Share

Bad Actor
Bad Actor
Penulis: Freya Ito

Part 1 - Meet You Again

“Maaf Na, maaf banget untuk saat ini kita gak bisa lanjutin ini semua. Kamu tahu kan posisi aku benar-benar serba salah?” Ucap Dion, yang siang bolong mengajakku ketemuan di taman komplek rumah.

Aku berusaha tenang, meskipun nafasku sudah kembang kempis berusaha kalau aku tidak akan meledak.

Tapi sayangnya aku meledak juga ketika mengingat selain perasaanku yang hancur karena tunanganku menghamili perempuan lain, belum lagi terfikir berapa kerugian yang sudah dia buat hanya karena kelakuan brengseknya.

Plak! Plak! Plak! Sudah tidak terhitung berapa tamparan mendarat di wajahnya, tak peduli dia meringis kesakitan pasrah menerima tamparan-tamparan dariku. Seminggu yang lalu dia hilang tanpa kabar, tanpa pesan. Berbeda dengan biasanya yang selalu menunjukan perhatian yang kadang aku merasa too much.

“Aku janji Na, kalau urusan aku sama Sally, aku bakal balik sama kamu.”

What? Dia fikir dia Song Jongki? Sehingga aku dengan bodohnya mau menerima dia Kembali setelah melakukan dosa. Setelah dia bolak-balik tidur dengan Sally hingga bunting.

“Aku cintanya sama kamu Karina.” Lanjutnya, namun aku semakin jijik.

Aku lepas cincin pertunangannya, aku lempar kearah sembarang. Aku tak mau menjawab apapun darinya. Dan aku berlari ke rumah. Menangisi kebodohan dan kesialan ku. Bisa-bisanya dia menghamili Sally, adek tingkatku dan Dion pada masa kuliah dulu. Harusnya tiga bulan lagi adalah hari kebahagiaan kita. Namun dia melakukan hal menjijikkan selama ini. Beruntungnya undangan belum disebar meskipun sudah ada beberapa persiapan pernikahan.

***

Minggu depan adalah pernikahan Raline, sahabatku sedari SMP. Dan sebulan setelah pernikahan Raline harusnya adalah pernikahanku. Awalnya betapa bahagianya begitu tahu aku dan Raline akan menikah diwaktu berdekatan. Sudah membayangkan double date, jalan bareng, punya anak dengan usia tidak jauh beda. Namun ekspetasi manusia memang tidak selamanya bisa berjalan mulus.

Karena Raline sudah mudik ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pernikahannya, aku putuskan keluar rumah bermain ke rumahnya. Selain karena lama tidak bertemu, ini juga pertama kalinya aku keluar gua mengurung diri di kamar setelah kejadian bersama Dion. Mungkin saja dengan bertemu Raline membuatku sedikit terhibur.

“Eh Karina, apa kabar? Udah lama banget ya gak ketemu.” Seperti biasa, mama Raline selalu menyambutku dengan penuh kehangatan, masih sama dengan betahun-tahun lalu saat aku masih sering main kesini.

Aku yakin mama Karina seratus persen tahu masalahku, namun dia memilih tidak bertanya, tidak membahasnya dan lebih memilih untuk memelukku.

“Semangat ya nduk…” Jujur aku lebih suka diberi support untuk semangat, dari pada disuruh sabar. Karena terasa menyedihkan jika disuruh sabar, terkesan aku sedang menderita.

“Tante sehat?” tanyaku.

“Alhamdulillah sehat. Oh ya cari Raline ya? Ada di kamar. Naik aja ke atas sendiri ya. Tante buru-buru nih ada keperluan di luar. Udah ditungguin papanya Raline nih, tadi ketemu kan di depan?”

“Iya tante tadi liat om lagi manasin mobil, saya masuk ke atas ya.” Pamitku.

Ternyata rumah Raline sudah direnovasi, lebih megah, atapnya lebih tinggi, membuat ruangannya tampak lebih luas. Sudah banyak perubahan semenjak kami berpisah di kota tempat kami kuliah dan merantau. Namun beruntungnya komunikasi masih tetap berjalan dan sesekali menyempatkan diri meet up saat sama-sama berada di Jogja.

“Lin!” Aku memanggil Raline yang sedang sibuk di kamar mandi dalam kamarnya, namun tidak ada respon. Aku putuskan berbaring di kasurnya yang nuansa monochrome, seleranya belum pernah berubah dari zaman sekolah. Aku lepaskan ikatan rambutku yang bermodel kuncir kuda karena terasa terasa terlalu kencang. Kemudian membuka gawai dan membaca komentar-komentar di platform menulis tempat aku meraih pundi-pundi rupiah.

Ku dengar pintu kamar mandi terbuka, tanda sahabat sejak SMP ku ini sudah selesai mandi. Namun yang keluar bukannya Raline. Tapi Bryan, Kakak Raline. Dia tidak menyapa, hanya menatapku dingin. Badannya masih basah sehabis mandi, hanya berbalut handuk terlilit asal dipinggangnya, memperlihatkan dadanya yang bidang dan otot perutnya yang kotak-kotak.

“Eh Mas. Ada Raline tidak?” Sebenarnya ini adalah moment akward, aku yang tadinya baringan santai langsung buru-buru duduk. Meskipun sudah sejak lama mengenal Mas Bryan, tapi diantara semua keluarga Raline dialah yang paling jarang berbicara denganku. Pria turunan Jawa Jerman ini lebih memilih merantau dan menekuni dunia akting serta modelling sejak muda di ibu kota. Meskipun masa kejayaannya sudah lewat, tapi tetap saja kolom I*******m dia penuh dengan para ibu-ibu muda dan Wanita single umur 20-an, bagaikan asrama putri.

“Kamarnya disana.” Ucapnya

“Oh ya udah. Sorry mas, aku fikir kamar Raline disini. Terakhir aku kesini disini kamarnya.” Aku terburu-buru pergi.

Aku mengutuki diriku. Harusnya aku curiga kamar Raline tidak mungkin serapi itu. Meskipun ada asisten rumah tangga, dia bukan tipikal yang tertata dalam meletakkan barang-barangnya. Mana aku tahu letak kamar Raline  pindah, dan kamarnya yang dulu kini ditempati kakaknya pasca renovasi.

***

“Kok lama banget! Setengah jam lalu kamu wa katanya udah deket sini?” Aku hanya tersenyum, aku malu untuk menceritakan kalau aku malah berlama-lama di kamar kakaknya.

“Mas Bryan kok ada di rumah Lin?” Tanyaku pada Raline yang sibuk memotong kuku jempol kakinya.

“Ya Namanya juga aktor udah gak laku banget, udah jarang main film. Paling mentok dia dapat tawaran modelling aja. Udah tua juga sih.” Aku hanya tertawa mendengar Raline menjawab sembarangan.

“Dia gak sedih gitu kamu langkakhi nikah?”

“Gak tau ya. Biasa wae sih. Malah asik jalan-jalan terus akhir-akhir ini, kayak gak ada keinginan nikah. Sampe mamaku pusing khawatir sama kakakku.”

Mendengar jawaban Raline membuatku berfikir jangan-jangan benar lagi bisik-bisik di luar sana kalau kakaknya tidak suka perempuan. Tapi aku tidak berani tanya lebih jauh tentang Mas Bryan masalah ini, karena ini adalah sensitif.

“Tenang aja, dia gak gay. Dulu pernah sih dia patah hati, makanya hobi dia malah kelayapan gak jelas dan kebawa sampai sekarang.” Seolah tau jalan pikiranku, dia memberi klarifikasi tanpa aku minta.

“Persiapan nikah udah semua?”tanyaku mengalihkan.

“Udah, tinggal souvenirnya aja sih yang belum jadi. Kain yang aku kasih udah dijahit kan?”

“Udah, tapi abis ini mau cari sepatu paling. Di Ambarukmo Plaza.”

“Bagus-bagus. Di pernikahan ku ini kamu harus paripurna. Siapa tau nanti tamu undangan ada yang rupawan dan tajir terpesona dengan kecantikan anda.” Inilah yang aku suka dari Raline, meski kemarin aku sudah cerita Panjang lebar lewat telepon, tapi saat masalah itu lewat dia memilih tidak membahasnya. Karena dia tahu hal semacam itu hanya membuatku sedih.

“Tamu undangan gak nyampe 100 juga siapa yang mau terpesona woy! Isinya juga pakdhe budhemu tok.” Raline memang menikah di masa pandemi, jadi membatasi tamu undangan hanya orang terdekat.

“Ya siapa tau ya.”

Kami mengobrol lama kesana kemari setelah lama tak bertemu. Kami memang berniat menyisakan satu hari ini untuk menghabiskan waktu bersama meskipun sekedar ngobrol di kamar Raline, karena jika sudah menikah  mungkin akan semakin sulit bertemu dengannya. Raline mengajakku makan siang gudeg buatan Mamanya. Rasanya masih sama saat kami masih ingusan sejak zaman SMP, sama-sama enak.

“Kenapa gak nginep sekalian aja sih?” Sepertinya Raline masih keberatan kami berpisah meskipun sudah dari pagi sampai malam kita sudah menghabiskan waktu bersama. Bahkan seperti zaman dulu, aku selalu numpang mandi dan touch up muka jika seharian main di rumah Raline.

“Iya nih. Jadi inget dulu kalian suka nginep bareng gitu. Udah nginep aja.” Tambah Mama Raline saat kami sudah pada berdiri di ruang tamu karena akan berpisah.

“Aku mampir ke Amplas dulu tante, ada yang mau dibeli. Ini mau pesan ojek online.”

“Eh gak usah naik ojek, itu nebeng Bryan aja. Dia mau keluar juga, mending sekalian keluar bareng.” Ucap mama Raline saat melihat Bryan yang baru turun tangga, sudah memakai kaos dengan celana jeans dan memegang masker di tangannya.

“Duh gak usah tante, takut Mas Bryan mau ke tempat penting. Merepotkan nanti jadinya.” Tolakku halus.

“Gak apa-apa santai aja, kayak ke siapa aja sih. Bryan! Pokoknya anter dia ya. Lewatin depan Amplas pokoknya.”

Dengan wajah terpaksa Mas Bryan mengajakku menuju garasi mobil. Aku mengikutinya dari belakang. Dibalik badannya yang tinggi, kokoh, bahunya yang lebar. Pantas saja dia beberapa kali jadi brand ambassador fashion branded macam LV Indonesia,  badannya memang cocok dipakaikan baju apapun meskipun kaos hitam polos yang dia pakai sekarang. Kebersamaan kami cukup hening, ditambah kejadian tak terduga tadi siang.

Saat membuka pintu mobil tiba-tiba ponselku berdering, ternyata ada panggilang masuk dari nomor baru. Langsung saja aku angkat sembari duduk di jok depan dan menutup pintu mobil.

“Hai, ini Karina kan?” Ucap suara di sebrang sana to the point.

“Iya, maaf dengan siapa ya?”

“Ini Juno.”

Tanpa kontrol aku tersenyum mengembang, gimanapun dia pernah mewarnai masa-masa kuliahku. Saat itu aku aktif di club sastra kampus dan itu membuatku sering-sering berdiam di basecamp club sastra yang bersebelahan dengan basecamp basket kampus. Disanalah aku bertemu Juno si anak basket yang popular di masanya. Lelaki asli Jakarta ini baik hati, mudah akrab,  dan selalu menghidupkan suasana. Mungkin sifat-sifat bawaannya itulah yang membuat banyak kaum hawa dibuat baper.

“Juno? Apa kabar? Tumben telepon.”

“Baik, oh ya kamu di Jogja gak Rin?”

“Iya, aku udah gak kerja lagi di Jakarta sejak beberapa bulan pandemi, jadi aku balik aja ke rumah orang tua.”

“Wah kebetulan banget aku minggu depan ke Jogja. Kalau ada waktu meet up atau jalan bareng bisa ya?”

“Boleh, nanti kabarin aja kalau mau janan atau meet up.” Aku tersenyum lebar, siapa tahu bertemu teman lama bisa menjadi obat hal yang menyedihkan.

Yang tadinya Mas Bryan sudah memegang setir dan siap mengemudi, tapi malah melepas seat-beltnya dan mendekat ke arahku. Malah semakin dekat. Dekat sekali, wajah kami cukup dekat sekali, matanya yang tajam dan tatapannya yang datar. Bisa-bisa hidungku berbenturan kalau bergerak sedikit.

Mati aku, aku harus apa. Mau ngapain ini orang? Rasanya tubuhku membeku. Apa aku harus teriak?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status