Share

2. Handuk Kecil Untuk Air Mata

Author: Moyayi
last update Last Updated: 2025-07-23 19:57:36

Sebelum hari ini terjadi, Soraya berbicara panjang dengan Tania, seorang yang menjadi dekat karena kebersamaan sejak di bangku sekolah SMA. Hingga beberapa hari itu, Soraya masih menganggapnya sahabat spesial.

Tania menyorongkan ponsel  Soraya yang bagian layarnya memampangkan foto dirinya dengan Raka, suami Soraya.

“Memangnya, apa yang kamu lihat dari foto itu?” tanya Tania sangat santai. Bahkan kemudian dia mengiris steak-nya dan memasukkan ke dalam mulut, sembari menantang tatapan mata Soraya.

Di foto itu, Tania duduk di pangkuan Raka, mengalungkan tangan dengan manja di leher Raka, dan merapatkan pipinya ke pipi Raka. Mungkin itu wajar bagi sebagian orang–meskipun harusnya itu tidak wajar mengingat status masing-masing–tapi itu menjadi sangat tidak wajar karena foto itu dilakukan di sofa yang ada di apartemen Tania.

“Kamu nanya?,” tanya Soraya. “Kamu sama suamiku intim,”

Tania tersenyum  kecil, “Apanya yang selingkuh? Intim? Aku berpakaian, suamimu berpakaian, dan kami berfoto. Tidak ada yang lain-lain.”

“Apa harus pangku-pangkuan?”

“Tidak.”

Jawaban yang sangat singkat dan sangat membuat Soraya semakin dongkol. Jelas sekali kalau Tania sedang mempermainkan dirinya.

“Terus kenapa masih foto model begitu?” tuntut Soraya geram.

“Ya, gak ada kenapa-kenapanya. Itu spontan aja. Kami lagi ngobrol, lagi seru, dan foto bareng. Itu aja.”

“Harusnya kamu tahu batasannya, Tan!” bentak tertahan Soraya. Mereka di restoran dan Soraya tidak mau berbuat onar, yang mengesankan dirinya kampungan.

“Kamu berlebihan, Raya. Itu hanyalah foto biasa saja, tapi kamu membesar-besarkannya. Tidak ada apa-apa antara aku dan suamimu.”

“Kalau tidak ada apa-apa, kenapa foto ini di privasi dari aku?”

“Karena aku tahu kalau kamu akan kayak gini. Curigaan dan main tuduh.”

“Aku gak akan curiga, kalau foto  kalian itu wajar!”

“Wajar versi siapa? Versimu? Jadi, apa-apanya harus sesuai maumu? Kalau mau post foto, juga harus ijin kamu?

Halah, Raya, Raya…, gak gila aja udah untung suamimu itu. Kamu bukan hanya cemburuan, Raya. Kamu juga pengekang, pengaturr—-,”

‘Brak!’

Soraya memukul meja di hadapannya dengan emosi. Kedua manik mata menatap ke depan dengan binar kemarahan. Mengingat pembicaraan dirinya dan Tania membuatnya makin murka.

“Brengsek! Arghhh! Sialan! Kenapa aku diam aja! Ngapain nantang buat bertemu si kuntilanak itu, Kalau ending-nya malah diam aja!”

Soraya terus memaki dirinya sendiri. Kakinya menghentak-hentak di lantau. Sesekali tangannya mengepal dan meninju udara. Kekesalannya atas ingatan kemarin, kembali membuatnya uring-uringan.

“Harusnya kalian mati!” 

Telunjuk Soraya terarah lurus ke depan, bersamaan dengan itu Elan muncul dari ujung tangga. Elan mendelik terkejut, Soraya pun sama. Elan berdehem, Soraya yang tidak enak hati, menarik tangannya.

Elan mendengkat dengan nampan yang di atasnya ada mangkok berisi mie kuah dan segelas kopi. Mie dan kopi mengeluarkan aroma menyatu yang membuat perut Soraya menjerit-jerit menuntut diisi.

“Butuh pembunuh bayaran?” tanya Elan dengan nada ringan. Dia meletakkan mangkok mie di hadapan Soraya yang bengong.

“Maksud?”

Elan tidak langsung menjawab, karena dia masih meletakkan kopi. 

“Kamu akan membunuh seseorang dan lebih, ‘kan?” Elan menegakkan tubuhnya dan melipat kedua tangan di dada. Manik mata gelap Elan dengan terang-terangan menelusuri sosok Soraya.

“Badan sekecil kamu, tidak mungkin kuat menusuk orang. Apalagi sampai dua dan salah satunya pria. Kamu butuh profesional.”

Soraya tercekat, jantungnya seperti sudah melompat dari kerangkanya. Laki-laki di hadapannya adalah orang asing yang Soraya yakin baru kali itu bertemu, tapi laki-laki yang minta disapa “Om Elan” itu, seolah tahu apa yang terjadi pada Soraya.

Elan melirik ke tangan Soraya yang kuku-kukunya terawat baik. Tidak tega kalau terlalu mengkonfrontasi terus-menerus. Perempuan mungil di hadapannya itu jelas sekali sedang terluka, kesakitan, dan pastinya kelaparan.

Elan mengambil nampannya dan mempersilahkan perempuan itu makan. 

“Makan dulu. Mengenang masa lalu pun butuh tenaga. Saranku, bunuh saja para pengkhianat itu dalam pikiranmu dan lanjutkan hidup dalam damai.”

Elan meninggalkan Soraya, tanpa berpaling sedikit pun. Soraya melihat kopinya yang begitu hitam. Dia tidak pernah suka kopi, rasanya pahit, dan jantungnya berdebar jika minum kopi, meskipun seteguk. Tapi, kehidupannya sangat pahit. Jika obat adalah racun untuk melawan racun agar sembuh, mungkin kopi bisa menyembuhkan lukanya.

Soraya meraih gelas kopi dan membatin, ‘Kalau minum seteguk kopi saja, jantungku bisa berdebar keras, mungkin kalau minum segelas, jantungku bisa meledak. Sekalian saja mati gak sih?.’

Baru saja gelas kopi diangkat ketika tangan Elan terulur di depan wajah Soraya, dengan handuk putih yang harum.

Soraya menoleh marah dengan kepala miring sedikit terangkat. “Apalagi ini?”

“Pelayanan terbaik dari kafe ini untuk orang yang patah hati dan sedang kabur. Handuk bersih untuk mengeringkan rambut yang basah.”

“Aku tidak mau.” Soraya menepiskan tangan Elan dengan kasar.

Elan sedikit mundur dan menatap ke lantai juga sofa. Sofa di sebelah Soraya, tidak bisa diselamatkan, sudah  terlihat basah yang lebar karena Soraya meletakkan outer basahnya di situ. Tak berbeda jauh, sofa yang diduduki Soraya pun basah. Lantai terlihat titik-titik air. Soraya mengikuti gerak mata Elan, menyadari kalau dia sudah.

“Aku akan mengganti sofa-sofa yang basah ini, juga lantainya, dengan tips.” Soraya bicara angkuh.

Elan melebarkan handuknya dan berkata, “Kalau begitu, jangan menambah beban kami.”

Elan menyampirkan handuk langsung di atas kepala Soraya. “Keringkan rambutmu dan tubuhmu sebisamu. Di ujung lorong ada toilet.”

“Mengeringkan tubuh? Dengan handuk ini, trus pakai baju ini lagi? Apa tidak konyol?”

Elan menghela napas, memaki dirinya.

“Aku akan bawa naik kopernya.” Elan segera berbalik dan segera berlalu sebelum ada percakapan-percakapan lain yang akan semakin membuatnya kesal.

Di balik punggungnya, Soraya tersenyum puas. Setidaknya, di tengah dukanya, ada sedikit penghiburan. Tanpa sadar Soraya meneguk kopinya dan keheranan.

“Kok, kopi ini enak, ya. Gak pait.” Soraya meneguk lagi kopinya, menikmati manis yang gurih, sebagai sensasi rasa yang baru.

Sementara itu, di bawah, Robi segera menghampiri Elan.

“Bagaimana, Bos?” tanya Robi penasaran.

“Apanya yang bagaimana, sih? Bawa sini kopernya,” perintah Elan sembari memberikan nampan kosong ke Robi.

“Lah, dia mau pergi, Bos?” Robi celingukan ke atas, keheranan karena tidak ada lagi yang turun selain Elan.

“Dia mau ganti baju. Cepat kopernya bawa sini.”

Robi mengangguk dan berbalik untuk mengambil koper si perempuan yang disimpan Elan di bawah meja kasir.

“Namanya siapa, Bos?” tanya Robi yang sudah menenteng koper kecil Soraya.

Elang menggigit bibirnya. Dia lupa menanyakan nama perempuan kecil itu.

“Ya, udah Bos. Nanti aku tanyakan.” Robi bersiap akan naik tangga, tapi Elan menghalangi. Elan langsung mengambil koper yang dibawa Robi dengan wajah garang.

“Jaga kafe dan jangan ada yang ke atas. Biarkan kosong,” perintah Elan.

Dia kemudian berbalik, naik ke atas. Tapi, baru satu anak tangga, terdengar bunyi gedebuk yang keras dan suara berdenting dari benda pecah belah.

Elan dan Robi terpaku, sama-sama mendongak ke atas.

“Bos… dia gak bunuh diri, kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   5. Keresahan di Atas Seprai

    Soraya merasa tidak nyaman dengan kemeja yang dia kenakan. Bukan hanya tentang asal kemeja dari Elan, si pria asing, tapi karena dia merasa tel4nj4ng dengan kemeja saja tanpa celana. Dia menatap ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan kopernya. ‘Mungkin di luar,’ batin Soraya yang segera bangun dari tidurannya dan segera melangkah keluar kamar. Dia membuka pintu dengan kasar, kemudian merasa bersalah.Di sofa, dengan lampu kecil di atas nakas, Elan pura-pura tidur. Dia berusaha mengabaikan Soraya karena tidak yakin dengan dirinya sendiri. Kejadian di kamar tadi saja, sudah hampir membuatnya goyah.Keinginan Elan gagal, Soraya berdiri di hadapannya dan langsung menarik lengan Elan yang tadi melipat di wajah, untuk menutup mata. Otomatis kedua mata Elan terbuka dan dadanya berdenyut, melihat Soraya berdiri sangat dekat dengan dirinya. Posisinya tidak tepat. Sofa yang tingginya sepaha Soraya dan Elan yang rebah, membuat paha mulus Soraya terpampang sangat jelas–putih, mulus, berkilau.

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   4. Memikirkan Yang Kabur

    Wajah Soraya sangat dekat dengan wajah Elan. Napas keduanya saling bertemu membaur hangat. Soraya merasakan dada kirinya tertekan. Itu hangat. Soraya tahu itu apa tanpa perlu memeriksa. Secepat kilat tangan kirinya terangkat dan langsung menjambak Elan dengan kuat.“Ah! Aduh!” Elan mengaduh. Jambakan Soraya begitu kuat sampai kepala Elan menunduk dalam.“Cabul! Mesum! Pemerkosa! Lepaskan tanganmu! Lepas! Menjijikkan! Sampah!” teriak marah Soraya dengan sebulir air mata yang mengalir di pipi.Wajah Elan sudah merah karena sakit marah. Tanpa banyak pertimbangan, Elan melepaskan tangannya.Dan untuk kedua kalinya tubuh Soraya oleng. Bahkan kali ini dipastikan Soraya akan jatuh terjerembab di lantai marmer yang sangat keras. Bagai gerakan lambat di film-film, kedua tangan Soraya terulur menggapai-gapai. Kedua mata bulatnya semakin membulat, menatap Elan.Elan sendiri berada pada tepian dilematis; membantu atau mengabaikan. Jika dibantu, dia akan menghadapi hinaan yang semakin dalam, jika

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   3. Kemeja dan Kesalahpahaman

    Soraya membuka sedikit kelopak matanya dan meringis karena cahaya masuk tiba-tiba. Tubuhnya terasa sakit. Perlahan, retina Soraya bisa beradaptasi dengan cahaya. Mimpi buruknya amat kelam.Waktu Soraya jatuh sakit, Raka–suaminya membawanya ke rumah sakit. Pernikahannya sudah berjalan 8 bulan, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal orang-orang terdekatnya, bisa hamil setelah sebulan atau dua bulan menikah. Ucapan maaf yang dikemudian hari disesali Soraya, karena seharusnya dia tidak perlu begitu. Hamil atau tidak, bukanlah salahnya.“Sebenarnya kamu bisa hamil apa enggak, sih?” teriak Ibu mertuanya kala itu. Membuatnya kini membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal karena mimpi yang membawa emosi. Untuk sesaat, Soraya tidak tahu keberadaannya. Kedua matanya berputar-putar liar menatap langit-langit kamar yang asing.Soraya langsung bangun dan seketika diserang sengatan kecil di dalam kepala. Dia mengaduh, menunduk, memijat kening dengan wajah meringis. Setelah agak baikan

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   2. Handuk Kecil Untuk Air Mata

    Sebelum hari ini terjadi, Soraya berbicara panjang dengan Tania, seorang yang menjadi dekat karena kebersamaan sejak di bangku sekolah SMA. Hingga beberapa hari itu, Soraya masih menganggapnya sahabat spesial.Tania menyorongkan ponsel Soraya yang bagian layarnya memampangkan foto dirinya dengan Raka, suami Soraya.“Memangnya, apa yang kamu lihat dari foto itu?” tanya Tania sangat santai. Bahkan kemudian dia mengiris steak-nya dan memasukkan ke dalam mulut, sembari menantang tatapan mata Soraya.Di foto itu, Tania duduk di pangkuan Raka, mengalungkan tangan dengan manja di leher Raka, dan merapatkan pipinya ke pipi Raka. Mungkin itu wajar bagi sebagian orang–meskipun harusnya itu tidak wajar mengingat status masing-masing–tapi itu menjadi sangat tidak wajar karena foto itu dilakukan di sofa yang ada di apartemen Tania.“Kamu nanya?,” tanya Soraya. “Kamu sama suamiku intim,”Tania tersenyum kecil, “Apanya yang selingkuh? Intim? Aku berpakaian, suamimu berpakaian, dan kami berfoto. Ti

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   1. Kenangan dan Kepergian

    “Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya. Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi. “Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka. Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. “Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….” “CUKUP!” Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah. “Hei, Soraya! Kamu gak liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!” Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk. “Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status