Share

Part 2 - Pacar?

Saat membuka pintu mobil tiba-tiba ponselku berdering, ternyata ada panggilang masuk dari nomor baru. Langsung saja aku angkat sembari duduk di jok depan dan menutup pintu mobil.

“Hai,Karina?” Ucap suara di sebrang sana to the point.

“Iya, maaf dengan siapa ya?”

“Ini Juno.”

Juno? Apa gak salah dia menghubungiku? Tanpa kontrol aku tersenyum mengembang, gimanapun dia pernah mewarnai masa-masa kuliahku selama aku bergabung di club tennis di kampus.

“Juno? Apa kabar? Tumben telepon.”

“Baik, oh ya kamu di Jogja gak Ra?”

“Iya, aku udah resign dari kerjaan kantor aku di Jakarta, jadi aku balik aja ke rumah orang tua.”

“Wah kebetulan banget aku minggu depan ke Jogja. Kalau ada waktu meet up atau jalan bareng bisa ya?”

“Boleh, nanti kabarin aja kalau mau jalan bareng atau meet up.” Aku tersenyum lebar, tapi berusaha setenang mungkin tidak mengeluarkan suara girang di depan Juno. Gengsi kan ya.

Yang tadinya Mas Bryan sudah memegang setir dan siap mengemudi, tapi malah melepas seat-beltnya dan mendekat ke arahku. Malah semakin dekat. Dekat sekali, wajah kami cukup dekat sekali. Matanya yang tajam dan tatapannya yang datar benar-benar bisa aku lihat. Bahkan hembusan nafas dari hidungnya mulai terasa di depan wajahku. Bisa-bisa hidungku dan hidungnya akan berbenturan kalau bergerak sedikit.

Mati aku, aku harus apa. Mau ngapain ini orang? Rasanya tubuhku membeku. Apa aku harus teriak?

“Gak denger apa peringatan kalau pintu belum tertutup benar, bunyi terus dari tadi?” Ucapnya membuka pintu mobil disamping kananku, dan menutupnya lebih kencang.

“Oh, iya maaf. Aku ada telepon jadi gak fokus.”

Jawabku kemudian melepas nafas panjang karena merasa lega setelah Mas Bryan menjauh. Bahkan aku malu dengan diriku sendiri yang sudah mikir macam-macam. Duh, dasar otakku! Tapi dia juga sih yang asal mendekat gitu. Harusnya dia cukup ngomog aja kan kalau pintunya belum ketutup bener?

“Hallo? Karina?”

Tiba-tiba jadi teringat kalau disebrang sana ada Juno yang masih telepon, dia memanggil-manggilku mungkin karena dari tadi aku tidak merespon.

“Eh, maaf ya Jun, nanti kita lanjut lagi ya teleponnya. Aku masih di jalan nih…”

Aku fikir lebih baik menghentikan pembicaraan ini.

“Oke, nanti kabarin pokoknya ya punya waktu kapan. Kita harus ketemu pokoknya.”

“Iya… Udah dulu ya. Bye…”

Aku menutup ponsel, menoleh melihat Mas Bryan yang sudah fokus mengendalikan setir.

“Sorry mas, tadi teman lama aku telepon. Malah keasyikan.” Ucapku.

“Gak apa-apa sih. Cuma tadi berisik aja bunyi terus peringatan kalau pintunya belum ditutup dengan benar, tapi karena kamu sibuk teleponan jadi saya benerin sendiri aja.” Jawabnya yang masih saja datar.

Setelah itu kami saling diam, aku lebih memilih melihat ke arah luar jendela mobil.

“Mas, kayaknya macet banget ya? Apa aku naik ojek aja ya?” ucapku saat menyadari jalanan benar-benar macet, bergerak pun hanya sedikit-sedikit karena padatnya kendaraan.

Harusnya aku ingat kalau weekend terutama sabtu sore jalanan selalu padat, terutama jalan menuju Ambarukmo Plaza. Entah anak muda Jogja yang hendak malam mingguan, atau mobil-mobil dari luar kota yang berlalu Lalang.

“Kamu gak menghargai usaha saya buat antar kamu?”

Duh, kenapa jawabannya malah kayak gitu sih? Biasa aja kan bisa.

“Bukan gitu, tapi kalau Mas anter aku yang ada acara mas Bryan malah keganggu kan? Jadi mending aku ke amplas sendiri aja, Mas lanjut ke tempat tujuan Mas. Takutnya Mas ada janji sama teman-teman Mas yang lain.”

“Gak usah, lagi pula mau putar baliknya juga jauh.”

Jelas keputusan yang kurang tepat malam minggu naik mobil ke Amplas. Malah hari mulai gelap mobil baru mendekati mall legend di kota Jogja ini.

“Mas turunin aku di depan sana aja…” aku menunjuk tempat drop point tempat biasa taxi menurunkan penumpang jika hendak ke mall ini.

“…loh kok malah masuk parkir basement ih?” Protesku ternyata Mas Bryan malah memilih belok dan masuk ke parker basement.

“Keburu laper kelamaan di jalan, kita makan dulu aja disini.”

Kita? Artinya dia ngajak makan bareng?

“Lah, aku kan mau cari sepatu.”

“Iya nanti abis makan gantian saya yang temani kamu cari sepatu.”

Sebenarnya aku malas juga kalau jalan sama mas Bryan. Aku jadi teringat zaman masih SMP hingga SMA dulu disaat Mas Bryan pernah ngekorin aku dan Raline kalau lagi jalan ke Mall. Selain bikin acaranya gak seru karena dia memang gak seru plus kita beda generasi jadi kalau ngobrol gak nyambung, yang paling menjengkelkan adalah kalau orang-orang sekitar menyadari ada artis papan atas. Semuanya jadi mengerubunginya. Yang ada aku dan Raline malah jadi tukang foto. Karena fansnya seenaknya minta tolong fotoin.

Tapi itu kejadian pas dia masih muda dan lagi di atas daun banget sih. Sekarang dia gak sesering itu main film. Untungnya sekarang musim covid setidaknya dia bakal pakai masker terus. Aku yakin gak akan ada yang menyadari kehadiran dia.

***

Mas gak apa-apa gitu kita makan disini? Nanti kalau ada yang mikir macem-macem gara-gara mas cuma makan berdua sama aku gimana?” tanyaku saat ku lihat Mar Bryan melepas maskernya.

“Biarin aja, udah gak seterkenal dulu. Lagi pula sepertinya udah banyak orang yang gak kenal saya.” Ucapnya sambil melihat-lihat menu, tanpa menatapku tentunya.

“Ya tapi tetap aja followers mas aja masih jutaan.  Banyak ibu-ibu muda yang masih gila sama mas kali.”

“Udah gak usah khawatir. Kalau lihat setelan kamu kayak gitu gak akan ada yang mikir kalau kamu pacar saya.”

Mendengar jawabannya aku hanya memutar bola mata dan mengerucutkan bibir. Dia sebenarnya tipikal yang tidak banyak bicara, tapi sekali bicara dia mengeluarkan kalimat yang menyebalkan.

Tapi dipikir-pikir benar juga sih, meskipun dia cuma pakai setelan sesederhana itu tapi dia memakai barang branded. Ditambah tubuhnya yang proposional membuat apa yang dia pakai terlihat makin ber-value.

Sedangkan aku hanya memakai celana jeans dengan atasan oversize produk-produk umum di mall yang kalau apes kadang bisa ketemu orang pakai baju yang sama. Sejenis produk sejuta umat.

“Mau pesan apa? Chiken Katsu Ramen kan?”

Tanyanya, tak lama dia juga memanggil pelayan untuk mencatat pesanan.

“Saya pesan sushi juga, nanti kita makan berdua ya. Kalau makan sendiri gak bakal habis.” Sambung Mas Bryan.

Waduh… harus ya makan satu menu berdua?

“Iya, terserah yang traktir deh.” Ucapku yang nurut saja apa yang dia pesan.

Dasar benar-benar suka seenaknya. Setidaknya dia harus tanya dulu donk apakah aku udah kelar belum milih menunya? Apa beneran aku memilih menu itu? Dulu aku memang suka menu itu, tapi sekarang udah gak lagi.

Yang penting dia gak beripikir aku masih suka dia kan ya? Itu kan udah dulu banget.

***

Selesai memakan ramen, kami memakan bersama satu set sushi yang berisi 6 potong. Kita tidak banyak bicara, karena memang sibuk menikmati makanan masing-masing.

“Abis ini ke toko sepatu ya?”

“Iya, kalau mas mau pulang duluan sih gak apa-apa. Atau kayaknya mas mau main kemana tadi? Ku kira mau keluar rumah karena ada janji sama teman Mas Bryan.”

“Teman aku di Jakarta semua, kalaupun ada teman di Jogja juga udah pada nikah dan punya anak. Udah pada sibuk sama keluarga masing-masing.”

Saat aku asik menyedot lemon tea dan hampir menghabiskan semua yang ada tiba-tiba ada 3 orang mbak-mbak datang menghampiri kami.

“Maaf, Ini mas Bryan Abimana ya?”

Walah, episode jumpa fans dadakan pun dimulai. Gimanapun pas waktu makan kan gak bisa menghindari buka masker. Otomatis mau gak mau bakal terpampang wajah rupawan meskipun sudah berumur. Tapi meskipun udah berumur dia malah tambah maskulin, serasa lebih dewasa, lebih matang, dan lebih hangat. Eh, aku kok jadi muji-muji mas Bryan juga sih?

Setelah sesi foto-foto, salah satu dari mereka mendekat.

“Mbak, siapanya Mas Bryan?”

“Supirnya.” Jawabku asal.

“Wah kirain pacarnya.”

Pacar? Waduh dari mana si mbak menyimpulkan kalau aku adalah pacar superstar sekelas Bryan Abimana?

“Wah bukan mbak.” Jawabku mempertegas.

“Kalau bukan pacarnya apa donk mbak sampai jalan berdua di mall? Saudaranya?”

“Saya supirnya.” Jawabku asal karena si mbak yang terus kepo.

 “Humble banget ya mas Bryan mau sepiring berdua sama supirnya.” Respon si mbak setelah mendengar jawaban ngacoku.

What? Berarti dia percaya donk kalau aku supirnya mas Bryan? Malah memuji betapa humblenya mas Bryan. Kayaknya penampilanku hari ini memang terlalu biasa aja sehingga pantas-pantas aja jadi supirnya mas Bryan.

“Hahaha… dia aja gak bisa nyupir ngaku-ngaku, maaf ya dia memang suka ngaco. Udah dulu ya kita mau pergi belanja dulu ke toko sebelah.” Ucap mas Bryan sambil menarik bajuku seenaknya. Mungkin menghindari kekepoan yang menjadi-jadi tentang keberadaan Wanita kumal (aku) disampingnya ini.

“Hehehe…. Makasih ya mas Bryan.” Jawab mereka sambil melambaikan tangan perpisahan ke sang idola. Mas Bryan membalas melambaikan tangan sembari meninggalkan mereka, satu tangannyua tentu saja masih menggeret bajuku.

“Kamu ngomong apaan sih ke mereka? Ngaku-ngaku supir padahal bisa nyetir juga gak kan?” Meskipun dia memakain masker, aku tahu dibalik masker itu dia sedang antara tersenyum atau ingin tertawa, yang jelas mata tajamnya kini semakin menyipit.

“Dari pada dikira pacar mas mending dikira aku supir mas kan. Hahaha… tapi kesel juga sih mereka percaya begitu saja kalau aku supir mas. Sampai bilang mas Bryan humble sekali mau makan sepiring berdua sama supirnya.”

“Eh jangan salah, supir artis jaman sekarang gaul-gaul stylenya. Udah yuk, katanya mau cari sepatu buat kamu.”

“Eh mas kalau mau pulang lebih baik pulang sekarang aja. Aku cari sepatu sendiri gak apa-apa.” Sekali lagi, aku menyuruh dia pulang. Karena aku merasa gak enak aja kalau lagi belanja malah ditungguin gitu. Kasian yang nungguin.

“Aku temanin kamu aja, aku lagi males diem di rumah. Nangung udah keluar juga.” Dan sekali lagi, dia menolak pulang.

***

“Makasih ya mas udah dianter kesana-sini dan ditebengin. Lumayan lah gak usah bayar grab.” Ucapku Ketika kami nyaris sampai rumahku.

“Sebelum pernikahan Raline, kamu juga menginap di hotel kan? Mau berangkat jam berapa?”

“Rencana berangkat sore dari sini.”

“Naik grab juga?”

“Iya, abis mau naik apalagi. Mas inget gak pas SMA dulu aku pernah bawa mobil dan nabrak pagar orang? Sejak itu aku gak pernah berani nyetir lagi.”

Mungkin bisa dibilang aku ini gampang kapok, aku juga khawatir gara-gara abis batal nikah aku akan kapok menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu yang lama. Gimana kalau aku jadi perawan tua? Tapi asal banyak uang juga nyaman-nyaman aja sih sepertinya. Seperti pria disampingku yang usianya sudah 37 tahun toh adem ayem asal tau caranya bersenang-senang dan menghindari manusia-manusia yang berpotensi julid.

“Ya udah, besok sama saya aja.” Ucapnya dengan pandangan masih ke depan.

“Wah serius?”

“Iya. Saya rencana bawa mobil sendiri kesana.”

“Alhamdulillah deh selain akunya bisa hemat ongkos grab, aku juga jadi gak sendirian amat.”

Kini mobil berhenti tepat di depan rumahku, tiba-tiba mas Bryan mengambil ponsel yang sedari tadi ku genggam.

“Kamu belum nyimpan nomer saya kan? Nanti saya kabarin lagi tepatnya kita berangkat jam berapa.” Ucapnya sambil menelepon nomernya sendiri dari ponselku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status