Ayra menuju mobilnya dan duduk sejenak untuk mengatur nafas. Dia mengambil botol air mineral dan meneguk isinya sampai habis. Lalu menoleh ke kursi belakang. Dua anaknya, Arzha dan Arzetha, masih asik dengan mainannya. Putri bungsunya melihat ke arahnya dan beringsut untuk memeluknya.
"Mami dari mana? Mami kerja?" Bibir mungil itu mengoceh sambil menarik-narik baju daster Ayra. "Enggak, Sayang, Mami dari rumah teman Mami. Adek sama Kakak tunggu di sini ya, Mami belum selesai urusannya." Ayra membalas pelukan putrinya dengan lembut. Melihat satu persatu wajah kedua anaknya. Memberikan lebih banyak kekuatan untuk tubuhnya. "Oke. Tapi jangan lama-lama ya, Mami. Adek sama Kakak lagi liat Youtube." Zetha kembali ke posisinya, duduk di sebelah kakaknya. "Iya, gak lama kok. Bentar lagi kita belanja ya." "Horeee." Ayra menarik napas panjang. Dia berpikir bagaimana caranya menggerebek suami dan selingkuhannya. Ayra tidak mau diam saja, dia harus membalas perbuatan mereka. Lalu tidak sengaja matanya melihat warga di seberang lapangan bulu tangkis ini. Tampak bapak-bapak dan ibu-ibu yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang sedang berkumpul disana. Sepertinya mereka sedang mengobrol santai sambil menonton pembangunan sebuah fasilitas umum. Ayra turun dari mobil setelah berpesan lagi kepada kedua anaknya untuk menunggu. Dia setengah berlari menghampiri ke arah kumpulan warga tersebut. Sesampainya disana, Ayra menyapa dengan memelas untuk menarik simpati. "Permisi, assalamu'alaikum, Bapak Ibu." "Wa'alaikumsalam." Para warga yang mendengar salam itu kompak menjawab. "Maaf Bapak Ibu, saya mau minta tolong." Ayra berkata lirih sambil mulai mencoba menangis dan pura-pura menghapus air matanya dengan jilbab cokelat yang dikenakannya. "Kenapa, Mbak? Mbak ini siapa?" tanya salah satu bapak-bapak yang maju mendekat ke arah Ayra. "Saya datang kesini mengikuti suami saya. Ternyata dia kesini sedang ke rumah selingkuhannya. Saya ingin mendatanginya, tapi saya takut, Pak. Suami saya orang yang keras dan suka main tangan. Tolong, Pak, mereka sekarang sedang berdua di rumah itu." Ayra memelas sambil terus mencoba mengeluarkan air matanya. "Ini foto suami saya, Pak." Ayra menunjukkan foto dirinya yang sedang berdua dengan Revan di layar ponselnya untuk meyakinkan. Dia memang sakit hati mengetahui perselingkuhan Revan hari ini. Tapi entah mengapa air matanya sama sekali tidak bisa keluar. Hatinya seakan-akan langsung mati. Cinta yang selama ini masih dia pertahankan ada untuk Revan, tiba-tiba padam. "Loh yang mana rumah selingkuhannya, Mbak?" seorang ibu bertanya setelah melihat foto yang ditunjukkan oleh Ayra. "Rumahnya nomor L20 yang warna biru muda, Bu." "Loh, itu kan rumah Pak Gunawan. Apa yang dimaksud jadi selingkuhan suami Mbak ini anaknya Pak Gunawan? Randa?" Randa. Ayra ingat nama kontak yang dia lihat mengirim pesan ke suaminya tadi itu RD. Mungkin benar itu inisial Randa yang dimaksud. Randa. Ayra ingat sekali lagi mantan kekasih suaminya yang dulu pernah mengirim pesan ancaman di aplikasi biru kepadanya adalah Randa. Iya, wanita itu pernah mengancam dan mengatai dirinya habis-habisan beberapa hari setelah acara akad nikah dirinya dengan Revan digelar. Pantas saja tadi Ayra mendengar wanita itu menyebut 7 tahun berhubungan dengan Revan. Semuanya jelas sekarang. Selingkuhan Revan adalah Randa, mantan kekasihnya. "Saya tidak tahu siapa nama selingkuhan suami saya, Pak. Tapi suami saya ada di rumah itu sekarang. Tolong bantu saya, Pak." Ayra pura-pura tidak tahu dan terus mencoba terlihat menyedihkan. "Ayok Pak RT kita gerebek saja sekarang. Kasian mbak ini. Randa itu warga sini, malu-maluin aja. Apalagi mereka maksiatnya di lingkungan ini." Salah seorang ibu-ibu langsung maju berbicara dengan lantang. "Iya iya benar, ayo gerebek mereka! Randa itu kan janda, jadi kalau menerima tamu laki-laki saat gak ada orang tuanya jelas gak baik." Warga lain membenarkan. Ayra berhasil menyulut kegeraman warga. "Yasudah ayok kita kesana, Mbak. Kita lihat langsung mereka dan kalau memang benar sedang bermaksiat langsung kita tindak lanjuti." Bapak yang dipanggil RT tadi langsung bergegas berjalan mendahului di depan untuk memimpin warga. "Terima kasih, Pak. Tapi saya harus kembali ke mobil. Kedua anak saya sudah menunggu dari tadi. Saya harus menemani mereka." Ayra harus cepat pergi agar Revan tidak tau ini semua idenya. "Oh baiklah, Mbak boleh pergi, biar ini nanti kami yang urus, kami proses, karena bagaimanapun ini terjadi di lingkungan kami." Pak RT menjelaskan. "Baik, Pak terima kasih atas bantuannya. Saya serahkan semua sama Bapak. Saya pamit dulu, assalamu'alaikum." Ayra pun pamit dan segera berjalan cepat menuju mobilnya. Sesampainya di dalam mobil, Ayra memejamkan mata dan mulai mengatur nafasnya. Setelah merasa lebih baik, dia berusaha tersenyum ceria dan menoleh ke arah kedua anaknya. "Mami sudah selesai. Ayok kita belanja." Ayra berseru dengan semangat menghibur kedua anaknya. Padahal saat ini dirinya sendiri yang paling membutuhkan itu. "Yeeeeaay. Adek mau beli es krim sama mainan ya, Mi. Boleh?" Zetha meloncat-loncat kegirangan di kursi belakang mendengar ajakan ibunya. "Boleh banget, Sayang. Kalau kakak mau beli apa?" Ayra berganti menatap putra sulungnya. "Gak tau. Nanti kakak pilih di sana aja." "Oke. Kita berangkat sekarang." Ayra melajukan mobilnya dengan semangat. Tidak melunturkan senyum semangat di depan kedua anaknya. Semua sakit ini hanya boleh dia yang tau. --- Para warga bergegas ke rumah Pak Gunawan untuk memastikan benar tidaknya terjadi perselingkuhan dan maksiat di rumah tersebut. Bahkan jumlah warga bertambah banyak karena diajak oleh yang lain. Sesampainya di depan rumah Pak Gunawan, mereka melihat pintu rumah yang dibiarkan setengah terbuka. Pak RT menginstruksikan untuk tidak berisik dan masuk dengan perlahan. Beberapa warga bahkan sudah bersiap dengan kamera ponsel di tangan mereka. Mereka tidak mau melewatkan kejadian ini begitu saja. Pak Gunawan adalah wakil ketua dewan Kota Lumia, dan Randa adalah putri satu-satunya. Jelas ini akan menjadi sebuah berita besar. Warga melangkah dengan sangat hati-hati. Tepat di depan pintu mereka tetap tidak mendengar apapun. Pak RT pun masuk dan mengucap salam dengan pelan. Melihat sepasang gelas, tas selempang, dan bungkus rokok di atas meja, semakin menguatkan dugaan sedang ada tamu saat ini. Semakin berjalan masuk akhirnya mereka mendengar desahan yang bersahutan dari dalam kamar pertama yang mereka dekati. Suara yang sangat menjijikkan dan membuat seorang warga yang tidak sabar langsung maju dan mendorong pintu dengan kasar. BRAK! “Astaghfirullah!” Sepasang badan polos terlihat sedang dalam adegan tak senonoh di atas ranjang. Mereka kaget dan langsung menoleh ke arah pintu. Begitu menyadari keadaan, mereka langsung blingsatan mencari kain untuk menutupi tubuh polos mereka. "Dasar janda gatel." "Janda murahan." "Pasangan mesum." "Laki-laki gak tau diri." Serangan kata-kata tajam terdengar sahut-sahutan ditujukan untuk Revan dan Randa. Para warga bergerak maju untuk menumpahkan emosi mereka. Mereka menggebuki pasangan tak bermoral tersebut beramai-ramai. Pak RT berusaha keras memisahkan warga dari Revan dan Randa. Dia mengingatkan dengan keras untuk tidak membuat masalah baru. Warga yang sudah meluapkan emosinya pun perlahan mundur. Randa menangis ketakutan di pojokan sedangkan Revan meremas kain yang menutupi sebagian tubuhnya. Keadaan mereka sangat kacau. Sebagian badannya juga terlihat babak belur akibat amukan warga. Umpatan. Makian. Dan kata-kata pedas tetap terdengar. Beberapa kamera ponsel bahkan masih aktif merekam mengabadikan kejadian ini. Pak RT keluar dari ruangan dan langsung menghubungi Pak Gunawan selaku orang tua Randa.Abrar tersenyum tipis menatap layar tablet yang menampilkan berita skandal Revan dan Randa. Dia tidak pernah tertarik dengan berita receh seperti ini sebelumnya. Tetapi kali ini berbeda. Pikirannya teringat pada Ayra. Sudah beberapa hari ini dia tidak bisa melihat perempuan itu karena kesibukannya dengan urusan bisnis di luar kota. "Ayra. Apa dia baik-baik aja?" Abrar bertanya pada Willi, assistennya, yang sedang fokus menyetir di depannya. "Bu Ayra ada di kediaman orang tuanya. Dia tidak keluar sejak kemarin siang setelah datang ke sekolah anak-anaknya. Sepertinya ada masalah pak." Willi menjelaskan sambil sesekali melirik ke kaca spion tengah memperhatikan raut wajah bosnya."Masalah?""Kemarin Bu Ayra ingin bertemu dengan anak-anaknya. Tetapi ditolak oleh mereka sendiri. Alasannya tidak begitu jelas pak."Abrar mengangguk-angguk perlahan. Tatapannya tetap tertuju pada layar tablet di pangkuannya. "Kamu sudah selidiki berita ini darimana sumbernya?" Abrar bertanya lagi. "Sudah
Ayra baru keluar kamar saat pagi harinya. Dia menuruni anak tangga dan menuju ke ruang makan. Disana sudah lengkap Pak Surya, Bu Yasmin dan Diego yang sedang menikmati sarapan dalam keheningan. Melihat Ayra muncul, Bu Yasmin langsung berdiri dan berjalan tergesa mendekati putrinya. "Ayra. Kamu sudah bangun? Ayo, sini duduk dulu." Bu Yasmin menuntun tangan Ayra. Dia merasakan respon Ayra yang begitu lemah. "Makan dulu ya. Dari kemarin kamu nggak makan, nggak keluar kamar. Bentar, mama ambilin." "Apa kubilang. Dia pasti keluar kalau laper." Diego melirik ke arah Ayra. Bu Yasmin mencubit lengan Diego. "Kamu ini. Udah, biarin mbakmu makan dulu." dia mengomel lalu menyendok nasi untuk Ayra. Ayra tetap diam tak bereaksi apapun. Raut wajahnya pucat dan lemah. Tatapannya kosong. Matanya juga sedikit bengkak, mungkin efek menangis semalaman. Melihat itu, Pak Surya sangat khawatir dengan keadaan putrinya. Tapi dia menahan diri untuk bertanya. Menunggu keadaan Ayra sedikit membai
Arzha dan Zetha terus menangis dengan saling berpelukan. Terlihat raut wajah mereka yang ketakutan, bingung dan putus asa. Ayra melihat pemandangan itu dengan nanar. Tak punya cara lagi untuk membujuk mereka. Jangan tanya bagaimana keadaan hatinya saat ini. Remuk. Sampai akhirnya Mbak Fujia datang untuk menjemput mereka. Masuk dalam kerumunan dengan tergesa-gesa dan langsung mendekati Arzha dan Zetha. Dia memeluk kedua bocah itu menenangkan. Berfikir mereka menangis karena dirinya terlambat menjemput.Tangan Ayra mengepal kuat melihat itu. Harusnya dia yang melakukan itu. Harusnya dia yang meredakan tangis kedua anaknya. Tapi kali ini justru dialah penyebabnya. Air mata Ayra semakin deras tidak dapat berhenti. Mbak Fujia menoleh dan menyadari keberadaan Ayra yang tak jauh dari posisinya. Dia terkejut dan bingung dengan apa yang terjadi. Tapi melihat kondisi mereka bertiga, sepertinya ini sangat rumit. Lagipula sekarang dia sedang kesusahan menghentikan tangis Zetha. Akhirnya tidak
Selesai makan siang, Ayra dan Diego meminta bill untuk membayar. Seorang pelayan segera mendekat dan membungkuk hormat."Makanan bapak dan ibu sudah dibayar. Terima kasih atas kunjungannya." pelayan tersebut menjelaskan dengan sangat sopan. Ayra dan Diego saling berpandangan tak mengerti."Sudah dibayar? Tapi kami belum bayar." Ayra mengerutkan kening meminta penjelasan kepada pelayan tersebut. "Maaf bu, ini permintaan dari atasan kami. Kami hanya menjalankan perintah." pelayan tersebut lagi-lagi membungkukkan badan.Ayra menoleh ke Diego sekali lagi. Diego hanya membalas dengan mengangkat bahu karena tidak paham juga."Ya sudah, sampaikan terima kasih kami kepada atasan kalian." Diego langsung berdiri setelah mengucapkan itu. "Ayok." dia menatap Ayra dan mengisyaratkan untuk segera pergi.Mereka berdua berjalan ke arah tempat parkir. Tidak ada yang saling bicara karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin dikeluarkan tapi bingung mulai darimana.
"Aku boleh minta video itu?" Ayra menatap Diego penuh harap. "Oke. Aku kirimkan ke kamu sekarang." Diego mengotak-atik ponselnya sebentar. "Sudah."Ayra tersenyum. "Makasih. Tapi aku masih belum beli hape baru.""Beli sekarang. Diego, antar mbakmu pergi beli hape yang dia mau. Ma, kasihkan kartu atm papa ke Ayra."Ayra memeluk papanya. Dia terharu mendapat perlakuan yang sudah lama tidak didapatkannya. "Makasih pa. Maaf, Ayra ngerepotin papa lagi.""Nggak ada yang repot. Kamu tetap putri papa. Mulai sekarang, kamu balik menjadi tanggung jawab papa. Ini sudah kewajiban papa karena suamimu itu nggak becus." Pak Surya membalas pelukan Ayra. Ada nada kesal dalam kalimatnya. Tidak terima putri yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang, malah disia-siakan begitu saja."Pa, satu lagi. Boleh nggak aku jual rumah itu? Aku sudah nggak nyaman tinggal disitu. Setiap masuk ke kamarku sendiri, aku ingat mas Revan dan selingkuhannya pernah melakukan 'itu' disitu." Ayra menatap papanya mengutaraka
Ayra bangun lebih siang. Setelah subuh, dia tidur lagi. Dia tidak lagi punya kewajiban untuk memasak dan mengurus rumah seperti biasa. Ayra bebas bermalas-malasan.Semalam, setelah makan penuh kecanggungan bersama Abrar, dia lanjut berjalan-jalan lalu mengendarai mobilnya berkeliling tanpa tujuan hingga ke perbatasan kota. Hampir tengah malam Ayra baru pulang. Sesampainya di rumah, dia mandi dan langsung tidur di kamar Arzha.Hari ini dia sudah terlanjur janji pada kedua orang tuanya untuk datang. Jadi setelah minum teh, dia langsung bersiap. Tidak ada sarapan karena dirinya sungguh malas melakukan apapun. Baru saja menutup gerbang rumahnya dan akan memasuki mobil, Ayra melihat Mbak Fujia mendekat mengendarai motornya."Kamu mau pergi?" Mbak Fujia bertanya setelah mematikan motornya dan berjalan ke arah Ayra. "Iya mbak. Ada apa?""Mbak cuma mau ngasih ini." Mbak Fujia menyerahkan sebuah bungkusan plastik hitam. "Semalam mbak yang beresin itu dan Mas Fatih nyuruh mbak untuk kasih ke