Share

Balada Hutang Keluarga Rhoma
Balada Hutang Keluarga Rhoma
Penulis: Gallon

1. Penderitaan Ini Janganlah Cepat Berlalu

Byur ....

Suara ember terkena air terdengar sangat keras di kuping Ani, wanita paruh baya itu tiba-tiba merasakan rasa sakit di pinggangnya.

"Aduh ... aduh, pinggang aku," jerit Ani, Ani menyentuh pinggangnya yang seolah mau patah, umur memang tidak bisa berbohong diumurnya yang sudah menginjak 55 tahun Ani sudah bersahabat dengan semua jenis balsam yang dijual di warung.

"Ani ... oh ... Ani, kamu kenapa, Ani?" tanya Rhoma sembari berlari keluar dari dalam rumah, Rhoma khawatir bila terjadi sesuatu pada istri yang sudah menemaninya selama 30 tahun ini.

"Sakit ... ini kamu nggak ada cita-cita buat masang pompa air apa? Aku udah seminggu ini nimba mulu, encok aku, Rhoma," protes Ani yang pinggangnya sudah rontok karena harus menimba di pagi hari secara terus menerus.

Rhoma memapah Ani untuk duduk disalah satu dipan panjang yang menghadap sumur, tangannya dengan cekatan mengusap pinggang Ani secara naik dan turun. "Aku mau, Ani ... tapi ...."

"Tapi, apa Rhoma?" tanya Ani dengan sedikit merintih karena pinggangnya dipijat-pijat dengan tenaga Rhoma yang mirip seperti tukang bangunan baru makan siang. Sakit.

"Aku tak punya uang, Ani. Tak ada uang aku, Ani." Rhoma mendesah pelan sembari menggeleng, memikirkan kehidupannya yang morat-marit dikarenakan dirinya bangkrut dan terlilit hutang. Sungguh balada.

"Hah ... Rhoma masa hidup kita kaya gini, sih? Salah kita apa? Dulu kita kaya raya jaya makmur abadi, harta dari keluarga kamu, katanya nggak bakal abis-abis buat 7 turunan," kenang Ani yang mengingat betapa bahagia dan kayanya mereka dulu, apa yang Ani mau bisa Ani dapat. Ingin tas harga 400 juta pun, Ani bisa dengan cepat mendapatkannya. Sekarang? Untuk membeli sendal jepang harga 15.000 pun, Ani harus berpikir menggunakan rumus matematika. Perih.

"Mungkin ... ini sudah nasib aku, Ani ... ini nasib aku sebagai turunan kedelapan jadi, merasakan kekayaannya hanya sementara," lirih Rhoma, mata Rhoma menatap pekarangan rumahnya yang penuh dengan alang-alang karena ia terlalu malas untuk membersihkannya. Encok.

"Kenapa nggak bilang kamu turunan kedelapan, sih. Kan aku bisa nikah ama orang lain," canda Ani sembari menepuk paha Rhoma.

"Kamu tak mungkin bisa berkelit dari pesonaku, Ani. Kamu sudah kesengsem dengan gerakkan pinggulku saat ajojing dulu," kekeh Rhoma mengingat pertemuan pertama mereka di suatu tempat di mana mereka sedang berdisko ria dengan irama boogie.

Ani hanya bisa tertawa mendengar perkataan suaminya itu, suami yang sudah menemaninya selama 30 tahun. Pernikahan mereka pada awalnya berjalan lancar dan baik-baik saja, Rhoma sangat handal menjadi suami siaga dan Ayah yang baik untuk kedua anaknya. Tapi, prahara itu mendatangi mereka tiga bulan yang lalu sebuah mimpi buruk yang membuat Ani harus menurunkan standar kehidupannya ke titik paling rendah.

Ani menatap lurus ke depan, melihat pepohonan yang bergoyang manja dihempas oleh angin. Hembusan angin yang sepoi-sepoi seolah membuat Ani terlena dan kembali memikirkan satu hari, hari di mana kehidupannya jungkir balik dari seorang sosialita kota Jakarta menjadi sosialita desa Water Candle alias Cililin ....

••

"Selamat buat Ibu Rhoma yang memenangkan kocokkan terakhir arisan kita," ucap Sandy sembari bertepuk tangan ala-ala putri Indonesia walaupun wajahnya jauh dari kata kecantikan putri Indonesia alami karena sudah dipenuhi oleh botox dan berbagai macam prosedur operasi plastik.

Ani tersenyum bahagia karena memenangkan arisan tas berlogo H yang sudah ia idam-idamkan sepanjang hidupnya karena harganya membuat ginjal para kaum miskin bergetar dan bergejolak hebat. "Aduh ... akhirnya, aku punya tas ini juga."

Ani mengambil tas tersebut dari tangan Sandy, jemarinya langsung bergetar hebat saat merasakan betapa lembutnya kulit tas tersebut di jemarinya.

"Gimana Bu? Cantik, kan?" tanya Sandy sembari tersenyum.

"Ah ... karena ini hari terakhir arisan kita jadi, biar saya yang bayar makanannya." Ani tersenyum penuh dengan suka cita kepada semua koleganya yang langsung disambut tepuk tangan yang bergemuruh dari semuanya.

Mereka pun berbincang dengan seru, bahkan ada beberapa yang terlihat berfoto di spot-spot tertentu. Ani yang sedang berbincang tiba-tiba dikagetkan dengan suara ponselnya, dengan anggun dia mengangkat ponsel dari keluaran terbaru perusahaan Korea bermerek Sungsang.

"Iya ... halo."

"Mommy, Anya mau beli tas, boleh Anya pakai kartu kredit Mommy?" tanya Anya.

"Tas apa, Nya? Berapa harganya?" tanya Ani saat mendengar suara anak perempuannya di ujung telepon.

"Tas ransel gitu, lucu ada gambar Doraemonnya, murah kok, Mommy, cuman 34 juta," ucap Anya dengan suara mendayu-dayu.

"Murah banget, udah kamu beli aja. Terserah kamu, hari ini Mommy lagi bahagia. Jadi, kamu bisa beli apa aja." Ani mengizinkan Anya untuk membeli tas yang ia inginkan, mengapa tidak saat ini ia sudah mendapatkan tas yang ia incar, tak apalah berbagi sedikit dengan anak gadisnya itu.

"Makasih, Mommy," pekik Anya girang sembari memutuskan sambungan teleponnya.

Ani kembali berbincang dengan teman-teman sosialita kelas atasnya tentang berbagai macam hal, mulai dari skincare yang harganya fantastis hingga cara diet baru dengan menggunakan salada yang diimpor langsung dari Alaska.

Saat semuanya sudah mau pulang Ani berjalan ke kasir untuk membayar makanan yang mereka makan hari ini, "Berapa?"

"Semuanya tiga puluh sembilan juta lima ratus tiga puluh empat ribu, Bu," sahut kasir sembari menyerahkan bonnya ke hadapan Ani.

Dengan anggun Ani menyimpan kartu kredit berwarna hitam ke nampan.

"Maaf, Bu ... decline," ucap kasir tersebut sembari menyerahkan kartu kredit Ani.

"Hah? Kok bisa?" Ani kaget karena kartu kreditnya decline, seumur hidup dia tidak pernah mendengar kata decline saat menggesekkan kartu kreditnya itu. "Coba lagi."

"Baik, Bu." Kasir itu menurut dan mencoba kembali kartu kredit Ani.

Mata Ani memperhatikan kasir tersebut karena ia takut kalau kasir itu baru dan salah menginput hingga berujung dengan decline kartu kredit miliknya.

"Tetap tidak bisa, Bu," ucap kasir saat melihat tulisan decline di mesin EDC.

"Masa nggak bisa, sih?" tanya Ani kaget bercampur malu, dengan cepat ia memberikan kartu kredit yang lainnya namun, lagi-lagi Ani harus menahan malu karena kartunya kembali di decline.

"Bu ... ada kartu debit, tunai atau kartu lainnya?" tanya kasir tersebut dengan sesopan mungkin.

Ani yang mulai gelisah dan gundah gulana, akhirnya mengambil ponselnya dan menelepon suaminya, pada dering kedua Ani mendengar suara Rhoma. Suaminya.

"Rhoma ... kenapa kartu aku decline semuanya?"

"Ani ... oh ... Ani, jangan kau pakai kartu kredit itu, jangan Ani ... jangan," ucap Rhoma dengan nada suara tegar dan cepat.

"Kenapa, Rhoma? Ada apa?" tanya Ani yang mulai waswas karena mendengar suara Rhoma yang terdengar tidak seperti biasanya.

"Karena Ani, karena ...." Rhoma menggantung kalimatnya membuat Ani makin waswas.

"Rhoma ... katakan yang sejujurnya, Rhoma," bisik Ani pelan.

"Karena ... kita bangkrut, Ani."

"Apa? Tidak Rhoma ... tidak ...."

••

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cece_Jeje
Dari awal udh ngikik ...... knp q bacanya jd ngikutin logat ngomongnya rhoma ya kak ... terlalu meresapi jd kebawa suasana kyknya ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status