BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ning, hari ini kamu ikut Ibu, ya. Toko biar ditunggu Mbak Tum sama Mbak Sri," terang Bu Wati menghampiri'ku ke kamar. Sudah dua minggu ini aku memang tinggal di rumah Bu Wati. Akhirnya aku tidak bisa menolak ajakan beliau untuk tinggal bersama. Bu Wati mengontrakkan aku sebuah toko yang tak jauh dari rumah beliau untuk jualan kue yang memang mulai banyak pelanggan dan juga pesanan setiap hari. Meski sudah pindah tempat, tapi pelanggan tetap setia datang.Tidak sampai di situ, Bu Wati juga merenovasi rumahku. Berusaha menolak kebaikan beliau pun percuma. Karena Bu Wati tidak akan berhenti sebelum aku mengangguk dan mengucap kata iya.Sebenarnya berat harus meninggalkan rumahku sendiri. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin dengan cara tinggal bersama Bu Wati, aku bisa membuka lembaran baru dan menutup masa lalu yang penuh luka hati di rumah itu. "Memangnya kita mau ke mana, Bu?""Mau ke butik langganan Ibu. Satu bulan lagi 'kan acara
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da … tunggu! Mas bisa jelaskan." Aku berlari menyusul Ida yang begitu marah setelah mendengar ucapan Ning. Hal yang aku takutkan akhirnya benar-benar terjadi. Sekarang Ida tahu kalau aku tidak memiliki rumah. "Mana kunci motornya. Cepat berikan!" bentak Ida padaku. Dia berusaha mencari kunci motor dengan merogoh setiap saku yang ada di pakaianku."Ja-ngan ngikutin aku lagi. Paham."Ida langsung menghidupkan motor dan tancap gas meninggalkan aku sendiri di rumah Ning."Daa … terus Mas pulangnya bagaimana?" teriakku."Terserah …," jawab Ida tak kalah kencang suaranya. Aku hanya mampu mengusap kasar wajahku sendiri sembari menjambak rambut berulang kali. Ingin rasanya teriak sekeras mungkin untuk mengeluarkan rasa kesal yang sudah membendung. "Makanya, Mas. Jangan suka berbohong, cepat atau lambat pasti bakal terbongkar."Mendengar ucapan Ning yang sengaja meledekku, membuat emosi ini semakin memuncak.Aku menoleh ke arahnya. Menatap Ning ya
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Semakin hari, Ibu lihat kamu semakin tegar, Ning.""Memang harus seperti itu 'kan, Bu. Siapa lagi yang akan menguatkan hati kalau bukan diri sendiri."Meski sebenarnya ada rasa sakit yang sampai detik ini masih menancap di hati, soal Fathan. Mungkin aku bisa menahan rasa sakit atas perlakuan dan pengkhianatan Mas Heru. Tapi soal Fathan, tak bisa dipungkiri hatiku begitu teriris karena sampai sekarang, sekalipun Mas Heru belum pernah menanyakan darah dagingnya sendiri. Bahkan menatap pun enggan. —----------Bulan ini Bu Wati disibukkan dengan persiapan lamaran Faiz. Beliau mengajakku mencari seserahan yang akan dibawa untuk lamaran nanti. Sedangkan Faiz masih sibuk dengan pekerjaannya yang memang tidak bisa ditunda. "Rasanya Ibu bahagia sekali, Ning. Setelah ditinggal ayahnya Faiz, Ibu sangat kesepian. Tapi sekarang hari-hari Ibu berwarna lagi setelah ada kamu dan Fathan.""Ning juga bahagia, Bu. Sekarang punya keluarga baru. Apala
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUSemakin hari sikap Ida sangat menyebalkan. Sepertinya memang sengaja ingin membuatku panas dengan memamerkan kemesraan dengan Rudi–anak baru yang dipuja-puja para perempuan di pabrik ini. Cakepan juga aku ke mana-mana. Cuma modal motor sport saja sudah sok paling yes. "Bagus banget gelangnya, Beb. Aku suka." Terdengar suara Ida yang lewat persis di depanku."Perempuan matre," sahutku lantang.Ida berhenti, lalu menoleh ke arahku. "Tidak ada perempuan matre, yang ada pria kere dan pembohong kaya kamu, Mas," ucapnya sambil mengacungkan ibu jari ke bawah."Sekarang kamu 'kan sudah punya pacar baru yang katanyaa … kaya. Minta di beliin motor dong! Jangan bisanya merampas punyaku.""Siapa bilang aku merampas? Motor itu sebagai jaminan. Kalau mau ambil silahkan, tapi kasih uang lima belas juta dulu. Sebagai ganti rugi karena aku sudah kamu bohongi.""Mana bisa seperti itu.""Ter-se-rah …."—-----------Aku memutuskan untuk berhenti kerja. Rasanya
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Tante …." Fahira lari mendekat dan memelukku ketika kami semua hendak pulang setelah acara lamaran selesai. Raras dan keluarganya yang mengantar kami ke depan, mereka menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi aku tidak paham. Sama seperti pria yang menyebut dirinya papa pada Fahira.Sebenarnya ada apa ini? "Fa-Fahira mau bicara sama, Mbak Ning?" tanya Raras dengan mata berkaca-kaca."I-iya, Ras. Memangnya kenapa?" "Baru kali ini Fahira mau bicara lagi setelah ditinggal ibunya yang sudah tiada enam bulan lalu. Bahkan dia tidak mau dengan siapapun kecuali saya. Makanya tadi saya seakan tidak percaya waktu Mbak bilang Fahira memperkenalkan dirinya," sahut papanya Fahira. "Iya, Mbak Ning. Fahira itu keponakan Raras dan Mas Ilham ini adalah kakaknya Raras yang pertama," sambung Faiz."Terima kasih. Karena, Mbak, Fahira mau bicara lagi," ucap pria yang ternyata kakaknya Raras "Ta-tapi saya tidak melakukan apa-apa, Mas." "Kehadiranmu me
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUMengenakan kemeja warna putih, celana dan sepatu warna hitam, aku berangkat menuju restaurant tempat aku melamar pekerjaan. Setelah tiga minggu, akhirnya mendapat panggilan.Sesampainya di restaurant, ternyata sudah ada beberapa pelamar lainnya yang menunggu untuk interview. Melihat mereka semua yang masih muda, tak menciutkan mentalku. Karena aku yakin pasti akan diterima. Setelah menunggu lumayan agak menjenuhkan, kini giliranku untuk interview."Apa, Pak, diterima sebagai cleaning servis atau busser? Saya 'kan melamar sebagai waiters," ucapku di tengah-tengah interview."Syarat sebagai waiters atau waitress, umur harus di bawah dua puluh lima tahun. Sedangkan mas'nya sudah dua puluh delapan tahun."Sialan, sudah dandan serapi mungkin hanya diterima sebagai cleaning servise. Padahal wajahku cukup tampan, sangat disayangkan hanya jadi tukang bersih-bersih "Bagaimana, mau diterima apa tidak? Karena masih banyak pelamar lain di luar."Kalau t
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru? Tidak. Mana mungkin dia ada di sini. Aku melihat sosok pria yang mirip sekali dengan Mas Heru. Tapi hanya sekilas melihatnya karena terhalang para tamu."Kamu lihatin siapa, Ning?" tanya Bu Wati yang menghampiri. "Mas Heru, Bu.""Heru. Heru mantan suami kamu maksudnya? Memangnya dia ada di sini?""Entahlah, Bu. Ning seperti melihat dia. Mungkin mirip saja kali, ya, Bu.""Ya sudah, kita langsung masuk, yuk.""Tante, ayo," ajak Fahira. Dari awal datang, dia langsung menyambutku dengan wajah sumringah. "Fahira, jangan ngerepotin Tante Ningrum, ya. Dia 'kan tamu," ucap Mas Ilham yang seketika membuat mata Fahira berkaca-kaca."Tidak apa-apa, Mas. Saya ke sini juga ingin bertemu sama Fahira kok. Ayo, Sayang." Aku mengajak Fahira masuk. Kami duduk satu meja dengan Bu Wati, Faiz dan juga Raras. -Setelah serangkaian acara, Akhirnya sampai juga di acara paling ditunggu-tunggu gunting pita dan potong tumpeng. Mas Ilham di dampin
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Apa? Kamu mau mengundurkan diri. Padahal bekerja belum ada satu minggu," respon Pak Bagas ketika aku minta izin berhenti kerja. Rasanya tidak mungkin untuk tetap kerja di tempat yang pemiliknya saja ternyata sangat kenal baik dengan Ning. Bahkan anaknya Pak Ilham begitu lengket dengan mantan istriku itu. Kalau sampai Ning tahu aku kerja di restaurant ini sebagai cleaning servis, pasti dia akan mencemooh habis-habisan. "Saya mau pulang kampung dalam waktu yang belum bisa ditentukan, Pak.""Ya sudah, saya juga tidak bisa melarang kalau itu sudah menjadi keputusan kamu."—----------Baru juga dapat pekerjaan, tapi aku sudah harus berhenti. Hidupku seakan-akan selalu diikuti bayangan Ning. Selalu saja bertemu dia. Sekarang aku tidak tahu harus kerja apa. Sedangkan lamaran lainnya belum ada panggilan. Apa mesti ngamen lagi? Menghentikan motor dan memarkirkannya. Aku turun dan duduk di pinggir trotoar. Menatap setiap kendaraan yang lewat denga