Share

Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku
Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku
Penulis: Moyayi

1. Kenangan dan Kepergian

Penulis: Moyayi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-24 14:54:39

“Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya.

Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi.

“Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka.

Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. 

“Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….”

“CUKUP!”

Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah.

“Hei, Soraya! Kamu gak  liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!”

Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk.

“Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini, isinya cuma kamu aja? Kalau mau ribut, cari tempat di luar. Di gunung, kek! Di hutan, kek! Bukan di rumah! Bikin orang makan, jadi mau muntah.” Daksa mendengkus dan melangkah meninggalkan ruang makan.

Saat dekat dengan Soraya, Daksa melanjutkan kalimatnya. “Laki-laki…, biasa kalau punya banyak teman wanita. Gak usah hal begituan, direwelin. Stres dibikin sendiri.” Setelahnya, Daksa langsung melengos dan meninggalkan ruang makan.

“Dengerin itu. Makanya bergaul,” cetus Raka. “Tania itu sahabatmu. Aku pergi juga atas sepengetahuanmu. Kalau pun aku ada di rumahnya, apa yang salah? Dia sahabatmu, berarti sahabatku juga. Lagian aku dan dia gak ngapa-ngapain. Dan foto itu gak jelasin apa-apa. Kecuali otak dan hatimu kotor.”

“Soraya.” Kali ini Asri, ibu mertua Soraya yang bicara. “Kamu gak capek, ngajak suamimu ribut terus? Istri macam apa kamu ini? Gak mungkin anakku selingkuh, memang pikiranmu saja yang kotor.”

“Tapi, buktinya ada, Ma,” ucap Soraya putus asa. Suaranya bergetar dan air mata jatuh.

“Bukti apa? Foto? Halah Raya, Raya. Kamu gak denger apa kata papanya? Laki-laki itu sudah biasa punya banyak temen perempuan. Biasa juga foto-foto sana–sini. Kamunya aja yang stres, asal main tuduh. 

Harusnya, jadi istri nurut dan percaya. Kalau Raka bilang gak selingkuh, artinya memang enggak. Kamu ini udah ….”

“Ma.” Raka menegur lirih ibunya dan menepuk-nepuk lembut punggung tangan ibunya.

“Ck! Banyak kurangnya. Udah untung dinikahin,” ucap kesal Asri.

Soraya tidak bodoh. Kalimat yang dihentikan itu, sangat mudah ditebak karena terlalu sering diucapkan. Soraya sudah membuat keputusannya. Dia sudah tidak tahan lagi.

“Aku menuntut perceraian!”

***

Hari ini yang hujan.

Kaca mobil travel, sedikit berembun dan di luar begitu basah. Hujan masih deras, sederas tangisan di dalam hati Soraya Sasmita. Soraya tidak tahu kenapa harus datang ke kota kecil ini. Dia hanya ingin pergi dan konten tentang kota ini muncul. Tanpa banyak pertimbangan, Soraya mengemasi pakaiannya dan keluar dari rumah.

Mobil travel berhenti, si sopir menoleh ke belakang. Dia sebenarnya bingung dengan Soraya. Wanita muda itu tidak memberitahukan tujuannya, dia terus diam di sepanjang jalan. Karena sudah membayar tunai, si sopir tidak mengganggu, kecuali saat ini, Soraya adalah penumpang terakhir yang harus diantarnya.

“Mbak, Mbak Soraya. Mau di antar ke mana?”

Perenungan Soraya tergugah. Dia menegakkan tubuhnya dan tolah-toleh. Tersisa dirinya yang tanpa tujuan.

“Di sini saja,” jawab spontan Soraya yang mulai menyelempangkan tasnya.

“Nggg … yakin, Mbak? Atau mau ….” Kalimat si sopir travel berhenti karena Soraya sudah keluar. Buru-buru si sopir pun keluar dari  mobil, mengabaikan hujan. Soraya tidak peduli air hujan yang mengenai kepalanya. Dia diam meihat sekeliling, tempat yang asing, tempat yang dia tidak tahu akan apa.

“Mbak, ini kopernya.”

Soraya mengangguk dan menarik tuas kopernya.

“Terima kasih,” ucap Soraya setengah berbisik.

“Mbak, sebentar,” cegah si sopir yang usianya awal 50-an. “Mbak Soraya mau ke mana? Biar saya antarkan. Atau mau cari penginapan? Saya tahu tempat terbagus untuk menginap.”

“Nanti biar saya cari sendiri. Terima kasih.” 

Soraya melanjutkan langkahnya dengan koper beroda yang diseret. Si sopir travel hanya bisa menghela napas dan mengangkat bahu, pasrah, yang terpenting dia sudah menjalankan kewajibannya. 

Soraya melangkah kecil dengan membawa kenangan buruk yang  masih terus melintas.

Sementara di dalam kafe dan restoran Titik Dua.

“Bos!” seru lirih Robi sembari menatap keluar kafe.

Elan yang sedang membersihkan mesin kopi, mendongak, menatap bawahannya dengan kernyitan di kening. Dia pun beranjak mendekati Robi dan ikut menatap keluar melalui jendela kaca yang lebar.

Elan melihat seorang perempuan, yang mengenakan long outer sampai di bawah lutut, yang membuat tubuh mungil dan kecil perempuan itu seperti tenggelam. Perempuan itu membawa koper kecil dan kehujanan–atau sengaja mandi hujan. 

“Hantu atau manusia, Bos?” tanya Robi masih mempertahankan suara lirihnya.

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, Elan dan Robi sama-sama terkejut. Elan malu karena ikut kaget, dia mendelik ke Robi.

“Brengsek! Gitu aja kaget. Ke belakang, sana. Siapkan mie kuah istimewa kita dan roti toast,” perintah Elan yang kembali melihat keluar.

“Buat siapa, Bos?” 

“Buat yang akan masuk.”

“Kan belum pesan.”

Elan memberikan tatapan tajam yang membuat Robi segan dan segera berbalik, melangkah menuju dapur.

Begitu Elan kembali menatap keluar, kedua matanya langsung bertemu dengan mata si perempuan yang menatapnya dengan tidak suka. Elan sedikit malu. Posisinya tidak benar, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya hampir menyentuh kaca, sikapnya sangat jelas seperti seorang pengintip. Elan menegakkan tubuhnya, bersiap menerima tamunya yang kebasahan.

’Tring … tring ….’

Soraya masuk kafe dengan penampilannya yang paling berantakan. Basah, lepek, dan pucat. Tapi dia tidak peduli itu. 

“Selamat datang di Kafe Titik Dua.” Elan menyapa seperti biasa dari balik meja bar, tapi untuk kali ini tidak ada keramahan.

“Kafe ini menyediakan makanan, minuman, dan buku-buku. Tidak menyediakan tempat untuk kabur.”

Soraya mendekati meja bar yang sengaja ada di dekat pintu masuk. Ia menaikkan alis, mengernyit keningnya terheran.

Elan memajukan tubuhnya, dengan sengaja menatap ke koper dorong Soraya.

Soraya akhirnya paham alasan Elan bicara begitu.

“Kamu cuma barista. Jangan sok tahu.”

“Barista sekarang, memastikan kafe bosnya tidak dijadikan tempat kabur anak kecil yang baru dimarahi orang tuanya atau baru saja ditinggal selingkuh kekasihnya.”

Soraya yang baru akan bicara, jadi bungkam. Kalimat terakhir, membuatnya pedih. Dirinya memang diselingkuhi.

“Aku kira ini adalah kafe seperti yang tertulis di depan. Taunya attitude baristanya buruk,” ucap  ketus Soraya.

“Pernyataan pertama benar. Ini memang kafe. Untuk pernyataan kedua, saya bukan barista. Nama saya Elan. Panggil aja Om Elan.”

“Om mesum!” bentak Soraya. “Nyesel aku masuk sini. Lebih baik cari kafe lain.”

“Silahkan. Tapi, hujannya deras lagi dan ini mau malam. Semoga kamu selamat di jalan.” Elan tersenyum licik.

Soraya menoleh keluar dan terhenyak saat muncul kilatan petir. Rasa takut menyergap. Tak lama bunyi gemuruh guntur, membuat tubuh mungil Soraya melentik. Dia langsung menunduk, memejamkan mata, berusaha untuk  tegar. Terpaksa, Soraya urung keluar dari kafe.

Elan yang melihat ketakutan dan keresahan Soraya, menjadi tidak tega.

“Tidak apa-apa menelan ludah sendiri. Silahkan cari tempat duduk. Kalau butuh ruang yang kosong, kamu bisa ke lantai dua. Di sana juga ada buku yang bisa dibaca atau dibeli.”

Soraya menelan perasaan dongkolnya. Dia tidak mungkin keluar kafe, karena takut disambar petir, dan perutnya juga semakin perih, belum terisi makanan sejak kemarin. Soraya melengos dan menarik kopernya, masuk lebih dalam ke Kafe Titik Dua.

“Tunggu!”

Soraya menghentikan langkahnya dengan hentakan kaki dan menoleh.

“Apa lagi?” bentak Soraya.

“Kopernya taruh disini. Saya perlu cek apakah isinya barang-barang mencurigakan.” imbuhnya. “Satu lagi, baju kamu basah dan daritadi nerawang.” 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   5. Keresahan di Atas Seprai

    Soraya merasa tidak nyaman dengan kemeja yang dia kenakan. Bukan hanya tentang asal kemeja dari Elan, si pria asing, tapi karena dia merasa tel4nj4ng dengan kemeja saja tanpa celana. Dia menatap ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan kopernya. ‘Mungkin di luar,’ batin Soraya yang segera bangun dari tidurannya dan segera melangkah keluar kamar. Dia membuka pintu dengan kasar, kemudian merasa bersalah.Di sofa, dengan lampu kecil di atas nakas, Elan pura-pura tidur. Dia berusaha mengabaikan Soraya karena tidak yakin dengan dirinya sendiri. Kejadian di kamar tadi saja, sudah hampir membuatnya goyah.Keinginan Elan gagal, Soraya berdiri di hadapannya dan langsung menarik lengan Elan yang tadi melipat di wajah, untuk menutup mata. Otomatis kedua mata Elan terbuka dan dadanya berdenyut, melihat Soraya berdiri sangat dekat dengan dirinya. Posisinya tidak tepat. Sofa yang tingginya sepaha Soraya dan Elan yang rebah, membuat paha mulus Soraya terpampang sangat jelas–putih, mulus, berkilau.

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   4. Memikirkan Yang Kabur

    Wajah Soraya sangat dekat dengan wajah Elan. Napas keduanya saling bertemu membaur hangat. Soraya merasakan dada kirinya tertekan. Itu hangat. Soraya tahu itu apa tanpa perlu memeriksa. Secepat kilat tangan kirinya terangkat dan langsung menjambak Elan dengan kuat.“Ah! Aduh!” Elan mengaduh. Jambakan Soraya begitu kuat sampai kepala Elan menunduk dalam.“Cabul! Mesum! Pemerkosa! Lepaskan tanganmu! Lepas! Menjijikkan! Sampah!” teriak marah Soraya dengan sebulir air mata yang mengalir di pipi.Wajah Elan sudah merah karena sakit marah. Tanpa banyak pertimbangan, Elan melepaskan tangannya.Dan untuk kedua kalinya tubuh Soraya oleng. Bahkan kali ini dipastikan Soraya akan jatuh terjerembab di lantai marmer yang sangat keras. Bagai gerakan lambat di film-film, kedua tangan Soraya terulur menggapai-gapai. Kedua mata bulatnya semakin membulat, menatap Elan.Elan sendiri berada pada tepian dilematis; membantu atau mengabaikan. Jika dibantu, dia akan menghadapi hinaan yang semakin dalam, jika

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   3. Kemeja dan Kesalahpahaman

    Soraya membuka sedikit kelopak matanya dan meringis karena cahaya masuk tiba-tiba. Tubuhnya terasa sakit. Perlahan, retina Soraya bisa beradaptasi dengan cahaya. Mimpi buruknya amat kelam.Waktu Soraya jatuh sakit, Raka–suaminya membawanya ke rumah sakit. Pernikahannya sudah berjalan 8 bulan, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal orang-orang terdekatnya, bisa hamil setelah sebulan atau dua bulan menikah. Ucapan maaf yang dikemudian hari disesali Soraya, karena seharusnya dia tidak perlu begitu. Hamil atau tidak, bukanlah salahnya.“Sebenarnya kamu bisa hamil apa enggak, sih?” teriak Ibu mertuanya kala itu. Membuatnya kini membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal karena mimpi yang membawa emosi. Untuk sesaat, Soraya tidak tahu keberadaannya. Kedua matanya berputar-putar liar menatap langit-langit kamar yang asing.Soraya langsung bangun dan seketika diserang sengatan kecil di dalam kepala. Dia mengaduh, menunduk, memijat kening dengan wajah meringis. Setelah agak baikan

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   2. Handuk Kecil Untuk Air Mata

    Sebelum hari ini terjadi, Soraya berbicara panjang dengan Tania, seorang yang menjadi dekat karena kebersamaan sejak di bangku sekolah SMA. Hingga beberapa hari itu, Soraya masih menganggapnya sahabat spesial.Tania menyorongkan ponsel Soraya yang bagian layarnya memampangkan foto dirinya dengan Raka, suami Soraya.“Memangnya, apa yang kamu lihat dari foto itu?” tanya Tania sangat santai. Bahkan kemudian dia mengiris steak-nya dan memasukkan ke dalam mulut, sembari menantang tatapan mata Soraya.Di foto itu, Tania duduk di pangkuan Raka, mengalungkan tangan dengan manja di leher Raka, dan merapatkan pipinya ke pipi Raka. Mungkin itu wajar bagi sebagian orang–meskipun harusnya itu tidak wajar mengingat status masing-masing–tapi itu menjadi sangat tidak wajar karena foto itu dilakukan di sofa yang ada di apartemen Tania.“Kamu nanya?,” tanya Soraya. “Kamu sama suamiku intim,”Tania tersenyum kecil, “Apanya yang selingkuh? Intim? Aku berpakaian, suamimu berpakaian, dan kami berfoto. Ti

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   1. Kenangan dan Kepergian

    “Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya. Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi. “Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka. Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. “Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….” “CUKUP!” Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah. “Hei, Soraya! Kamu gak liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!” Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk. “Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status