Share

Bab 6. Di Balik Alasan

Ancaman itu sangat menakutkan bagi Shopia. Dia tidak mau tercekik oleh suasana menakutkan sekolah asrama. Selain itu, jika dia dipindahkan ke sekolah asrama, Shopia akan semakin kesulitan menggapai kasih sayang sosok orang tua satu-satunya yang dimiliki. Sebab, Shopia sudah kehilangan sosok ibu kandung sejak terlahir ke dunia.

“Aku tidak mau, Daddy.” Shopia menggelengkan kepala sembari berlutut memohon. “Aku berjanji tidak akan mengganggu dan menyusahkan siapapun.”

Mulut kejam Elvis sudah bersiap melepaskan ultimatum tegas yang kembali menyayat perasaan Shopia. Beruntungnya situasi itu teralihkan oleh handphone-nya yang berbunyi.

Elvis memalingkan pandangan dari Shopia yang mengiba-iba di kakinya. Dia lebih mementingkan untuk menjawab panggilan telepon masuk dibandingkan perasaan darah dagingnya.

Sosok ayah buruk itu terlihat serius mendengarkan seseorang yang berbicara dari sambungan telepon. Dan tak lama setelahnya, handphone yang menempel di sisi telinga kiri telah Elvis turunkan.

“Bawa Shopia ke kamarnya dan kunci sampai besok pagi.” Elvis memberikan perintah tak terbantahkan kepada pengasuh.

“Daddy mau pergi lagi?” Shopia berusaha menarik perhatian, menatap iba ayahnya.

“Aku tidak akan pulang. Jadi jangan coba-coba untuk mengeluarkan Shopia dari kamarnya sampai besok pagi,” ucap Elvis kepada pengasuh—yang secara nyata mengacuhkan Shopia. Tampak air mata gadis itu tak henti berlinang mendengar kalimat yang terucap di bibir Elvis.

***

Mobil yang Elvis kemudikan sendirian telah tiba di sebuah hunian mewah bergaya klasik. Pria yang mengenakan kemeja putih itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobil.

Di wajah tampannya yang maskulin terlihat jelas ketegangan nyata. Kaki panjang yang tergesa-gesa melangkah semakin tegas mempercepat ritme pergerakannya. Sampai-sampai, Elvis mengacuhkan seorang pelayan yang menyambutnya di hunian mewah—yang merupakan rumah orangtuanya.

Namun, situasi yang didapatkan sungguh jauh berbeda dari ekpesktasi di pikiran Elvis. Pria itu berdiri mematung ketika kaki menginjak di ruang tamu, sementara pikiran telah kebingungan menafsirkan situasi di depan mata.

Elvis datang karena mendapatkan kabar Eva Dalton—ibu kandungnya tidak sadarkan diri. Rasa cemas yang mengencangkan urat-urat saraf di kepala memaksa Elvis untuk segera tiba di hunian mewah itu.

Kedatangannya disambut oleh kebohongan. Eva yang dicemaskan sedang terduduk di sebuah sofa dalam keadaan sadar dan sehat. Peter yang duduk tidak jauh dari Eva pun tak luput dari lirikan mata Elvis. Hingga akhirnya Elvis menyimpulkan dirinya telah dijebak.

“Apa yang ingin kalian bicarakan sampai berniat sekali membohongiku?” Elvis bersuara tenang sembari duduk di salah satu sofa.

“Kau masih bertanya? Masih berpura-pura tidak tahu?” Peter setengah marah.

Ketegangan di wajah Elvis meredup—bersamaan dengan matanya yang samar-samar menyorot kesal. Dia sangat tahu arah pembicaraan ayahnya. Namun, di dalam hati Elvis sangat enggan menanggapi apalagi menggali lebih dalam.

“Kenapa kalian berbohong? Aku sampai tancap gas mendengar Mommy pingsan,” seru Elvis mengabaikan.

“Kalau aku tidak akan mengatakan itu, kau tidak akan datang. Kau selalu saja menghindar jika kami memintamu datang ke sini,” Peter menginterupsi sikap acuh Elvis. “Di mana akalmu? Sampai kau bisa melakukan itu pada Sarah!”

Mata Elvis menusuk dingin Peter yang memerah marah menatapanya. “Memangnya apa yang dikatakan Tuan Putri manja itu? Sampai kau semarah ini padaku?”

“Ibunya Sarah baru saja datang.” Eva mengambil alih pembicaraan. “Dia mengatakan Sarah mengurung diri di kamar setelah kemarin habis bertemu denganmu.”

Pria itu menghela napas. Suaranya sedikit terdengar karena begitu kasar dilepaskan. Pria itu semakin diselimuti rasa kesal setelah diintrogasi oleh orangtuanya. Rasanya, sesak kesal pasca dibohongi belum memudar. Dan sejujurnya juga, Elvis begitu enggan menanggapi pembahasan yang berkaitan dengan Sarah. Sebab, Sarah merupakan wanita yang dijodohkan dengan Elvis. Pun Sarah juga adalah wanita yang kemarin malam Elvis tolak kedatangannya di hotel.

“Ibunya Sarah mengatakan kemarin malam kau dan Sarah memiliki janji bertemu. Lalu dia pulang dengan keadaan menangis. Apa yang kau lakukan sampai Sarah menangis?” lanjut Eva menekan, menginterogasi putranya.

“Dia memaksa ingin bertemu denganku. Tapi aku menolaknya karena ingin tenang beristirahat! Dia memaksa sekretarisku untuk memberi tahu keberadaanku.”

“Lalu kenapa Sarah sampai menangis?” Peter menyambar cepat setelah Elvis membela diri.

“Aku mengusirnya keluar sampai dia terjatuh.” Elvis menjawab tenang, tanpa sama sekali beban.

“Kau gila, Elvis?” bentakan Peter memekik sakit. “Sarah itu calon tunanganmu! Dia juga bukan wanita sembarangan yang bisa kau perlakukan kurang ajar seperti itu!”

“Sejak awal aku sudah menolak perjodohan ini. Aku tidak pernah menganggap dia sebagai apa pun di hidupku.” Elvis menolak tenang, namun suaranya yang mengalun sinis sangat tegas menyatakan rasa tidak suka. “Dan lagi ... kurang ajar? Menurutku dia lebih kurang ajar karena sudah memaksa masuk lalu dengan murahannya ingin melepaskan pakaiannya di depanku. Harusnya dia bisa bersikap baik karena dia bukan wanita sembarangan,” lanjutnya menyindir.

“Elvis!” Peter membentak marah.

“Dad, aku tidak suka dijodoh-jodohkan seperti ini.” Elvis masih dengan keras kepalanya.

“Tapi kau tidak punya pilihan untuk menolak.” Suara tegas Eva menginterupsi ketegangan yang menguasai. “Sudah lima tahun berlalu dan kau masih belum berkeinginan untuk menikah lagi? Dan kau masih bertahan dengan keputusanmu sendirian membesarkan anakmu?”

Elvis mengerang kesal. “Karena keputusan siapa sampai aku mau membesarkan anak itu?”

Keheningan membentang setelah Elvis sangat emosional mengeluarkan isi pikirannya. Bahkan, seluruh ruangan telah terkontaminasi oleh luapan emosi yang berjolak kencang. Elvis sampai tidak lagi merasa nyaman untuk berlama-lama di ruangan itu.

 “Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Aku tidak mau diatur apalagi dipaksa oleh kalian. Selain itu, aku sangat kecewa orang tuaku lebih percaya perkataan orang lain dibandingkan anaknya,” Elvis meluapkan kekesalannya tanpa ragu-ragu. “Jangan sampai kalian membuat kesalahan dua kali yang membuat aku bisa memberontak pada kalian.”

Elvis beranjak pergi setelah meluncurkan ultimatum tegas pada ayahnya. Bahkan, dia tidak menyesal telah bersikap tidak sopan pada orangtuanya. Baginya, perasaan dirinya sendiri adalah yang terpenting.

Demi apa pun, Elvis tidak mau melakukan kesalahan dua kali yang menghancurkan hidupnya. Pria itu pernah melakukan kesalahan ketika menuruti permintaan orangtuanya. Dia mau menikah dengan wanita yang dipilih orangtuanya.

Dalam situasi terdesak dan menyesakkan itu, Elvis menikahi wanita yang tidak dicintai. Seujung rambut, bahkan seujung kuku pun tidak ada senyar cinta tersemat di hati Elvis. Hati pria berparas tampan itu hanya diselimuti kebencian yang nyata sampai wanita itu merenggang nyawa. Dan dari hasil pernikahan itu, Elvis memiliki seorang putri yang mewarisi kecantikan mantan istrinya.

Elvis tersiksa. Hatinya semakin mati pada kehangatan. Setiap hari matanya menyorot tajam penuh kebencian kepada sosok gadis kecil itu. Segala bentuk kebencian yang tidak tersalurkan Elvis lampiaskan kepada Shopia.

“Kenapa aku sial sekali?!” Elvis mengeluh, pun tangannya memukul kesal setir kemudi di depan mata.

Di dalam mobilnya itu pikiran Elvis berkecamuk kacau. Pria itu sama sekali tidak berniat pulang ke rumah di mana Shopia berada. Dia juga tidak mau menginap di hotel, karena takut kejadian menyebalkan kemarin akan terulang.

“Lebih baik aku tidur di rumah sakit saja,” putusnya kemudian menjalankan mobil yang sudah dinaiki.

Perjalanannya menuju rumah sakit tidak begitu lama. Pria itu cukup tancap gas menuju rumah sakit akibat pikirannya yang kusut. Ekspresi muram di wajah tampannya belum memudar ketika Elvis memasuki rumah sakit.

Pegawai rumah sakit yang dilalui hanya menyapa Elvis sewajarnya. Mereka sedikit tidak bernyali untuk berlebihan menyapa dikarenakan wajah muram Elvis yang menakutkan. Keputusan mereka sangat tepat, karena ketika tiba di ruangannya pria itu cukup keras membanting pintu.

Elvis mengeluh kesal lewat napas yang dihempas kasar. Pria itu dengan sengaja melepaskan tiga kancing teratas dari kemeja putih yang dipakai—guna memberikan ruang lebih pada dada yang sesak akan kesal.

Tetapi, pikiran Elvis sedikit teralihkan ketika ingin membanting tubuhnya ke sofa. Di pinggiran—bawah sofa itu Elvis melihat sesuatu yang menarik untuk dicari tahu. Tangannya terulur, lalu dengan mudah menggapai benda tipis yang agak keras di bawah sana.

Itu adalah id card milik Edeline—yang tidak sengaja terjatuh tanpa disadari oleh pemiliknya. Yang di mana terdapat foto Edeline sedang tersenyum ramah dan menawan.

Ujung bibir Elvis tertarik dan membentuk seringai licik. “Bagaimana kalau aku buang saja? Gadis bodoh itu pasti menderita besok.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
12345
Kok gada baik2nya sifat Elvis ya…gerah juga bayanginnya menghadapi orang arogan tak berperasaan ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status