Soraya membuka sedikit kelopak matanya dan meringis karena cahaya masuk tiba-tiba. Tubuhnya terasa sakit. Perlahan, retina Soraya bisa beradaptasi dengan cahaya. Mimpi buruknya amat kelam.
Waktu Soraya jatuh sakit, Raka–suaminya membawanya ke rumah sakit. Pernikahannya sudah berjalan 8 bulan, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal orang-orang terdekatnya, bisa hamil setelah sebulan atau dua bulan menikah. Ucapan maaf yang dikemudian hari disesali Soraya, karena seharusnya dia tidak perlu begitu. Hamil atau tidak, bukanlah salahnya. “Sebenarnya kamu bisa hamil apa enggak, sih?” teriak Ibu mertuanya kala itu. Membuatnya kini membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal karena mimpi yang membawa emosi. Untuk sesaat, Soraya tidak tahu keberadaannya. Kedua matanya berputar-putar liar menatap langit-langit kamar yang asing. Soraya langsung bangun dan seketika diserang sengatan kecil di dalam kepala. Dia mengaduh, menunduk, memijat kening dengan wajah meringis. Setelah agak baikan, Soraya melihat sekitar, dan Soraya segera sadar kalau ini bukanlah kamarnya. “Eh! Di mana ini?” Soraya beringsut turun dari tempat tidur. Tubuhnya berputar-putar mencari-cari sesuatu yang bisa membuatnya tenang. Tidak ada! Semua asing. Kopernya entah di mana dan tasnya juga tidak ada. Soraya panik, napasnya naik turun dengan cepat. Di tengah kepanikannya, Soraya mendengar siulan dari arah luar kamar. Bergegas dia berlari ke pintu dan langsung menguncinya. Bunyi ceklik kunci pintu, menghentikan suara siulan. Soraya merapatkan diri ke daun pintu. ‘Jegrek … grek ….’ Soraya mundur selangkah. Ketakutannya membesar melihat gerendel pintu yang bergerak naik turun dengan cepat. “Halo mbak! Jangan bunuh diri diam diam!” Soraya cegukan saat kamarnya digedor. Suara bariton itu terdengar kesal. Itu seperti pertanda yang tidak baik. “Halo!,” suara pria itu lebih keras dengan gerendel pintu yang bergerak cepat naik turun. Soraya berjalan mundur tanpa mengalihkan tatapannya dari daun pintu. Jantungnya semakin berdebar tidak karuan. Kesunyian di luar justru terasa menakutkan karena itu membuat Soraya harus mengira-ngira, padahal siapa yang di luar kamar saja, dia tidak tahu. ‘Greeekkk’ Tubuh Soraya melentik terkejut dan langsung berbalik badan. Ternyata ada pintu geser sebagai panel penghubung antar ruangan dan Elan muncul dengan wajah bersungut. Elan tidak menggunakan pakaian. Dia hanya mengenakan celana piyama yang tipis berwarna abu-abu yang menggantung rendah tepat di pinggangnya. Soraya bisa dengan jelas melihat garis-garis otot Elan yang terlihat begitu kokoh. Sepertinya itu menggoda untuk dijamah. “Untuk apa dikunci?” Elan bertanya dengan langkah lebar yang pasti menuju ke Soraya. Perempuan muda itu mulai menyadari situasinya. Dia buang ketertarikannya pada dada Elan. Ini di kamar yang asing, pria itu tanpa baju dan celana piyama itu pakai karet yang mudah diturunkan. Bukan situasi yang menyenangkan karena mereka asing dan Soraya merasa dalam bahaya. “Aaaaa!” Soraya berbalik dan berlari ke arah pintu. “Pergi!” “Kenapa aku harus pergi?” tanya Elan tanpa menghentikan langkahnya. Soraya sudah membuka pintu dan kini ganti Elan yang berteriak, “Awas!” Reflek Soraya sedang bagus. Dia sempat melihat nampan berisi bubur dan segelas air putih. Soraya memang sempat melompatinya, tapi itu tindakan yang tergesa-gesa. Kaki kanan Soraya mendarat salah, membuat tubuhnya limbung, jatuh dalam posisi engkel kaki menekuk. “AAA!” Soraya menjerit sejadi-jadinya. Punggungnya sakit, lengan yang dia gunakan menahan tubuh, juga kesakitan, dan paling sakit adalah kaki kanannya. Elan sudah duduk di sebelah Soraya yang menjerit-jerit juga menangis. Segera dia memeluk Soraya, membelai kepala Soraya sampai ke punggung juga lengan atas wanita muda itu. Pipi Soraya menempel di dada telanjang Elan. Terasa lembab tapi juga hangat. “Ssshhh … Sshhh … Sudah-sudah,” ucap lembut Elan. “Sakit! Ini sakit! Siapa suruh taruh nampan di sana?” teriak Soraya kesal di sela tangisannya di pelukan Elan. Tangisan Soraya berkurang. Entah itu karena pelukan dan belaian Elan, entah itu karena hal lain. Elan tidak menjawab dan tetap menenangkan Soraya. Itu adalah mungkin kesalahannya. Tapi, tadi pintu kamar dikunci dan tidak ada meja di dekat pintu untuk meletakkan nampan. Soraya mulai menyadari situasinya. Kehangatan dan kelembutan, membuat rasa sakit itu menjadi tidak masalah. “Aku periksa kakimu dulu, ya,” ucap Elan. Dengan sangat hati-hati, Elan melepaskan diri dari Soraya. Yang membuat Soraya terkejut, ada ketidakrelaan dari dirinya, melepas Elan. Pipinya bahkan terasa susah melepas hangat dada Elan. ‘Memalukan! Genit! Ingat, Raya! Ingat!’ Soraya membatin sembari memukul pelipis kepala dengan lembut tapi ada tekanan. “Kenapa? Kepalamu sakit?” tanya Elan yang sudah di dekat kaki Soraya. Ujung lidah Soraya sudah akan berseru kalau kepalanya sakit agar mendapat perlakuan istimewa seperti sebelumnya. Tapi dikatupnya rapat bibir mungilnya, kepalanya menggeleng-geleng. Saat melihat tangan Elan yang akan menyentuh kakinya, Soraya mulai menyadari sesuatu. Kakinya sangat polos. Pahanya terpampang sangat jelas. Soraya panik, dia juga baru menyadari kalau sudah mengenakan kemeja yang kebesaran dan panjangnya hanya sampai menutupi bagian intimnya saja. “STOP!” teriak Soraya panik. Soraya langsung menarik kakinya dan melipatnya ke samping sambil mengaduh karena rasa nyeri di engkel kaki. Soraya juga mencoba merapikan kemejanya, berusaha menutupi pahanya–usaha yang tidak berguna. Elan memerhatikan dengan malas. Seolah-olah apa yang Soraya lakukan bukanlah hal besar yang harus membuatnya bersalah. “Kenapa aku pakai kemeja ini? Dan ini punya siapa? Siapa yang lancang mengganti bajuku dengan ini?” tanya Soraya. “Dan ini! Ini kamar siapa?.” “Bajumu basah, kamu pingsan, kamu panas, badanmu menggigil. Itu kemejaku dan kamarku. Aku yang mengganti bajumu.” Sangat santai, sangat tenang, sedangkan Soraya justru blingsatan. Wajah putih pucatnya justru memamerkan semu merona di sudut pipi. “Sini … sini …,” pinta Soraya sembari menggerakan tangan agar Elan mendekat. Pria dengan tubuh berurat seksi itu beringsut mendekati Soraya dan …. ‘Plak!’ Sebuah tamparan keras yang panas, mendarat di pipi keras Elan. Otomatis Elan terkejut. Kedua alisnya bahkan hampir menyatu dengan binar mata marah. Elan yang hampir mengamuk juga, seketika urung karena melihat kedua bola mata Soraya yang berair. Belum ada air mata yang jatuh, tapi itu cukup untuk menjelaskan terlukanya Soraya. Soraya mencoba bangun. Baru juga tubuhnya berdiri, kaki kanannya meleyot, tubuh Soraya pun oleng. Elan segera menangkap tubuh Soraya dari kanan, melingkarkan tangannya dari belakang dan menyusup di sisi lainnya. Kesialan kedua bagi Elan, jemarinya menyentuh salah satu buah dada Soraya yang kiri.Soraya merasa tidak nyaman dengan kemeja yang dia kenakan. Bukan hanya tentang asal kemeja dari Elan, si pria asing, tapi karena dia merasa tel4nj4ng dengan kemeja saja tanpa celana. Dia menatap ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan kopernya. ‘Mungkin di luar,’ batin Soraya yang segera bangun dari tidurannya dan segera melangkah keluar kamar. Dia membuka pintu dengan kasar, kemudian merasa bersalah.Di sofa, dengan lampu kecil di atas nakas, Elan pura-pura tidur. Dia berusaha mengabaikan Soraya karena tidak yakin dengan dirinya sendiri. Kejadian di kamar tadi saja, sudah hampir membuatnya goyah.Keinginan Elan gagal, Soraya berdiri di hadapannya dan langsung menarik lengan Elan yang tadi melipat di wajah, untuk menutup mata. Otomatis kedua mata Elan terbuka dan dadanya berdenyut, melihat Soraya berdiri sangat dekat dengan dirinya. Posisinya tidak tepat. Sofa yang tingginya sepaha Soraya dan Elan yang rebah, membuat paha mulus Soraya terpampang sangat jelas–putih, mulus, berkilau.
Wajah Soraya sangat dekat dengan wajah Elan. Napas keduanya saling bertemu membaur hangat. Soraya merasakan dada kirinya tertekan. Itu hangat. Soraya tahu itu apa tanpa perlu memeriksa. Secepat kilat tangan kirinya terangkat dan langsung menjambak Elan dengan kuat.“Ah! Aduh!” Elan mengaduh. Jambakan Soraya begitu kuat sampai kepala Elan menunduk dalam.“Cabul! Mesum! Pemerkosa! Lepaskan tanganmu! Lepas! Menjijikkan! Sampah!” teriak marah Soraya dengan sebulir air mata yang mengalir di pipi.Wajah Elan sudah merah karena sakit marah. Tanpa banyak pertimbangan, Elan melepaskan tangannya.Dan untuk kedua kalinya tubuh Soraya oleng. Bahkan kali ini dipastikan Soraya akan jatuh terjerembab di lantai marmer yang sangat keras. Bagai gerakan lambat di film-film, kedua tangan Soraya terulur menggapai-gapai. Kedua mata bulatnya semakin membulat, menatap Elan.Elan sendiri berada pada tepian dilematis; membantu atau mengabaikan. Jika dibantu, dia akan menghadapi hinaan yang semakin dalam, jika
Soraya membuka sedikit kelopak matanya dan meringis karena cahaya masuk tiba-tiba. Tubuhnya terasa sakit. Perlahan, retina Soraya bisa beradaptasi dengan cahaya. Mimpi buruknya amat kelam.Waktu Soraya jatuh sakit, Raka–suaminya membawanya ke rumah sakit. Pernikahannya sudah berjalan 8 bulan, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal orang-orang terdekatnya, bisa hamil setelah sebulan atau dua bulan menikah. Ucapan maaf yang dikemudian hari disesali Soraya, karena seharusnya dia tidak perlu begitu. Hamil atau tidak, bukanlah salahnya.“Sebenarnya kamu bisa hamil apa enggak, sih?” teriak Ibu mertuanya kala itu. Membuatnya kini membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal karena mimpi yang membawa emosi. Untuk sesaat, Soraya tidak tahu keberadaannya. Kedua matanya berputar-putar liar menatap langit-langit kamar yang asing.Soraya langsung bangun dan seketika diserang sengatan kecil di dalam kepala. Dia mengaduh, menunduk, memijat kening dengan wajah meringis. Setelah agak baikan
Sebelum hari ini terjadi, Soraya berbicara panjang dengan Tania, seorang yang menjadi dekat karena kebersamaan sejak di bangku sekolah SMA. Hingga beberapa hari itu, Soraya masih menganggapnya sahabat spesial.Tania menyorongkan ponsel Soraya yang bagian layarnya memampangkan foto dirinya dengan Raka, suami Soraya.“Memangnya, apa yang kamu lihat dari foto itu?” tanya Tania sangat santai. Bahkan kemudian dia mengiris steak-nya dan memasukkan ke dalam mulut, sembari menantang tatapan mata Soraya.Di foto itu, Tania duduk di pangkuan Raka, mengalungkan tangan dengan manja di leher Raka, dan merapatkan pipinya ke pipi Raka. Mungkin itu wajar bagi sebagian orang–meskipun harusnya itu tidak wajar mengingat status masing-masing–tapi itu menjadi sangat tidak wajar karena foto itu dilakukan di sofa yang ada di apartemen Tania.“Kamu nanya?,” tanya Soraya. “Kamu sama suamiku intim,”Tania tersenyum kecil, “Apanya yang selingkuh? Intim? Aku berpakaian, suamimu berpakaian, dan kami berfoto. Ti
“Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya. Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi. “Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka. Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. “Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….” “CUKUP!” Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah. “Hei, Soraya! Kamu gak liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!” Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk. “Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini,