"Permak?"
"Oh." Seketika Sanad tergagap. Tanpa sadar ia telah mengucapkan sesuatu.“Mengapa?” lirih Hayati sendu.Sanad menoleh.“Mengapa kamu masih saja tertutup padaku?”Sanad membuka mulutnya, tetapi keburu tertutup akibat ponsel di dalam saku jasanya bergetar. “Ya …. Paksa, kalau perlu seret.”Hayati mengerutkan keningnya, melihat geraham suaminya yang mengeras.***“Namamu siapa tadi? Keane?”Dari penampilan, Tera tahu Keane lebih tua darinya. Sikap Keane dari awal yang terus memaksanya, membuatnya hilang rasa segan.“Gini, Keane! Untuk apa ke sini? Aku hanya seorang pembantu. Mau dipoles pakai porselen juga tetap pembantu. Tetap saja tempat ngumpulnya sama pembantu, makannya di emper atau pojokan. Rekreasinya paling mentok ke kebun. Ngapain coba habisin banyak uang? Mendingan kita sedekahkan uangnya?”Keane menghem[Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.]Spontan Rudi menoleh ketika ibunya muncul di balik pintu.“Rud, bagaimana kalau kita juga bikin kerupuk Teratai?” *** Tera menghempaskan bokongnya ke ujung ranjang Evan. Mengapa ia tidak bisa bebas dari mimpi buruk laki-laki. Dulu Arbain, sekarang Sanad. Ia mengerang frustasi.Tiba-tiba tatapannya tertuju pada sebuah cermin besar yang menempel di dinding. Ia mendekati cermin itu, lalu mematut diri. Benarkah dirinya seperti Putri Marino? Ia tersenyum mengejek. Namun, ia mengakui dirinya memang banyak berubah. Ah, mungkin telah berubah seratus persen. Kulitnya sudah pasti bukan kulit gosong lagi. Rambut pendeknya menjadi panjang, lalu dikasih warna brown black. Penampilannya jadi feminim, karena sebelumnya terbiasa memakai celana, bahkan sering mengenakan celana tiga perempat. Ia bertanya-tanya seandainya dulu sepert
“Apa yang kamu lakukan?!” Gadis itu terlonjak duduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Mata itu terbelalak. Napasnya memburu. Sanad mendehem. Dadanya masih bergemuruh hebat. Terlebih lagi saat melihat mata Tera yang membelalak. “Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin membetulkan selimut kalian. Jangan geer!” Tera menghempaskan napasnya. Ia mengelus dadanya yang terasa mencelos. “Lain kali, jangan masuk ke sini kalau jam tidur!” pinta Tera, dengan suara masih bergetar. “Ini kamar anakku.”“Tapi aku tidur di sini. Sangat mengerikan, tiba-tiba membuka mata ada laki-laki asing di kamar, apalagi posisimu yang sangat dekat tadi.” Tera menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. Terlihat jelas napas gadis itu masih memburu. Tindakannya benar-benar membuat Tera ketakutan. “Apa kamu pernah mengalami trauma?” Tiba-tiba ia tak kuasa menahan rasa penasaran. Terlebih lagi jika mengingat info ya
“Ini …?” Bastiah mengeluarkan satu bungkus.“Iya. Acil Nurul edarkan dengan mengambil pasaran yang sebelumnya milik Rudi." Seringai senyum licik terbit di bibir Kembang. "Ceritanya setia, mana? Malah bikin produk sendiri. Awas saja, kamu Rud! Kamu pikir aku bisa diam?!”***Keane sengaja melambatkan laju mobilnya. Dari kejauhan ia sudah melihat Rudi mendekati Tera yang duduk di depan gedung sekolahan Evan. “Tuan?!” “Biarkan saja. Kita pantau dari sini,” titah Sanad, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Tera dan Rudi. Rudi mendekat, Tera masih asik mengukir tanah dengan kayu ranting yang entah ia dapatkan di mana. Terlihat Tera tersentak ketika menyadari kehadiran Rudi. “Benar, kamu Tera kan?” “Maaf, kamu siapa?” Tera pura-pura tidak mengenali.“Benar, kamu Tera. Suaramu memang Tera. Tatapanmu juga. Kamu mungkin bisa mengubah penampilanmu, tapi aku akan tetap mengenalimu.”Tera berdiri. Tera menengok ke kiri dan ke kanan.“Ikut aku,” ucap Tera setelah yakin tidak ada Keane. Tera m
Evan kembali menyodorkan sapu tangannya.“Nanti sapu tangan Evan kotor.”Evan menggeleng. Ia melipat sapu tangan itu, lalu mengusapkan ke pipi Tera. Tera kembali tersenyum haru. Ia mengambil sapu tangan itu, lalu mengusap ke wajahnya. “Terima kasih, ya.”Evan mengangguk, tak lupa menyuguhkan senyum terbaiknya. Spontan Tera mencium pipi anak itu karena gemes. Sanad mengulurkan tangannya. Tera menengadah. Ia bertanya-tanya mimpi apa semalam. Tiba-tiba mendapatkan uluran tangan pria arogan ini.Dari wajahnya, Tera tahu Sanad telah mendengar percakapannya dengan Rudi tadi. Ia tidak menyangka, ternyata laki-laki seperti Sanad masih mempunyai rasa empati.Cukup lama ia tengadah, tanpa berani menyentuh tangan itu. Evan menarik tangannya, lalu hendak menyatukannya dengan tangan Sanad. Saat hendak bersentuhan, spontan tangannya menggenggam. Sanad t
Di Bangkau.Seorang pemuda berkulit putih memasuki halaman rumah Tera yang berbentuk jembatan. Bangkau wilayah rawa. Rata-rata rumah panggung dengan halaman berupa jembatan dari papan. Ko“Assalamu ‘alaikum.” “Wa alaikum salam. Elang?! Kamu pulang? Kok tiba-tiba pulang? Ada apa?” cecar Kembang panik. "Kak Tera mana?" tanya Elang sambil masuk rumah dengan menenteng ranselnya.“Datang-datang langsung nanyain Tera? Tanyain ibu dulu kek,” protes Kembang.“Kak Tera mana?” ulang Elang dengan suara meninggi. “Dia sedang pergi,” kilah kembang.“Ke mana?”“Mana kutau. Dia kan sudah besar. Masa harus minta izin dulu padaku,” jawab Kembang sambil berlalu ke dapur. Elang Diam. Menatap tajam kakaknya yang sedang menuang air minum ke dalam gelas. “Nih, minum dulu!” Kembang menyerahkan gelas itu pada Elang. “Jau
“Dan mama percaya itu?” tanya Elang.“Jadi kamu menuduh Arbain merayu dia?” sela Kembang.“Ya mungkin saja. Secara kita lebih lama berkumpul dengan Kak Tera dibanding Arbain. Arbain masih tergolong orang baru di keluarga kita.”Arbain terkesiap. “Teganya kamu berkata begitu,” protes Kembang. “Ini bukan masalah tega nggaknya. Ini masalah kebenaran. Masa kita lebih percaya ke orang baru, daripada dia yang seumur hidup bersama kita. Coba pikirkan, Kak Tera yang gila kerja tiba-tiba merayu laki-laki, kan aneh? Dengan pengorbanannya yang begitu besar kepada kita, tiba-tiba merayu suami adiknya, aneh tidak?”Kembang tergagap. “Ya mungkin saja. Secara umur dia kan sudah menjelang tiga puluh, wajarlah jika dia menyukai laki-laki dan yang terdekat.”Elang menggeleng, menatap ejek. “Kalau ngomong difilter dulu. Sebagai orang sekolah, aku malu mendengar ucapan Kakak
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tera. “Baik. jangan pikirkan dia. Pikirkan diri Kakak sendiri.”Tera mengernyit. Ia menatap penuh selidik. “Jangan katakan, kamu tidak ingin Kakak pulang, supaya bisa menguasai Teratai Produksi?!” Elang tersenyum geli. Ia mengambil minuman yang baru saja diletakkan karyawan. “Di mata Kakak, di dunia ini tidak lagi orang baik ya?”Tera hanya menjawab gerakan kedua keningnya, lalu meneguk minumannya.“Tadinya mau mengajak pulang, tapi begitu melihat Kakak cantik begini, aku jadi mengurungkan niat.”Tera mengenyit. “Sepertinya Kakak sangat baik di sini. Usia Kakak juga sudah 27, ah hampir 28 ya."Tera mendelik. Di desanya usia 28 tahun sudah dicap sebagai perawan tua. Beberapa teman Tera sudah berkeluarga dan mempunyai anak, "Sudah saatnya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri. Kembang sudah men
“Karena cantik? Aku benci ini.”“Tapi ….”“Sudahlah! Aku sudah punya Evan, dia keluargaku. Dia pelengkap hidupku, jangan khawatirkan Kakak”Elang membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara keluar. Ia berpaling ke arah Evan. “Evan dengar 'kan? Kakakku mendedikasikan hidupnya untuk Evan, Evan harus baik pada dia. Evan mau kan berjanji sama Om? Evan akan selalu baik dan melindungi Mama?!”Evan masih diam. Setelah sekian lama, akhirnya Elang memutuskan berdiri."Aku pulang, Kak. Aku akan langsung ke Banjarbaru. Jaga diri baik-baik, lakukan apa yang membuat bahagia, tapi jangan lagi terlalu berkorban untuk orang lain. Karena belum tentu orang itu akan berbuat baik juga pada Kakak."Tera mengangguk. "Kamu juga jaga diri baik-baik. Hati-hati di jalan."Elang mengangkat tangan lalu menautkan ujung telunjuk dan ujung ibu jarinya. Tera tersenyum haru. El