Share

4. Memikirkan Yang Kabur

Penulis: Moyayi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-23 20:22:41

Wajah Soraya sangat dekat dengan wajah Elan. Napas keduanya saling bertemu membaur hangat. Soraya merasakan dada kirinya tertekan. Itu hangat. Soraya tahu itu apa tanpa perlu memeriksa. Secepat kilat tangan kirinya terangkat dan langsung menjambak Elan dengan kuat.

“Ah! Aduh!”  Elan mengaduh. Jambakan Soraya begitu kuat sampai kepala Elan menunduk dalam.

“Cabul! Mesum! Pemerkosa! Lepaskan tanganmu! Lepas! Menjijikkan! Sampah!” teriak marah Soraya dengan sebulir air mata yang mengalir di pipi.

Wajah Elan sudah merah karena sakit marah. Tanpa banyak pertimbangan, Elan melepaskan tangannya.

Dan untuk kedua kalinya tubuh Soraya oleng. Bahkan kali ini dipastikan Soraya akan jatuh terjerembab di lantai marmer yang sangat keras. Bagai gerakan lambat di film-film, kedua tangan Soraya terulur menggapai-gapai. Kedua mata bulatnya semakin membulat, menatap Elan.

Elan sendiri berada pada tepian dilematis; membantu atau mengabaikan. Jika dibantu, dia akan menghadapi hinaan yang semakin dalam, jika tidak dibantu, dipastikan tulang ekor gadis itu akan cedera.

Dan Elan mengambil resiko dimaki atau dihina. Tangannya terulur menangkap tangan kiri Soraya, menariknya kuat dengan hentakan, dalam sekejap tubuh Soraya masuk dalam pelukan Elan. Tanpa membuang waktu, Elan mengangkat tubuh kecil Soraya dan langsung memanggulnya di pundak.

“A … apa-apaan ini? Lepaskan! Kamu mau lakukan apa?” tanya Soraya panik. Tangannya memukul-mukul punggung bawah Elan.

“Berhenti! Atau kamu akan mendapatkan yang lebih sakit lagi,” ancam Elan sambil berjalan. 

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Soraya was-was.

“Mmm … entahlah. Ada banyak pilihan. Melakukan hal yang menyenangkan atau mungkin … masak rendang. Aku tidak keberatan makan daging manusia.”

Soraya menelan air liurnya. Begitu takutnya dia sampai tidak berani bicara apa-apa lagi. Tubuhnya juga tidak berontak lagi, untuk yang ini ada alasan lainnya; kakinya semakin kesakitan dan kepalanya semakin pusing karena posisinya di bawah.

‘Bugh!’

Tubuh Soraya dilempar ke tempat tidur. Tidak sakit, tapi Soraya tidak suka, makanya dia langsung bangun duduk dengan napas tersengal. Elan sendiri langsung berbalik melangkah kembali ke pintu dan mengambil nampan makanan yang tadi menjadi bencana bagi Soraya.

Saat Elan berbalik ….

‘Bruk’

“Aduuuhhh!” 

Soraya jatuh duduk dengan posisi miring dari atas tempat tidur. Elan yang mulanya melongo, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sikap santai saja mendekati Soraya yang justru menatap Elan dengan kepanikan. Sikap tenang Elan yang sudah meletakkan nampan makanan di meja nakas, semakin membuat Soraya kalang kabut. Dia berusaha membuat kaki kanannya yang sakit, mau bekerja sama dengan tubuhnya, untuk  melakukan aksi.

Elan sudah berdiri di depan Naya dengan kaki terbuka dan kedua tangan masuk ke dalam  saku celana piayamanya. Dari posisinya, Naya terpaksa mendongak tinggi, mendapati sosok Elan yang seperti raksasa, siap menginjaknya.

“Jadi bagaimana? Mau dilakukan di lantai atau tempat tidur?” tanya Elan.

“Jangan macam-macam kamu! Aku punya suami Aku sudah menikah!” bentak Soraya.

“Oh … ya …?” 

“Ini! Lihat pakai matamu.” Soraya mengulurkan tangan kanannya dan sengaja menegakkan jemari tangannya, terutama jari manis.

Elan memiringkan sedikit kepalanya. Menatap malas jari lentik Soraya. 

“Ck … Terlalu kecil, terlalu kurus, satu jari … kurang nikmat.”

Soraya bingung, dia menatap jemarinya sendiri, dan langsung melotot. Ditariknya cepat jemari tangannya, sempat bingung sendiri.

Ingatannya cepat datang. Sudah sejak dia muak dengan pernikahannya, Soraya melepas cincin pernikahannya.

“Persiapanmu kurang matang nona kecil.” Elan berjongkok di depan Soraya. Tangannya terulur, menowel dagu Soraya.

“Brengsek!” Soraya menepis keras tangan Elan. “Jangan pegang-pegang. Aku akan teriak.”

“Lakukan. Tapi…, kalau aku jadi kamu, aku akan bersikap tenang karena terik hanya percuma. Kamar ini memiliki pengedap suara. Boleh dicoba,” tantang Elan. “Tapi kalau sampai teriakan ketiga, tidak ada pertolongan buatmu, maka akan ku percepat proses memasak rendang daging manusia.”

Itu taruhan bagi Soraya. Bisa jadi Elan berbohong perihal peredam. Bisa jadi juga Elan berbohong tentang masak rendang daging manusia. Tapi, bisa jadi juga semua itu benar.

Sedang Soraya menimbang, Elan menumpuk dua bantal di belakang punggung Soraya.

“Mundur.”

Soraya mendongak dan melongo. Elan menjawab dengan gerakan kepala agar duduk Soraya mundur. Ajaib, Soraya menurut, bergeser mundur. Ada napas lega karena Soraya merasa nyaman punggungnya mendapat sandaran lembut.

Elan berjalan ke sisi lain kamar dan menarik meja portabel yang beroda. Diletakkan di sisi tempat tidur, lalu mengatur tingginya agar pas di depan dada Soraya, barulah nampan makanan diletakkan.

“Makan sendiri atau disuap?”

Terlihat Soraya bersiap untuk berontak dan Elan mendesis dengan wajah kesal. Sadar diri kalau posisinya tidak baik, Soraya memutuskan menurut dulu. Soraya mengambil sendok makan dan mulai menyendok bubur ayam yang tak lagi hangat. Begitu satu suapan masuk, lidah dan perutnya menuntut tambah. Itu karena enak.

Elan duduk di dekat kaki Soraya. Sempat Soraya menarik kakinya yang dipegang Elan, tapi tentu Elan lebih kuat menahan dan Soraya jadi kesakitan.

“Nurut aja, biar gak tambah sakit,” ucap kalem Elan yang mulai memijit ringan kaki Soraya.

Soraya menikmati makanannya perlahan, sembari mengamati Elan yang masih serius memijit kakinya.

“Apa kamu sengaja?”

Elan berhenti memijat kaki Soraya dan bersikap serius. Ekspresi wajahnya jelas menyiratkan tanya.

“Kamu sengaja menyuguhkan kopi tanpa bertanya dulu. Kamu lihat aku sendirian dan berantakan. Kamu suruh aku ke lantai atas. Dari situlah kamu mulai berjudi dengan kopimu. Kalau aku tidak pingsan…, ya sudah. Tapi, kalau aku pingsan…, itu menjadi peluangmu untuk melakukan ini itu, termasuk perbuatan cabul. Begitu, ’kan?”

Senyum Elan semakin lebar, mencegah tawa yang hampir meledak.

“Apa kamu merasakan bekas tanganku di dadamu?” tanya Elan sambil beringsut mendekat.

Soraya langsung meletakkan sendoknya dan menutupi dadanya dengan kedua tangan. Keningnya mengernyit karena merasakan dadanya yang masih terlindung bra. Itu agak aneh.

“Apa milikmu ….” Dengan sengaja Elan mengarahkan tatapannya ke bawah. Kedua kaki Soraya langsung merapat salah tingkah, bahkan tangan kanannya kembali menarik-narik ujung kemeja agar menutupi bagian intimnya.

“Terasa hangat?” lanjut Elan.

Soraya menelan ludah. Dia berusaha tenang, tapi bagian dari dirinya mencoba merasakan apakah ada rasa hangat tersisa

Jarak Elan menipis. Keresahan Soraya membuat Elan berhasrat. Sikap berani yang menutupi, justru menarik Elan lebih dekat, menggoda dan mungkin merasakan. Apalagi melihat Soraya menggigit bibir bawah, melepas basah, itu berbeda dari yang lain.

“Tapi, kamu tetap sudah menelanjangiku!” bentak keras Soraya sembari menggebrak meja protable.

Elan terdiam. Tangannya yang bersiap nakal, meremas kuat. Ada kelegaan dari sisi Elan karena dia tidak jadi berbuat sesuatu di luar kendalinya. Elan segera berdiri. Dia tidak nyaman berdekatan dengan Soraya. Sejak kemunculannya, gadis itu sudah membuatnya susah.

“Ooo, kamu menyesal karena aku yang menelanjangimu atau kamu maunya orang lain di kafe yang menelanjangimu?” tanya sinis Elan.

“Brengsek! Kamu kira aku murahan?”

“Aku akan tidur di sebelah. Kalau kamu perlu sesuatu, teriak saja.” Elan mengabaikan pertanyaan Soraya dan melangkah menuju ke ruang sebelah kamar yang adalah ruang kerjanya.

“Kamu bilang kamar ini ada peredamnya.”

“Aku bohong,” ucap Elan santai yang sudah berdiri di ambang pintu geser. “Tapi, kalau kamu mau teriak sekarang, silahkan saja. Yang penting mentalmu aman saat orang-orang datang dan kamu ditanya-tanya dengan pakaian yang seperti itu.”

Elan memberikan senyuman misterius yang nakal. Dia menutup pintu geser, menutup percakapan, untuk sementara waktu. Sedangkan Soraya hanya bisa menahan diri dan mencoba menenangkan diri. Dia tidak bisa gila lalu membuat skandal ramai, hanya gara-gara berada di rumah Elan dengan kemejanya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   5. Keresahan di Atas Seprai

    Soraya merasa tidak nyaman dengan kemeja yang dia kenakan. Bukan hanya tentang asal kemeja dari Elan, si pria asing, tapi karena dia merasa tel4nj4ng dengan kemeja saja tanpa celana. Dia menatap ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan kopernya. ‘Mungkin di luar,’ batin Soraya yang segera bangun dari tidurannya dan segera melangkah keluar kamar. Dia membuka pintu dengan kasar, kemudian merasa bersalah.Di sofa, dengan lampu kecil di atas nakas, Elan pura-pura tidur. Dia berusaha mengabaikan Soraya karena tidak yakin dengan dirinya sendiri. Kejadian di kamar tadi saja, sudah hampir membuatnya goyah.Keinginan Elan gagal, Soraya berdiri di hadapannya dan langsung menarik lengan Elan yang tadi melipat di wajah, untuk menutup mata. Otomatis kedua mata Elan terbuka dan dadanya berdenyut, melihat Soraya berdiri sangat dekat dengan dirinya. Posisinya tidak tepat. Sofa yang tingginya sepaha Soraya dan Elan yang rebah, membuat paha mulus Soraya terpampang sangat jelas–putih, mulus, berkilau.

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   4. Memikirkan Yang Kabur

    Wajah Soraya sangat dekat dengan wajah Elan. Napas keduanya saling bertemu membaur hangat. Soraya merasakan dada kirinya tertekan. Itu hangat. Soraya tahu itu apa tanpa perlu memeriksa. Secepat kilat tangan kirinya terangkat dan langsung menjambak Elan dengan kuat.“Ah! Aduh!” Elan mengaduh. Jambakan Soraya begitu kuat sampai kepala Elan menunduk dalam.“Cabul! Mesum! Pemerkosa! Lepaskan tanganmu! Lepas! Menjijikkan! Sampah!” teriak marah Soraya dengan sebulir air mata yang mengalir di pipi.Wajah Elan sudah merah karena sakit marah. Tanpa banyak pertimbangan, Elan melepaskan tangannya.Dan untuk kedua kalinya tubuh Soraya oleng. Bahkan kali ini dipastikan Soraya akan jatuh terjerembab di lantai marmer yang sangat keras. Bagai gerakan lambat di film-film, kedua tangan Soraya terulur menggapai-gapai. Kedua mata bulatnya semakin membulat, menatap Elan.Elan sendiri berada pada tepian dilematis; membantu atau mengabaikan. Jika dibantu, dia akan menghadapi hinaan yang semakin dalam, jika

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   3. Kemeja dan Kesalahpahaman

    Soraya membuka sedikit kelopak matanya dan meringis karena cahaya masuk tiba-tiba. Tubuhnya terasa sakit. Perlahan, retina Soraya bisa beradaptasi dengan cahaya. Mimpi buruknya amat kelam.Waktu Soraya jatuh sakit, Raka–suaminya membawanya ke rumah sakit. Pernikahannya sudah berjalan 8 bulan, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal orang-orang terdekatnya, bisa hamil setelah sebulan atau dua bulan menikah. Ucapan maaf yang dikemudian hari disesali Soraya, karena seharusnya dia tidak perlu begitu. Hamil atau tidak, bukanlah salahnya.“Sebenarnya kamu bisa hamil apa enggak, sih?” teriak Ibu mertuanya kala itu. Membuatnya kini membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal karena mimpi yang membawa emosi. Untuk sesaat, Soraya tidak tahu keberadaannya. Kedua matanya berputar-putar liar menatap langit-langit kamar yang asing.Soraya langsung bangun dan seketika diserang sengatan kecil di dalam kepala. Dia mengaduh, menunduk, memijat kening dengan wajah meringis. Setelah agak baikan

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   2. Handuk Kecil Untuk Air Mata

    Sebelum hari ini terjadi, Soraya berbicara panjang dengan Tania, seorang yang menjadi dekat karena kebersamaan sejak di bangku sekolah SMA. Hingga beberapa hari itu, Soraya masih menganggapnya sahabat spesial.Tania menyorongkan ponsel Soraya yang bagian layarnya memampangkan foto dirinya dengan Raka, suami Soraya.“Memangnya, apa yang kamu lihat dari foto itu?” tanya Tania sangat santai. Bahkan kemudian dia mengiris steak-nya dan memasukkan ke dalam mulut, sembari menantang tatapan mata Soraya.Di foto itu, Tania duduk di pangkuan Raka, mengalungkan tangan dengan manja di leher Raka, dan merapatkan pipinya ke pipi Raka. Mungkin itu wajar bagi sebagian orang–meskipun harusnya itu tidak wajar mengingat status masing-masing–tapi itu menjadi sangat tidak wajar karena foto itu dilakukan di sofa yang ada di apartemen Tania.“Kamu nanya?,” tanya Soraya. “Kamu sama suamiku intim,”Tania tersenyum kecil, “Apanya yang selingkuh? Intim? Aku berpakaian, suamimu berpakaian, dan kami berfoto. Ti

  • Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku   1. Kenangan dan Kepergian

    “Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya. Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi. “Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka. Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. “Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….” “CUKUP!” Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah. “Hei, Soraya! Kamu gak liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!” Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk. “Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status