Share

Bah 7

BUKAN SALAH IBU 7

"Bella, ada apa?"

Aku menoleh, sejenak tadi terlupa bahwa Pak Emir mengantarku pulang. Demi melihat ada orang lain datang, Ibu duduk tegak, menghapus sisa air mata yang sejenak tadi kutangkap jelas di wajahnya. Detik berikutnya, beliau telah tersenyum sambil berdiri, menyapa Pak Emir dengan ramah seolah-olah tadi tak terjadi apa-apa.

"Ya Allah, Bella. Ada teman kamu, kok nggak suruh ikut masuk?"

Teman?

Aku melirik Pak Emir. Seragam gurunya tertutup oleh jaket berhodie. Dan tanpa seragam itu, dia memang terlihat masih sangat muda. Usia kami hanya terpaut enam tahun. Aku mengetahuinya saat tak sengaja membuka database para guru dan staff di situs sekolah.

"Ibu, ini Pak Emir, guru aku di sekolah," ujarku pelan. Ibu semakin terkejut.

"Loh? Ya Allah, maaf … maaf … "

Ibu dengan cepat menguasai diri. Pak Emir tersenyum dan tanpa kuduga mengulurkan tangannya, menyalami Ibu. Dia mencium tangan Ibu tanpa canggung.

"Waduh, saya jadi nggak enak ini."

Pak Emir tersenyum dan mengangguk sopan.

"Saya kan lebih muda dari Ibu. Saya belum menikah, Bu."

Ibu melongo sejenak, lalu melirik padaku yang ikut salah tingkah mendengar kata-kata Pak Emir. Memangnya kenapa dia harus menjelaskan hal itu pada Ibu? Apa urusannya dengan Ibu? Kami seluruh penghuni sekolah tentu saja sudah tahu.

"Emm, maaf, Pak. Tapi Ibu saya kurang sehat. Boleh kami masuk?"

"Bella."

Ibu menegurku, kalimatku tadi jelas sebuah pengusiran. Aku tak sabar lagi ingin bertanya pada Ibu siapa yang datang. Delapan belas tahun usiaku, tak pernah ada orang datang dengan mobil sebagus itu. Ibu sendiri mengaku tak punya siapa-siapa. Di dunia ini, Ibu sebatang kara, dan aku terancam akan mengalami nasib yang sama.

Pak Emir sepertinya mengerti. Dia menganggukkan kepala, lalu pamit padaku dan Ibu.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi. Jangan lupa besok ada latihan volley, Bella."

"Baik, Pak. Terima kasih atas tumpangannya."

Aku menunggu sampai sosoknya menghilang, dan langsung menutup pintu.

"Bella, kamu nggak sopan, Nak."

Suara Ibu lemah. Ibu sudah mengenal sifatku. Pastilah Ibu tahu kenapa aku kelak hal itu.

"Aku nggak peduli, Bu. Yang terpenting adalah, siapa yang tadi datang? Kalau bukan siapa-siapa, Ibu tak mungkin seperti itu."

Ibu menghela napas.

"Ibu! Aku sudah nggak bisa lagi bersabar. Cukup sudah. Kalau Ibu memang tak mau cerita, aku akan mencari tahu sendiri."

Aku meraih kunci motor dari atas meja dan berjalan menuju pintu.

"Kamu mau kemana, Nak?"

"Ke rumah Helena. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi antara Ibu dan Papanya Helena. Aku tak mau menyesal di kemudian hari jika terlambat tahu dan melakukan hal buruk padanya."

Ibu tertegun. Dia lalu menadahkan tangannya padaku.

"Berikan kunci itu."

Aku bergeming.

"Bella, Nak. Berikan kunci itu dan duduklah."

"Maaf, Ibu. Aku sudah tak tahan lagi. Ibu tahu rasanya ketika ada bom yang diletakkan di atas kepala dan tinggal menunggu waktu untuk meledak? Seperti itulah aku. Helena telah menyulut amarahku. Dan aku harus tahu dulu apa hubungan kami sebelum aku membalaskan."

Ibu tercenung. Beliau menghela napas dalam-dalam dan memandang wajahku.

"Baiklah, Bella. Kamu memang sudah cukup besar. Sudah saatnya kamu tahu."

Aku menunggu. Dadaku berdebar kencang menunggu kalimat lanjutan dari Ibu. Ibu menarik tanganku agar duduk di kursi kayu yang sudah lapuk itu. Kursi yang sudah ada sejak aku masih sangat kecil.

"Ayahmu, namanya adalah Wisnu Wardhana … "

Ibu memberi jeda sejenak pada kalimatnya. Dia menatapku lekat sementara aku sibuk mengais ingatan, dimanakah aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Ya, aku pernah mendengarnya, atau membaca namanya, tapi dimana? Yang jelas, bukan di rumah karena Ibu tak sekalipun menyebut namanya di depanku.

"Wisnu Wardhana."

Tanpa sadar aku bergumam. Nama yang sangat bagus. Nama itu seperti sebuah nama yang kerap dipakai anggota keluarga priyayi. Lelaki yang menyandangnya, kubayangkan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, dengan senyuman tulus, dan tatapan mata seteduh telaga. Kubayangkan dia punya bahu lebar, dimana anak istrinya bisa bersandar dengan nyaman.

Lalu …

"Dia adalah lelaki yang kamu lihat dalam foto itu, lelaki yang menemui Ibu. Lelaki yang sama dengan Papanya Helena."

Seakan bumi berhenti berputar, lalu sebuah lubang hitam datang dan menelanku ke dalamnya. Aku limbung, berpegangan pada lengan kursi dan menyandarkan punggung ke sandarannya. Suara Ibu tadi bergaung di telinga.

Ayahku dan Papa Helena, adalah orang yang sama!

Kami bersaudara!

Keringat dingin mengucur deras, membasahi seragam putih yang kupakai.

Orang yang selama ini memukuli dan menyiksaku, adalah saudaraku? Adikku? Usia Elena delapan bulan lebih muda dariku, jadi, apa arti ini semua? Dan bagaimana bisa jadi seperti ini?

Ini pasti mimpi!

Tapi, sandaran kursi yang keras dan menekan kepalaku, membuatku tersadar bahwa semua ini nyata.

"Isabella … kamu baik-baik saja kan?"

Suara Ibu bergetar. Dari sudut-sudut matanya mengalir cairan bening yang pastilah sudah sejak tadi berusaha ditahannya.

"Tolong jelaskan padaku, kenapa bisa jadi seperti ini, Ibu?"

Lalu, tanpa kuminta, hidup kami yang penuh derita selama ini kembali terbayang. Bagaimana saat aku masih kecil, aku ikut Ibu bekerja di rumah orang. Subuh buta, menghadapi satu bak besar rendaman cucian, Ibu berkutat dengan sabun dan air, tak peduli cuaca sedang hujan atau dingin. Lalu setelah selesai, menyapu keliling halaman rumah yang luasnya setengah lapangan bola. Bagaimana aku ikut Ibu berkeliling menjajakan kue setiap sore saat bulan puasa tiba, agar Ibu bisa membeli selembar baju lebaran untukku dan juga sepotong ayam untuk dimasak dengan sepanci kuah santan. Dan berbagai kenangan, yang dulu kukira indah, tapi berubah menyedihkan karena sering kulihat Ibu menangis diam-diam.

Lalu, dia, Tuan Putri Helena, yang hidup bergelimang harta. Pergi dan pulang sekolah dengan naik mobil mewah. Tas dan sepatu bermerek yang nyaris berganti-ganti setiap bulan. Dia yang menggunakan uang sebagai alat kekuasaan untuk menutup mulut teman-temanku. Dia pasti belum tahu seperti apa rasanya makan nasi putih hanya bertabur garam, atau saat aku masih kecil dan hanya bisa menelan ludah saat melihat teman-temanku jajan. Dia pasti tak pernah merasakan rumah gelap gulita karena listrik yang kehabisan daya, apalagi berjalan kaki berkilo meter jauhnya ke sekolah, demi menghemat uang.

Padahal kami punya Ayah yang sama.

Ini sangat tidak adil.

Aku mengusap air mata dengan ujung lengan seragamku. Kuraih lagi kunci motor yang tadi diambil Ibu.

"Sekali ini, tolong jangan halangi aku. Aku harus tahu segalanya."

"Bella!"

Ibu berlari mengejarku, namun diambang pintu, langkah kami berdua terhenti.

DIA ADA DISINI!

Lelaki yang tak punya hati itu. Lelaki yang mengaku mencintai Ibu tapi meninggalkannya begitu saja. Lelaki yang telah menelantarkan aku dan Ibu selama ini, ada disini!

Dia menatapku lekat-lekat, lama sekali. Lalu, tatapan matanya jatuh pada wajah Ibu.

"Mariana … "

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status