"Bu, bajuku udah sobek. Coba deh ibu lihat!" ucap si sulung dengan raut sedih.
"Selama masih bisa di pakai, pakailah. Nanti kalau ibu dapat uang besar ibu belikan yang baru, ya?" jawabku mencoba menghiburnya.
"Ibu selalu begitu bilangnya, tapi gak pernah Ibu belikan kita baju. Ibu aku malu, tiap main selalu bajuku yang paling jelek." katanya sambil memegang bagian yang bolong pada bajunya.
Jangankan untuk membeli baju, untuk makan sehari-hari saja kadang tidak ada, kerjaku yang hanya mengandalkan titahan dari orang lain sebagai buruh cuci, itupun tidak setiap hari.
Suamiku Rudi sudah tidak lagi bekerja, sejak kecelakaan yang menimpanya 5 tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki suamiku. Berbagai pengobatan tradisional dan medis sudah pernah di lakukan. Namun, karena keterbatasan biaya pengobatan terpaksa dihentikan.
Sejak itulah aku menjadi tulang punggung bagi kedua anakku dan suamiku. Sejak kejadian lima tahun lalu itu terpaksa anak pertamaku putus sekolah, dan anak bungsu ku yang berusia tujuh tahun seharusnya sudah masuk sekolah dasar tapi karena alasan yang sama juga, kedua anakku kini tidak bersekolah.
Aku sudah mulai lupa kapan terakhir kali aku membelikan baju untuk kedua anakku.
***
"Kak, Ibu mau mencuci baju dulu ya, di kampung sebelah. Kakak di rumah ya, jagain bapak. Nanti kalo bapak pengen apa-apa biar ada yang bantuin." ucapku pada si sulung.
Nisa, putri sulungku yang kini berusia 11 tahun sangat mengerti dengan keadaanku. Dia tak pernah mengeluh bila di mintai tolong. Tak seperti yang lain yang masih sibuk bermain, di usianya yang masih belia dia sudah bisa melakukan segala pekerjaan rumah.
"Ibu, aku ikut ya! Aku mau bantu ibu boleh?" rengek si bungsu, Nita namanya.
"Baiklah sayang, ayok! Tapi Nita nanti jangan nakal yah? Kalo Ibu lagi kerja Nita liatin Ibu aja." ucapku pada si bungsu.
Tak selang beberapa lama kami pun tiba di tempat tujuan.
"Assalamu'alaikum" sahutku.
"Wa'alaikum salam, eh Bu Sari sudah datang. Silahkan masuk bu" ucap Bu Fika mempersilahkan.
"Baik, ayo sayang masuk!" ajakku pada Nita.
"Ini anak Bu Sari? Kebetulan, kemarin anak saya ulang tahun. Ade namanya siapa? Ade mau kue ?" tanya Bu Fika pada Nita.
"Aku Nita tante. Mau tante!" Ucap Nita pelan sambil menganggukkan kepala.
"Ayo, sini masuk Nita! Nita sudah makan?" tanya bu Fika.
"Sudah tante, tadi sebelum ke sini aku sama Ibu sudah makan gorengan sama teh manis." ucap nita sambil memakan kue yang sepertinya enak itu.
"Gorengan? Pagi-pagi itu harusnya sarapan dulu, biar ada nutrisi masuk biar Nita kuat main. Nita mau makan gak? Tante masakin ayam mau? Nita suka ayam gak?" tanya Bu Fika ramah.
"Mau tante, Nita suka kok ayam. Tapi ibu ga pernah masak ayam." jawabnya polos.
"Kebetulan kalo gitu, kalo gitu Nita sama Ibu makan dulu ya, mau?" titahnya, sambil pergi ke dapur.
Kemudian bu Fika membawa dua piring nasi beserta dua ayam goreng. Aku jadi malu. Aku hanya bisa menunduk. Bu Fika memang orang yang ramah. Ini kali ke pertama aku mencuci di rumahnya.
Setelah selesai makan aku langsung menunaikan tugasku.
Selama aku mencuci, Nita bermain dengan anak Buu Fika, Salsa namanya. Kebetulan anak bu Fika juga perempuan hanya terpaut dua tahun saja.
***
Menjelang sore pekerjaanku telah selesai, harusnya dari tadi siang sudah selesai, tapi Bu Fika menyuruhku menggosok dan membereskan rumah.
Saat akan pamit, Bu Fika memberikanku kantong plastik besar, entah apa isinya.
"Bu Sari, maaf saya tak berniat menyinggung Bu Sari, tapi saya lihat tadi baju Nita sudah bolong-bolong, kebetulan ini ada baju bekas anak saya, masih layak pakai kok bu. Hanya saja sudah tidak muat dipakai anak saya. Jadi saya kasih Nita, sekali lagi maaf bu." ucap Bu Fika menjelaskan dengan kata-kata yang sangat di jaga, mungkin takut kalau aku akan tersinggung.
"Terima kasih bu, saya tidak tersinggung kok, malah saya bersyukur dan berterima kasih pada Ibu" jawabku.
"Ini upah untuk ibu hari ini, dua hari lagi datang lagi ke sini ya bu" ucapnya sambil memberikan amplop.
"Nita ayok pulang nak, sudah sore. Kasian Kak Nisa sudah menunggu." ajakku pada Nita.
"Oh Nita punya kakak? Berapa tahun? Kapan-kapan ajak juga ke sini, biar rame. Kalau begitu sebentar bu, saya mau ke dapur dulu. Bu Sari jangan pergi dulu ya!" ucapnya masih dengan nada sopan.
Tak beberapa lama bu Fika memberiku satu kantong berukuran sedang dan satu kantong berukuran kecil.
"Ini buat Ibu, di terima ya!" sambil memberika kantong plastik ke tanganku.
"Tidak usah repot-repot bu, saya jadi tidak enak" ucapku
"Tidak repot kok bu, ini Buat Nita." jawabnya.
"Terima kasih bu, kalo begitu saya pamit ya, ayok nak!" ucapku seraya pamit sambil pergi menuyun tangan Nita.
Sepanjang perjalanan Nita terus mengoceh, bercerita selama dia bermain dengan anak Bu Fika.
"Salsa baik deh bu, bajunya juga bagus, mainannya juga banyak, nanti kalo Ibu ada uang, aku mau beli ya?" tanya Nita seraya memohon.
Sesampainya di rumah aku langsung membuka kantong pemberian Bu Fika, sedangkan Nita membuka kantong besar berisikan baju bekas.
Aku kaget tak percaya, bu Fika memberi empat bungkus nasi dan ayam goreng dan amplop kecil bertuliskan "untuk Nita dan kakak Nita". Kulihat di dalamnya ada uang selembar berwarna biru. Kemudian kubuka kantong yang berukuran sedang ternyata isinya mainan untuk Nita.
Setelah aku membuka amplop upah kerjaku hari ini, aku terhenyak ternyata isinya uang tiga lembar 50 ribu. Tak terasa bulir bening menetes di pipiku. Banyak orang yang memakai jasaku, tapi rata-rata mereka memberiku 50 ribu paling banyak 100 ribu. Baru kali ini aku menemukan orang sebaik Bu Fika.
Tak kalah bahagia saat Nita membuka baju bekas pemberian Bu Fika, Nita memakai baju itu satu persatu. Baju-baju ini tak layak di sebut baju bekas bagiku. Seperti tidak pernah terpakai, baunya masih bau baru. Bahkan banyak baju yang masih berlebel.
Terima kasih ya Allah atas kebahagiaan hari ini..
PoV Bu Fika IISatu bulan setelah mengelola warisan dari papa, keadaan ekonomiku meningkat. Aku membeli sebuah rumah jaraknya cukup jauh dari rumah mertuaku. Rumahnya cukup besar, dan intinya aku tinggal terpisah dengan mertua dan iparku.Suamiku cukup telaten dalam mengelola perusahaan. Bahkan sebulan setelah mengelola perusahaan, keuangan perusahaan semakin meningkat.Ibu dan iparku selalu datang ke rumah, alasannya sih ingin melihat keadaan aku dan Mas Hermawan. Tapi ujung-ujungnya selalu tentang uang.Sampai sekarang pun aku tak pernah memberitahu perlakuan mereka pada suamiku. Aku tak ingin rumah tanggaku berantakan hanya karena masalah itu.Pernah suatu hari, ibu meminta uang dengan alasan untuk pergi berobat. Namun setelah ku transfer, tak lama iparku membuat sebuah status di aplikasi whatsapp bahwa mereka sedang makan malam di restaurant ternama. Tapi suamiku hanya berkata "biarkan saja, mungkin suami Mbak Dewi sudah mengirimkan uang." 
PoV Bu Fika#flashbackSetelah menikah, aku terpaksa tinggal dengan mertua juga iparku di rumah mereka, karena pekerjaan suamiku yang mengharuskannya pergi ke beberapa kota. Sebenarnya tak masalah bagiku, karena kini beliau adalah ibuku juga. Aku hanya harus beradaptasi saja.Mas Hermawan, adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Mbak Dewi--kakak perempuannya sudah menikah, namun sama sepertiku suami Mbak Dewi sering bekerja di luar kota, sehingga lebih sering Mbak Dewi tinggal di rumah ini. Dua tahun menikah, namun Mbak Dewi masih belum dikaruniai seorang anak. Rinda, adik Mas Hermawan, Ia kuliah di Universitas ternama di kota ini. Mas Hermawan yang membiayai kuliah Rinda. Risa, adik bungsu Mas Hermawan masih duduk di bangku SMA, Mas Hermawan juga yang membiayai sekolah Risa.Seminggu setelah menikah, Mas Hermawan masih menjalani cuti, jadi Ia masih tinggal denganku di rumah mertuaku. Mereka sangat baik padaku, seriap hari aku tak diizinkan mengerjakan
Tanganku bergetar seketika saat menyentuh surat itu. Apa ini hanya mimpi?Rafli bertekuk lutut dihadapan suamiku."Saya mohon, supaya Bapak dan Ibu mau menerima semua ini. Tolong, keluarkan aku dari rasa bersalah ini."Sebenarnya aku tak menampik bahwa telah lama kami mengidamkan rumah yang lebih baik daripada rumah yang kami tempati selama ini. Tapi bukan begini caranya.Suamiku mengusap pucuk kepala Rafli. Punggung suamiku bergetar menahan tangis."Bangunlah nak, kamu tak perlu melakukan ini. Bapak sudah ikhlas menerima keadaan ini." tolak suamiku."Bapak tetap ikhlas menerima keadaan Bapak saat ini. Namun saya juga tetap ingin memberikan rumah ini untuk bapak. Jadi tolong terimalah!""Baiklah, bapak akan menerima semua ini. Tapi setelah ini, bapak tidak ingin menerima apapun lagi.""Setelah ini, saya masih ingin tetap memberikan uang kepada Bapak dan keluarga untuk biaya pendidikan dan biaya sehari-hari. Coba Bapak pikir
Sesosok wajah laki-laki muda terpampang jelas di layar ponsel Bu Fika. Siapa dia yang ingin berbicara denganku?"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana sekarang keadaan Pak Rudi?" sapa laki-laki muda itu.Mengapa dia bertanya tentang suamiku? Apa jangan-jangan...."Saya Rafli. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada Pak Rudi."Aku menatap nanar pada wajah itu. Seolah ingatanku kembali pada kejadian pahit beberapa tahun silam. Hatiku hancur, sebenarnya aku sudah memaafkan. Namun kejadian itu masih saja menghantuiku. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirku. Hanya air mata yang menjawab sapaan pemuda itu.Aku tahu, Rafli juga adalah korban. Dia sama sekali tak bersalah atas kejadian itu. Tapi andai saja kala itu Ia tak bermain sampai ke tengah jalan, mungkin suamiku tak akan seperti sekarang."Tak apa bila ibu tidak menjawabku. Tapi saya sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Rudi. Oh ya, lusa nanti saya akan pulang,
#FalshbackAku masih bingung, siapa sebenarnya yang menabrak suamiku. Aku juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kejadian persisnya seperti apa. Dan lagi, tidak ada cctv yang merekam kejadian tersebut. Truk yang menabrak suamiku langsung kabur begitu saja. Mereka juga tidak sempat mencatat plat nomer kendaraan itu.Namun, seorang perawat yang berjaga di rumah sakit mengatakan bahwa ada dua orang yang menjadi korban. Suami saya, dan seorang siswa SMA. Namun, beberapa jam lalu pasien itu sudah dibawa ke rumah sakit lain untuk menjalani pengobatan lebih lanjut.Selain itu, dokter juga menyarankan agar suamiku dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi yang membuatku ragu. Untuk biaya pengobatan yang baru sebentar saja aku terpaksa menjual beberapa barang yang ada di rumah, yang mungkin masih bisa di jual. Itupun masih belum cukup untuk menutupi biaya pengobatan yang men
Entahlah aku harus merasa senang, sedih atau marah?Karena pengakuan mereka membuatku tercengang."Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Kalau begini rasanya saya sudah seperti menjual jiwa suami saya, dan menukarkan semuanya dengan segala kesenangan yang ibu berikan untuk kami" ucapku lirih."Maaf bu Sari, kami tak ingin membuat kalian kecewa. Saya berbuat begini anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami untuk pak Rudi yang telah menyelamatkan anak kami. Semua yang kami lakukan tidak seberapa di bandingkan dengan pengorbanan pak Rudi untuk anak kami. Jadi saya mohon terima lah semua yang telah kami berikan untuk ibu Sari dan keluarga. Dan saya mohon ibu Sari jangan pernah menolak apa pun yang saya berikan. Karena dengan cara ini semoga saya bisa menebus rasa bersalah kami" ucap bu Fika sembari menangis dan memohon berlutut di depan kakiku.Aku hanya diam memandangi suamiku yang tak berdaya.Sulit bagiku setelah mengetahui semuanya."Bu, m