Mobil yang dikemudikan Ayra baru saja berhenti di carport rumahnya. Ayra segera turun dan membuka pintu mobil bagian belakang untuk kedua anaknya. Putranya langsung turun dengan membawa kantong belanjaan berisi mainan, beberapa snack dan bahan-bahan dapur. Ayra segera menggendong putrinya yang baru saja tertidur.
Setelah memastikan kedua anaknya aman di kamar masing-masing, Ayra menuju ke kamarnya sendiri. Dia terduduk dengan lemas di lantai dengan bersandar pada tepi ranjang. Otaknya memutar kembali kenangan-kenangan awal perkenalannya dengan Revan sampai akhirnya menikah. Dia tersenyum miris menyadari kebodohannya. Ternyata beberapa bulan ini dia sudah dikhianati. Selama ini, Ayra hanya sibuk bekerja dan mengerjakan pekerjaan rumah. Dia tidak peduli dengan kesibukan Revan. Ayra tidak pernah kepo dengan apa yang dikerjakan oleh suaminya di ponsel. Tak pernah terbesit sedikitpun jika suaminya ternyata sibuk berselingkuh dengan mantan kekasihnya. Ayra menerima watak Revan yang keras, kasar, dan pemalas. Dia terus mencoba menasehati dengan sangat halus dan mendoakan agar hati suaminya dilembutkan. Ayra selalu percaya Revan bisa berubah seiring waktu. Hanya masalah waktu. Kenapa selama ini dia buta? Kenapa selama ini dia bodoh? Padahal sudah sangat jelas hingga detik ini hanya dirinya yang berjuang untuk rumah tangganya. Dia menutupi keburukan suami di hadapan keluarga besarnya. Dia selalu menunjukkan Revan adalah suami yang setia, baik dan bertanggung jawab agar keluarganya tidak ada yang meremehkan suaminya. Tak dapat ditahan lagi, akhirnya air mata Ayra bisa mengalir deras menumpahkan sakit hatinya. Dia tergugu sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan agar kedua anaknya tidak mendengar tangisan memilukan itu. Ayra memukul dadanya kuat-kuat berharap bisa mengeluarkan sakit yang sangat menyayat ini. Tangisannya bukan sepenuhnya karena pengkhianatan Revan, tapi karena sadar akan kebodohan dirinya yang terlalu lama. Beginikah balasan atas semua pengabdian dan ketulusannya? Tidak ingin terlihat lemah dan terpuruk. Ayra harus menyusun rencana untuk membalaskan sakit hatinya. Untuk Revan dan juga selingkuhannya, mereka harus membayar harga yang sangat mahal. Ayra mencari ponsel di dalam tasnya. Dia menghubungi temannya yang seorang pengacara. Dia harus minta bantuan dan beberapa saran agar semua rencananya berhasil dengan sempurna. "Halo, Beb. Tumben." "Halo. Bantu aku mau cerai." Ayra langsung bicara intinya. "Hah? Kamu becanda? Jangan aneh-aneh deh ngomongnya." Nesya, teman lama Ayra, kaget dengan apa yang didengarnya. Selama ini dia tahu kehidupan rumah tangga Ayra baik-baik saja. Tidak terdengar sedikitpun berita miring. Ayra menceritakan semua kejadian hari ini, meminta agar Nesya tidak memberitahu siapapun. Nesya ikut marah mendengar semua kenyataan rumah tangga Ayra. Di akhir, Ayra meminta pendapat Nesya langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya. Setelah hampir setengah jam berdiskusi, Ayra berterima kasih dan mengakhiri panggilan. Dia bernapas lega sudah mengeluarkan unek-uneknya pada seseorang yang dia percaya. Ayra beranjak untuk menunaikan kewajibannya kepada sang pencipta. Dia mengadukan keluh kesah dan semua masalahnya dengan khusyuk. Meminta petunjuk dan perlindungan untuk dirinya dan kedua anaknya. Setelah itu, Ayra menuju ke dapur untuk menata belanjaan dan mulai memasak. Dia akan tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Tapi kali ini, rumah tangga yang dimaksud hanyalah sebuah rumah, tempatnya pulang dan istirahat. Tangga yang dia ingin pijak menuju surga bersama Revan dan kedua anaknya telah dihancurkan oleh Revan sendiri. 1 jam kemudian Ayra mendengar pintu gerbang dibuka dan suara motor mendekat. Sepertinya Revan sudah pulang. Ayra yang juga sudah selesai memasak, menunggu Revan masuk sambil meneruskan menata makanan di meja makan. Revan masuk ke dalam rumah dengan tergesa mencari keberadaan Ayra. Hatinya sedang emosi akibat malu yang dialaminya di rumah Randa tadi. Pak Gunawan memakinya habis-habisan setelah datang dan mendengar laporan yang disampaikan oleh Pak RT dan warga. Mengancam akan membunuhnya jika berani datang menemui putrinya lagi. Ayra yang melihat Revan datang dengan kondisi babak belur langsung berjalan menghampiri. Dia pura-pura khawatir dan menanyakan apa yang sudah terjadi. "Astaghfirullah. Kamu kenapa, Mas? Ini kenapa kamu babak belur begini?" Ayra mencoba memegang luka di pipi kanan suaminya. Revan sontak meringis merasakan nyeri. "Jangan pegang-pegang! Ini sakit." Revan membentak Ayra. "Maaf, Mas." Ayra menurunkan tangannya dan tetap menatap Revan. "Siapa yang sudah membuatmu begini?" Ayra tetap melanjutkan kepura-puraannya. "Aku berantem sama temenku tadi. Biasalah, masalah laki-laki." Revan berbohong lalu duduk di kursi makan. "Beneran? Kamu gak bikin masalah kan, Mas?" "Apa maksudmu? Sudah kubilang aku berantem sama temenku. Banyak tanya!" Revan sensi dengan pertanyaan Ayra. Jelas dia merasa pertanyaan itu menyindirnya. Tapi dia sadar Ayra tidak tahu sama sekali soal masalah hari ini. "Maaf, Mas. Ya sudah, aku ambilkan kotak obat dulu." Ayra bergegas mengambil kotak obat di kamarnya. Sebenarnya dia ingin Revan merasakan sakit yang lebih parah karena sakit hatinya tidak sebanding dengan itu. Tapi dia harus tetap berjalan pada rencana yang sudah dia susun. Ayra mengobati Revan dengan telaten. Dia menahan senyum melihat luka-luka itu. Ingin rasanya menyiram luka-luka itu dengan perasan jeruk. Tapi dia hanya bisa menekan keras-keras emosinya dan tetap melanjutkan dramanya. Malam harinya, Ayra lelah dan ingin istirahat cepat. Setelah memastikan kedua anaknya telah tidur, dia masuk ke dalam kamarnya. Di sana, Ayra melihat Revan sudah berbaring di sisi ranjang sambil memainkan ponselnya. Ayra tidak menghiraukannya dan segera menuju sisi lainnya dan berbaring disana. Sebenarnya dia sudah tidak ingin berbagi ranjang dengan Revan, tapi saat ini dia masih tidak punya alasan untuk itu. Tak berapa lama, Ayra sudah mulai terpejam membelakangi Revan. Tiba-tiba terdengar Revan menggeser badannya mendekati Ayra. Mata Ayra langsung terbuka lebar lagi. Jantungnya berdegup kencang memikirkan bagaimana menghindari ini. Revan mulai memeluknya dari belakang. Lalu saat Revan mulai menciuminya, Ayra langsung menepis keras tangan Revan dan cepat bangun dari posisinya. Dia berpura-berpura mual dan memegang perutnya. "Maaf, Mas, perutku tiba-tiba sakit. Aku memang sudah merasa masuk angin dari tadi. Aku ke kamar mandi dulu Mas, mau muntah." Ayra bergegas pergi dan mengunci diri di kamar mandi. Tiba-tiba dia sungguhan muntah karena terlalu jijik mengingat Revan juga sudah melakukan itu dengan wanita lain.Abrar tersenyum tipis menatap layar tablet yang menampilkan berita skandal Revan dan Randa. Dia tidak pernah tertarik dengan berita receh seperti ini sebelumnya. Tetapi kali ini berbeda. Pikirannya teringat pada Ayra. Sudah beberapa hari ini dia tidak bisa melihat perempuan itu karena kesibukannya dengan urusan bisnis di luar kota. "Ayra. Apa dia baik-baik aja?" Abrar bertanya pada Willi, assistennya, yang sedang fokus menyetir di depannya. "Bu Ayra ada di kediaman orang tuanya. Dia tidak keluar sejak kemarin siang setelah datang ke sekolah anak-anaknya. Sepertinya ada masalah pak." Willi menjelaskan sambil sesekali melirik ke kaca spion tengah memperhatikan raut wajah bosnya."Masalah?""Kemarin Bu Ayra ingin bertemu dengan anak-anaknya. Tetapi ditolak oleh mereka sendiri. Alasannya tidak begitu jelas pak."Abrar mengangguk-angguk perlahan. Tatapannya tetap tertuju pada layar tablet di pangkuannya. "Kamu sudah selidiki berita ini darimana sumbernya?" Abrar bertanya lagi. "Sudah
Ayra baru keluar kamar saat pagi harinya. Dia menuruni anak tangga dan menuju ke ruang makan. Disana sudah lengkap Pak Surya, Bu Yasmin dan Diego yang sedang menikmati sarapan dalam keheningan. Melihat Ayra muncul, Bu Yasmin langsung berdiri dan berjalan tergesa mendekati putrinya. "Ayra. Kamu sudah bangun? Ayo, sini duduk dulu." Bu Yasmin menuntun tangan Ayra. Dia merasakan respon Ayra yang begitu lemah. "Makan dulu ya. Dari kemarin kamu nggak makan, nggak keluar kamar. Bentar, mama ambilin." "Apa kubilang. Dia pasti keluar kalau laper." Diego melirik ke arah Ayra. Bu Yasmin mencubit lengan Diego. "Kamu ini. Udah, biarin mbakmu makan dulu." dia mengomel lalu menyendok nasi untuk Ayra. Ayra tetap diam tak bereaksi apapun. Raut wajahnya pucat dan lemah. Tatapannya kosong. Matanya juga sedikit bengkak, mungkin efek menangis semalaman. Melihat itu, Pak Surya sangat khawatir dengan keadaan putrinya. Tapi dia menahan diri untuk bertanya. Menunggu keadaan Ayra sedikit membai
Arzha dan Zetha terus menangis dengan saling berpelukan. Terlihat raut wajah mereka yang ketakutan, bingung dan putus asa. Ayra melihat pemandangan itu dengan nanar. Tak punya cara lagi untuk membujuk mereka. Jangan tanya bagaimana keadaan hatinya saat ini. Remuk. Sampai akhirnya Mbak Fujia datang untuk menjemput mereka. Masuk dalam kerumunan dengan tergesa-gesa dan langsung mendekati Arzha dan Zetha. Dia memeluk kedua bocah itu menenangkan. Berfikir mereka menangis karena dirinya terlambat menjemput.Tangan Ayra mengepal kuat melihat itu. Harusnya dia yang melakukan itu. Harusnya dia yang meredakan tangis kedua anaknya. Tapi kali ini justru dialah penyebabnya. Air mata Ayra semakin deras tidak dapat berhenti. Mbak Fujia menoleh dan menyadari keberadaan Ayra yang tak jauh dari posisinya. Dia terkejut dan bingung dengan apa yang terjadi. Tapi melihat kondisi mereka bertiga, sepertinya ini sangat rumit. Lagipula sekarang dia sedang kesusahan menghentikan tangis Zetha. Akhirnya tidak
Selesai makan siang, Ayra dan Diego meminta bill untuk membayar. Seorang pelayan segera mendekat dan membungkuk hormat."Makanan bapak dan ibu sudah dibayar. Terima kasih atas kunjungannya." pelayan tersebut menjelaskan dengan sangat sopan. Ayra dan Diego saling berpandangan tak mengerti."Sudah dibayar? Tapi kami belum bayar." Ayra mengerutkan kening meminta penjelasan kepada pelayan tersebut. "Maaf bu, ini permintaan dari atasan kami. Kami hanya menjalankan perintah." pelayan tersebut lagi-lagi membungkukkan badan.Ayra menoleh ke Diego sekali lagi. Diego hanya membalas dengan mengangkat bahu karena tidak paham juga."Ya sudah, sampaikan terima kasih kami kepada atasan kalian." Diego langsung berdiri setelah mengucapkan itu. "Ayok." dia menatap Ayra dan mengisyaratkan untuk segera pergi.Mereka berdua berjalan ke arah tempat parkir. Tidak ada yang saling bicara karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin dikeluarkan tapi bingung mulai darimana.
"Aku boleh minta video itu?" Ayra menatap Diego penuh harap. "Oke. Aku kirimkan ke kamu sekarang." Diego mengotak-atik ponselnya sebentar. "Sudah."Ayra tersenyum. "Makasih. Tapi aku masih belum beli hape baru.""Beli sekarang. Diego, antar mbakmu pergi beli hape yang dia mau. Ma, kasihkan kartu atm papa ke Ayra."Ayra memeluk papanya. Dia terharu mendapat perlakuan yang sudah lama tidak didapatkannya. "Makasih pa. Maaf, Ayra ngerepotin papa lagi.""Nggak ada yang repot. Kamu tetap putri papa. Mulai sekarang, kamu balik menjadi tanggung jawab papa. Ini sudah kewajiban papa karena suamimu itu nggak becus." Pak Surya membalas pelukan Ayra. Ada nada kesal dalam kalimatnya. Tidak terima putri yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang, malah disia-siakan begitu saja."Pa, satu lagi. Boleh nggak aku jual rumah itu? Aku sudah nggak nyaman tinggal disitu. Setiap masuk ke kamarku sendiri, aku ingat mas Revan dan selingkuhannya pernah melakukan 'itu' disitu." Ayra menatap papanya mengutaraka
Ayra bangun lebih siang. Setelah subuh, dia tidur lagi. Dia tidak lagi punya kewajiban untuk memasak dan mengurus rumah seperti biasa. Ayra bebas bermalas-malasan.Semalam, setelah makan penuh kecanggungan bersama Abrar, dia lanjut berjalan-jalan lalu mengendarai mobilnya berkeliling tanpa tujuan hingga ke perbatasan kota. Hampir tengah malam Ayra baru pulang. Sesampainya di rumah, dia mandi dan langsung tidur di kamar Arzha.Hari ini dia sudah terlanjur janji pada kedua orang tuanya untuk datang. Jadi setelah minum teh, dia langsung bersiap. Tidak ada sarapan karena dirinya sungguh malas melakukan apapun. Baru saja menutup gerbang rumahnya dan akan memasuki mobil, Ayra melihat Mbak Fujia mendekat mengendarai motornya."Kamu mau pergi?" Mbak Fujia bertanya setelah mematikan motornya dan berjalan ke arah Ayra. "Iya mbak. Ada apa?""Mbak cuma mau ngasih ini." Mbak Fujia menyerahkan sebuah bungkusan plastik hitam. "Semalam mbak yang beresin itu dan Mas Fatih nyuruh mbak untuk kasih ke