawa ke bengkel?"

Duh, aku nggak bawa duit. Aku menggelengkan kepala.

"Besok aja deh, Pak. Saya naik angkot saja, Pak. Motornya saya titip Pak Satpam aja deh. Permisi, Pak!"

Aku berlari ke pos satpam dan menitipkan motor sekaligus kuncinya, kalau-kalau perlu dipindahkan. Kalau malam, gerbang akan ditutup. Motorku pasti aman. Lagipula, siapa yang mau mencuri motor tua seperti itu?

Kemudian, aku berlari lagi ke pinggir jalan raya, mencari angkot. Di zaman kendaraan online, sulit sekali mencari angkot. Gelisah karena ingat pada Ibu, aku sampai tak menyadari Pak Emir sudah ada di depanku.

"Ayo naik, Bella. Saya antar pulang!"

Aku terdiam. Tak apa-apakah berboncengan dengan guru? Tapi, Ibu menunggu di rumah.

Akhirnya aku menyerah dan naik ke boncengan motor Pak Emir. Motor baru yang masih mulus itu meluncur di atas jalan aspal.

"Rumah saya di Puri Sejahtera, Pak."

"Iya saya tahu. Nomor lima kan?"

"Kok Bapak tahu?"

Pak Emir tak menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang dapat kulihat dari kaca spion. Pelan-pelan, gemuruh di dadaku makin terasa. Aku diam saja, tak lagi berani bersuara, takut kalau-kalau beliau mendengar suaraku yang mungkin nanti akan bergetar.

Kami tiba di rumah, tepat saat sebuah mobil baru saja meninggalkan rumah kami. Aku terkejut, melompat turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Aku melupakan Pak Emir yang pastilah terkejut melihatku melompat turun padahal motor baru saja berhenti. Di dalam, kudapati Ibu duduk bersandar dengan wajah pucat pasi. Beliau memegangi dadanya.

"Ibu?! Ada apa? Siapa yang datang tadi?"

Ibu menatapku, ada keterkejutan di matanya. Dan sesuatu yang tak lagi bisa disembunyikan. Sebuah rasa sakit, kecewa, dan amarah. Wajah Ibu yang biasanya tenang tanpa gelombang, kini menampakkan emosi yang belum pernah kulihat.

"Bella, Dia adalah … "

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 50 (ENDING)

    BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 49

    BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 48

    BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 47

    BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 46

    BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 45

    BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status