BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU
"Mas, boleh aku minta uang? Beras dan keperluan pokok lainnya sudah habis," terang Ning–istriku.Aku yang sedang mengenakan kemeja kerja langsung menoleh ke arahnya."Habis? Harusnya 'kan uang mingguan yang aku kasih cukup untuk belanja kebutuhan satu minggu. Ini baru empat hari. Memang uangnya kamu ke manain?" tanyaku agak kesal. Aku kembali mengalihkan pandangan ke cermin. Merapikan pakaian dan menyisir rambut.Baru empat hari, bisa-bisanya uang belanja sudah habis. Padahal aku tidak pernah telat memberi uang mingguan pada Ning.Sebagai suami, aku sudah berusaha tanggung jawab, tapi istriku selalu saja boros. Bukannya uang tujuh puluh ribu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan satu minggu. Apalagi kita cuma tinggal berdua."Kemarin ada kebutuhan di luar itu, Mas. Aku ambil tiga puluh ribu untuk bayar arisan bulanan RT dan juga kas, aku udah nunggak tiga kali dan harus dibayar semua," terangnya."Mending ngga usah ikut RT'nan. Bikin boros pengeluaran saja. Kamu itu harusnya kasihan sama aku yang banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Belum sebentar lagi tambah anggota keluarga baru."Saat ini Ning sedang hamil tujuh bulan. Dengan kehadiran seorang anak pastinya akan membuat pengeluaran lebih banyak lagi.Hah … kenapa juga Ning harus hamil segala, bikin kepala tambah pening saja."Maaf, Mas, karena aku selalu merepotkan kamu.""Maaf, maaf. Bukan permintaan maaf yang aku inginkan, tapi sebagai istri pandai-pandailah mengatur keuangan. Nih, cepetan belanja!" Aku melempar uang dua puluh ribu di depan wajahnya. Biar dia tahu betapa kecewanya aku sebagai suami memiliki istri yang tidak mampu mengatur keuangan dengan baik. Selalu saja kurang, ada saja alasannya untuk ini lah, itu lah."Astaga … apalagi? Kenapa masih berdiri di sini?" bentakku ketika Ning tidak segera pergi setelah memungut uang yang jatuh di lantai."Mas Heru sudah mau berangkat kerja 'kan? Aku bareng sekalian, ya, Mas, ke warungnya. Beberapa hari ini kakiku terasa nyeri, apalagi kalau buat jalan."Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar mendengar Ning bicara seperti itu. Jadi istri bisanya ngerepotin suami terus."Harusnya kamu itu banyak gerak, justru jalan kaki lebih bagus. Sekalian olah raga. Jangan manja lah.""Tapi kakiku beneran sakit, Mas."Akhirnya terpaksa aku pun mengiyakan Ning untuk bareng, daripada dia bicara terus, buang-buang waktu.Selain itu aku juga harus segera menjemput Ida–perempuan yang tiga pekan ini membuat jantungku selalu berdegup tak beraturan ketika memandangnya. Dia satu kerjaan denganku di sebuah pabrik sepatu yang ada di kota ini.Aku segera memakai jaket dan juga helm berwarna hitam dengan tempelan beberapa sticker.Sembari menunggu Ning, aku lebih dulu manasin mesin motor. Motor baru yang aku beli dua bulan lalu."Ayo, Mas," ucap Ning dengan langsung naik ke atas motor.Sebenarnya aku malu harus boncengin Ning. Penampilannya ngga banget. Apalagi setelah hamil, wajahnya lebih kusam dari sebelumnya. Mana daster dan jilbab yang dikenakan juga itu-itu saja. Bikin mata ini sepet melihatnya.Coba dia pandai mengatur uang yang aku beri. Pasti bisa, tuh, beli daster dan jilbab baru. Untung saja ada Ida, jadi mataku bisa terobati dengan wajahnya yang cantik, penampilannya yang seksi. Ah … pokoknya dia perempuan sempurna. Bagai langit dan bumi dengan Ning.Aku segera melepas tangan Ning yang menempel di perutku ketika dia tiba-tiba memeluk. "Pegangan behel saja. Ngga enak dilihatin orang.""Memangnya kenapa, Mas? Kita 'kan suami istri."Ini perempuan ngga sadar diri banget. Memangnya dia ngga ngaca, kalau penampilannya malu-maluin."Cukup, ya, Ning. Jangan nerocos terus. Sudah mending aku izinin kamu bareng."Ning benar-benar merusak mood'ku pagi ini.BersambungBADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUIda sudah menungguku di depan kontrakannya. Mimik wajahnya bisa ditebak kalau dia sedang kesal. Semua gara-gara Ning, aku jadi terlambat menjemput kesayangan. "Niat jemput ngga, sih, Mas. Kamu terlambat sepuluh menit. Aku tuh paling males kalau disuruh nunggu.""Maaf, Da. Tadi Mas harus …," aku menghentikan ucapan. Tidak mungkin bilang sama Ida kalau tadi harus nganter Ning ke warung dulu. Bisa-bisa dia tambah ngambek."Harus apa?" "Harus ngisi bensin dulu, kemarin lupa mau ngisi sekalian. Tadi antri panjang." Segera turun dan mendekati Ida yang masih terlihat cemberut dengan tangan bersedekap. Meski sedang marah, tapi Ida tetap terlihat cantik. Hatiku semakin tak karuan dibuatnya. Seandainya aku bisa menikah dengannya, betapa bahagia dan beruntungnya aku. "Sudah, dong, cemberutnya! Nanti pulang kerja, Mas beliin kamu hadiah."Seketika kedua mata Ida berbinar, "bener, Mas? Kamu mau ngasih aku hadiah?"Aku menganggukkan kepala sembari memeg
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya dari semalam aku ingin bicara sama Mas Heru, ingin periksa kandungan ke dokter. Selama hamil, aku belum pernah USG dan hanya periksa ke bidan di desa sebelah. Itu pun Mas Heru sering uring-uringan saat aku meminta uang untuk periksa. "Mas, mumpung kamu libur kerja, anterin aku periksa ke dokter, ya. Aku pingin USG, biar tahu perkembangan bayi kita di dalam kandungan." Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk bicara.Mas Heru tidak menggubris ucapanku, dia terlalu asyik dengan ponsel di tangannya. "Mas …," panggilku lagi."Kamu pikir periksa ke dokter ngga bayar? Ngga usah USG juga ngga pa-pa 'kan. Asal kamu bisa jaga baik-baik kandunganmu, bayinya pasti sehat."Aku merasa, semakin hari sikap Mas Heru semakin cuek padaku. Tidak ada perhatiannya sama sekali. "Mas … sekali ini saja. Aku cuma pengen tahu kondisi bayi kita," rengekku.Mas Heru berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kini dia berdiri persis di depanku. "
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ning … Ning," teriakku. Setelah berdebat tadi, aku memang meninggalkan dia untuk keluar jalan-jalan, tentunya bersama Ida. Setidaknya pusing di kepala ini langsung hilang ketika melihat senyum manisnya. "Ke mana, sih, perempuan ini? Selalu saja bikin aku emosi.""Assalamu'alaikum." Tidak berapa lama Ning datang."Astaga, suami pulang bukannya di rumah malah kelayapan."Ning hanya diam saja, sama sekali tidak menjawab ucapanku. Dia langsung pergi ke belakang mengambil segelas air putih untukku, dan masih tetap diam.Sok-sok'an ngambek segala. Memangnya aku peduli. Harusnya 'kan aku yang marah.Coba saja Ida yang menyambutku saat pulang ke rumah, pasti rasa lelahku langsung hilang. Tidak seperti sekarang, aku merasa tidak nyaman berada di rumah.***Pagi yang kunanti telah tiba. Waktu yang selalu membuat semangat karena akan bertemu dengan pujaan hati. Ida Indriyani … sedetikpun rasanya enggan untuk menghilangkan bayangannya dari pikiranku.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"M-Mas Heru …. Aku tidak salah lihat 'kan? Barusan benar-benar Mas Heru. Istri? Dia menyebut perempuan yang dibonceng dengan sebutan istri. Lantas aku ini?"Aku yang baru saja turun ke jalan menghibur pengendara yang berhenti di lampu merah mendapat kejutan yang membuat hati ini tercabik, teriris. Begitu sakit.Menangis? Tidak, bahkan aku tidak mampu menangis. Aku menepuk dada ini berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak yang tak mampu kubendung. "Ning, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wati–ibu badut yang memberiku pekerjaan."Sa-sakit? Saya tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit nyeri saja perutnya, mungkin karena barusan bayi di dalam perut nendang." Aku berusaha tersenyum, meski hatiku menangis dan hancur."Benar? Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan dipaksain. Kamu bisa mulai jadi badut kapan saja, yang penting kesehatanmu, Ning."Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh cengeng, aku perempuan kuat. Aku berusaha melupakan apa yang kulihat
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ada apa dengan Ning? Sikapnya tiba-tiba berubah. Apa dia kesurupan karena seharian kelayapan?" ucapku sendiri sambil berusaha menghidupkan kayu bakar untuk masak air. Berkali-kali berusaha, tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai mataku perih. Hah … d*s*r istri tidak tahu diri. Disuruh menyiapkan air panas tidak mau, disuruh masak enak malah ngasih kertas. Apa, sih, mau dia?Coba sedang tidak hamil, sudah ku'tinggalkan saat ini juga. Hampir lima belas menit, masih saja aku tidak bisa menghidupkan apinya. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Capek pulang kerja bukannya dilayani, malah disuruh masak air sendiri. Aku segera melempar kayu yang ada di depanku dan beranjak masuk untuk menyuruh Ning yang masak air. Karena itu sudah menjadi tugasnya.Ning yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat santai, sama sekali tidak merasa bersalah telah menyuruhku mengerjakan tugas yang sudah menjadi tugasnya. Aku menarik tangan Ning mengajak
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSelama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran. Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari. Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini. "Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu.""Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Terus ini gimana, Mas? Masa' iya aku ikut dorong motor sampai tempat kerja, yang ada kakiku gempor," protes Ida. "Lagian istrimu itu ngapain pakai ngambil kunci motor segala?" sambungnya lagi.Ning memang keterlaluan, aku tidak habis pikir dia menjadi badut jalanan seperti itu, memalukan. "Kamu naik angkutan saja, ya. Biar Mas dorong sendiri motornya."Ida menyembulkan napas, "ya sudah, Mas Heru cariin aku taksi. Kalau naik jalur ngga bisa turun sampai depan pabrik."Aku pun segera mencarikan Ida taksi biar dia tidak telat masuk kerjanya. "Aku duluan, ya, Mas," pamit Ida ketika taksinya sudah datang. Si*lan, gara-gara Ning aku harus dorong motor. Berduaan dengan Ida pun gagal. Ternyata dua hari ini Ning tidak ada di rumah karena menjadi badut? Berarti badut yang kemarin itu dia juga? Astaga … kok bisa aku sampai tidak mengenalinya. Sekarang Ning sudah tahu kalau aku memiliki perempuan lain di belakang dia. Pantas saja sikapnya sangat ane
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ternyata perempuan itu lebih berarti daripada aku dan anak kita, Mas. Kamu lebih memilih pergi meninggalkan kami," ucapku tanpa beranjak dari tempat duduk setelah Mas Heru benar-benar meninggalkan rumah.Laki-laki yang pernah mengucap janji suci, berjanji di depan bapak telah mengingkari ucapannya sendiri. Tidak ada maksud menjadi istri pembangkang, membantah dan berani menantang suami. Tapi Mas Heru sudah sangat keterlaluan. Bukan kata maaf yang terucap atas perbuatan yang dia lakukan, melainkan masih saja menyalahkanku. "Kita pasti mampu menghadapi semua ini, Nak. Ibu akan selalu menjagamu. Maafin Ibu belum bisa memberikan yang terbaik." ***Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berwudhu untuk menjalankan salat sunah tahajud. Hanya dengan mengadu dan berkeluh kesah pada Rabb'ku hati ini menjadi tenang. Menguntai sebuah doa dan harapan, memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pasrahkan hidu