LOGIN
Malam itu Tiara sedang menyiapkan makan malam untuk menyambut suaminya pulang. Narendra Pratama, suaminya baru saja melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.
Jadi, demi menyenangkan hati suami, Tiara memasak makanan favoritnya. Semua menu sudah Tiara siapkan di meja makan. Sampai ponsel miliknya berdering. Naren, suaminya menelpon. Dengan semangat Tiara meraih ponselnya. Buru-buru dia menggeser tombol hijau, dan menempelkan ponsel ke telinganya. “Halo, tumben Kakak menelponku dulu?” ucap Tiara saat mengangkat teleponnya. Tapi bukannya suara Naren sang suami yang didengarnya. Akan tetapi sebuah suara perempuan yang mengaku dari rumah sakit. “Apa benar dengan keluarga Bapak Narendra Pratama?” “Iya benar. Saya istrinya,” jawab Tiara. “Saya dari Rumah Sakit Sehat Sejahtera, Bu. Saat ini Bapak Narendra Pratama sedang berada di UGD karena mengalami kecelakaan.” Bagai tersambar petir di siang bolong. Tiara merasakan jantungnya berhenti sesaat ketika mendengar bahwa suaminya kecelakaan. Tangan Tiara bergetar, ponsel yang dipegangnya jatuh berdebam ke lantai. Pikirannya kosong seketika. Tubuhnya luruh ke lantai, sekarang dia tidak bisa memproses apapun. Sayup-sayup terdengar suara speaker ponselnya yang masih menyala. Dia langsung tersadar bahwa panggilan belum terputus. “Halo, Bu? Halo…” suara yang terdengar samar di ponsel yang terjatuh. Tiara langsung memungutnya lagi. Menempelkannya ke telinga. “Apa anda masih di sana? Halo… Ibu?” “Iya halo, suami saya dilarikan ke rumah sakit mana mbak?” tanyanya segera dengan suara bergetar. Petugas rumah sakit itu langsung memberikan alamat lengkap rumah sakitnya. Tanpa menunggu lama, Tiara langsung menyambar kunci mobilnya menuju rumah sakit dimana Naren dirawat. Pikirannya kacau sepanjang jalan. Meski, selama tiga tahun menikah dengan Naren, Tiara tidak pernah sekalipun mendapatkan kasih sayang dari pria itu. Nyatanya, saat mendengar kabarnya kecelakaan hati Tiara hancur. Tiara sudah lama mencintai suaminya. Dia yakin suatu saat Naren akan mencintainya juga. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Tiara sampai di Rumah Sakit Sehat Sejahtera. Dengan langkah terburu-buru wanita itu masuk ke UGD. Dia langsung bertanya ke bagian informasi. “Dimana suami saya, sus? Korban kecelakaan mobil yang barusan.” Suara Tiara parau. Suster di balik meja mengangguk, “Tunggu sebentar bu,” ucapnya lalu mengecek sesuatu. “Pria korban kecelakaan sedang menjalani operasi bu, ibu bisa menunggu di ruang tunggu operasi,” ujar suster di sana sambil menunjuk arah kemana Tiara harus pergi. Tanpa pikir panjang Tiara langsung setengah berlari menuju ruangan yang ditunjuk suster tadi. Tepat di depan ruangan yang bertulis ‘Operation Room’, Tiara menghentikan langkahnya. Seorang suster keluar dari dalam sana. Cepat-cepat dia menghentikan suster itu. Bertanya bagaimana keadaan suaminya. “Proses operasi masih berjalan, bu. Anda tunggu saja di sini.” Suster itu lalu pergi meninggalkan Tiara sendiri. Tiara yang sendirian langsung menjatuhkan dirinya di kursi tunggu. Tangannya masih gemetar. Pikirannya mendadak kosong, sesekali dia mengusap air mata yang terus mengalir. “Tuhan, selamatkan suamiku. Selamatkan Kak Naren Tuhan,” lirihnya. Operasi berjalan satu jam lamanya, tapi belum ada tanda-tanda orang yang keluar dari ruangan itu. Tiara mulai gelisah, setiap detik rasanya mencekam. Tiara menghela napas panjang. Rasa cemas bercampur satu dengan ketakutan. “Kenapa lama sekali?” ujarnya. Bayangan wajah Naren melayang-layang di benak Tiara. Tiga tahun bersama, meski tanpa ada kenangan yang indah. Nyatanya Tiara tetap mencintai pria itu dengan tulus, rasa cintanya nyata meski tidak pernah terbalas. Dan itu cukup membuat Tiara takut kehilangan Naren. Hanya pria itu yang dimilikinya, setelah ayah dan ibunya meninggal. Tiara ingat waktu itu semua orang berusaha mendekat hanya karena ingin memanfaatkannya. Karena itulah dia memaksa Naren untuk menikahinya. Saat itu Naren sedang mengalami kesulitan di bisnisnya. Tiara rela memberikan semua saham yang dimilikinya di perusahaan hanya untuk Naren. Karena Tiara memang sudah mencintai pria itu sebelum adanya pernikahan. Dan, akhirnya pernikahan itu terjadi. Tiara tidak pernah menganggap pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, tapi Naren malah sebaliknya. Satu setengah jam berlalu, namun nihil. Belum ada seorangpun yang keluar dari ruang operasi. Tiara menoleh ke arah luar, dilihatnya sang ibu mertua dari arah lain datang menghampirinya. Rosa datang dengan mata yang menyala penuh amarah. Seperti yang sudah Tiara kira, Rosa pasti sangat marah padanya. Wanita paruh baya itu selalu membenci Tiara. Benar saja, wanita itu melangkah dengan sangat cepat ke arah Tiara, dan langsung menamparnya. Plak! Pipi Tiara terasa panas, spontan tangannya langsung menutupi pipinya yang mulai memerah. “Ma…” lirihnya sambil menatap sendu sang mertua. “Dasar wanita pembawa sial!” umpat Rosa. “Gara-gara kamu anakku selalu sial!” bentaknya lagi sampai suaranya menggema di lorong rumah sakit. Tiara hanya diam saja mendapat perlakuan itu. “Benar ini semua salahku,” ucap Tiara dari dalam hati. Dia memang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Rosa tak berhenti menampar Tiara, bahkan sekarang dengan membabi buta Rosa memukul Tiara di tubuhnya. Satu, dua, tiga pukulan, sampai wanita itu tak bisa lagi menghitungnya. Adik Naren, Lucy hanya melihatnya tanpa memberi pertolongan. Seolah Tiara memang pantas menerima pukulan itu. Mungkin jika tidak ada orang yang keluar dari ruang operasi, Rosa akan tetap menganiaya Tiara tanpa ampun Satu branka terlihat keluar dari ruangan itu, membuat semua orang di sana menghampiri dan meninggalkan Tiara sendiri. Pasien yang keluar adalah Naren, suami Tiara. “Bagaimana keadaan anak saya, dok?” tanya Rosa pada dokter. “Operasi pasien berjalan lancar, hanya saja kondisi pasien masih dalam keadaan koma.” Semua orang terkejut mendengar kata koma dari mulut dokter itu. Iya benar, Naren dinyatakan koma. Rasanya langit seakan runtuh saat itu juga dan menimpa Tiara. Tubuh wanita itu lemas seketika, kakinya tak lagi sanggup menopang dirinya. Semua orang menatap tajam ke arah Tiara. Seolah menyalahkan dirinya. Tiara menunduk. Tak lama pasien lain juga keluar dari ruang operasi, seorang wanita. Dan, semua orang di sana mengenalnya. “Shalsa?” gumam Lucy. Shalsa adalah saudara jauh keluarga Pratama. Tapi, kenapa dia berada di sini? “Anda semua mengenal pasien ini?” tanya salah satu dokter yang membawa Shalsa keluar. “Iya dok, dia masih saudara jauh kami.” “Wanita ini adalah pasien korban kecelakaan bersama pasien pria yang tadi.” Dokter menjelaskan bahwa Shalsa menjalani operasi bersamaan dengan Naren, karena mereka mengalami kecelakaan mobil yang sama. Entah kenapa hati Tiara terasa sesak. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Seperti… kenapa mereka bisa satu mobil? Namun, semua tidak bisa terjawab sekarang. Keadaan Shalsa tidak jauh beda, wanita itu juga dinyatakan koma seperti Naren. Meski luka wanita itu tidak separah Naren. Lucy terlihat sibuk mengantar Shalsa. Sedangkan, Tiara hanya fokus dengan Naren, suaminya. Naren, ditempatkan di ruangan VIP kelas atas atas permintaan Rosa. Keluarga Pratama bukan keluarga sembarangan. Naren sendiri adalah CEO dari perusahaan JTech. Mereka mengucilkan Tiara karena menganggapnya tidak setara dengan mereka. Padahal, selama ini Tiara selalu membantu Naren. Dia memang sengaja menyembunyikan identitasnya sebagai putri keluarga Santika dari semua orang kecuali Naren. Jadi, wajar jika Rosa dan Lucy berpikir dia hanyalah benalu di keluarga Pratama. Tiara tidak keberatan, karena dia hanya mencintai Naren. Tiara tidak pernah menyesali keputusannya, karena baginya Naren adalah cinta pertamanya. Mimpi indah yang membuatnya lupa bahwa ternyata itu semua hanyalah ilusi Tiara sendiri. *** Hari kelima Naren koma, sejak saat itu Tiara selalu menemaninya di rumah sakit. Menunggu dengan sabar sampai Naren sadar. Tiara ingin jadi wanita yang pertama dilihat suaminya saat membuka mata. Selama itu juga dia menelan banyak cacian dari sang mertua. Rosa seolah tak pernah kehabisan kata untuk memaki Tiara. Tak jarang dia juga memukul tubuh Tiara, sampai meninggalkan bekas lebam membiru karenanya. Tiara duduk memandangi wajah suaminya yang terpejam. Tiba-tiba terdengar suara roda koper yang ditarik memecah keheningan. Tiara menoleh ke sumber suara. Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu. Tiara menyuruhnya masuk, dan seorang perawat pria masuk ke dalam ruangan dengan menarik sebuah koper. “Ada apa ya?” tanya Tiara. “Maaf, bu. Saya membawa koper milik pasien, kemarin tertinggal di bagian informasi.” Tiara melihat ke arah koper, benar itu koper suaminya. Dia menyuruh perawat itu meninggalkannya di dekat pintu, lalu pergi. Entah keberanian Tiara muncul dari mana, wanita itu langsung mencoba membuka koper milik Naren. Dan betapa terkejutnya dia melihat isi di dalamnya. ***“Awh,” Tiara meringis ngilu melihat Rafka membuka perban di kakinya.“Apa rasanya masih sakit?” tanya Rafka mendongak melihat Tiara yang duduk di atas bed hospital. Dia khawatir membuat Tiara kesakitan karena tidak hati-hati saat membuka perban kaki wanita itu. Tiara menggeleng, bibirnya terlihat bergetar tipis. “Sedikit, dok. Rasanya agak ngilu, ya,” candanya menanggapi pertanyaan Rafka. Lalu setelah itu Tiara tertawa kecil. Rafka juga ikut tersenyum jelas senyuman yang disertai rasa bersalah. Pria itu melanjutkan membuka perban di kaki Tiara, kali ini lebih hati-hati.Suhu ruangan itu berubah menjadi dingin, hening, dan hanya suara napas mereka yang terdengar. Begitu perban terakhir terlepas, Rafka menatap luka itu dengan dahi berkerut. “Masih sedikit bengkak,” dahi Rafka berkerut menatap luka di kaki Tiara. “Apa kamu benar-benar beristirahat beberapa hari ini?” tanyanya serius. Tiara menyunggingkan senyum tak bersalah. Dia memang tidak beristirahat dengan baik. Beberapa hari
“Sebenarnya apa yang mama lakukan di apartemen Tiara?” tanya Naren di dalam mobil pada Rosa yang sudah duduk di sampingnya. “Harusnya mama yang tanya itu padamu! Apa yang kamu lakukan Naren? Jangan bilang kamu mau menemui Tiara. Ren, kalian sudah akan bercerai!” tukas Rosa dengan suara meninggi. Naren mengetatkan rahangnya. “Kalau aku tidak mau bercerai dengan Tiara bagaimana? Ma! Sudah kukatakan aku tidak akan melepaskan Tiara.”Suasana menjadi tegang seketika. Rosa tidak habis pikir dengan Naren. Bisa-bisanya dia berbicara dengan nada tinggi pada ibunya sendiri. “Kau mulai berani dengan mama Ren? Lihat, ini semua adalah pengaruh buruk dari wanita itu. Tiara tidak baik buatmu,” Rosa mencoba meraih tangan anaknya dan berusaha mengambil hati Naren lagi. “Kuharap mama tidak ikut campur dengan rumah tanggaku lagi.” Suara Naren terdengar dingin, pria itu menoleh ke Rosa dengan tatapan tajamnya. “Kalau sampai aku nggak bisa membuat Tiara kembali karena mama. Aku bersumpah, tidak akan
Siapapun yang disakiti terus menerus pasti akan mulai melawan, begitupun Tiara yang sudah disakiti oleh pernikahannya. Bayangan kebahagiaan setelah menikah dengan Naren ternyata tidak pernah Tiara dapatkan. ***Tiara terbangun dalam tidurnya, matanya langsung menatap ke arah jendela kamar. Cahaya matahari pagi terlihat mencuri masuk dari sela-sela gorden. Tiara mulai merenggangkan ototnya setelah bangun tidur. “Akh!” rintih nya.Kakinya yang masih diperban masih terasa nyeri. Hari ini dia tidak ke kantor dan cuti sampai kakinya sembuh. Pelan-pelan dia menggerakkan kakinya untuk turun dari ranjang. Perlahan Tiara keluar dari kamarnya menuju dapur. Dia menyambar ponselnya yang ada di meja ruang tamu. Mengecek beberapa pesan, Tiara terdiam sesaat melihat layar ponselnya. “Kenapa dia menelpon sebanyak ini?” gumamnya. Di dalam layar ada begitu banyak panggilan tak terjawab dari Naren. Itulah yang membuat Tiara mengernyit heran. Untuk apa pria itu menelponnya, padahal dulu dia jara
Naren duduk di sisi ranjang dengan mata yang melihat ke foto pernikahannya dengan Tiara, foto itu tergantung di dinding. Dia menghela nafas sambil melihat senyuman Tiara. Wanita itu terlihat bahagia sekali menikah dengannya tiga tahun lalu. Tapi kenapa Tiara berubah menjadi dingin dan sinis. Setelah kecelakaan yang membuat Naren koma, semua tentang Tiara berubah bagi Naren. Bahkan beberapa jam lalu wanita itu mengusirnya. Padahal dia sudah mengatakan kalau dia tidak mau bercerai. “Katamu kau mencintaiku dulu,” gumam Naren sambil melihat ke arah foto Tiara. Pria itu berdiri dan mengelus frame foto itu. Rasanya hampa sekali tidak ada Tiara di sampingnya. Apalagi saat melihat ada Andreas di sekitar Tiara. Entah kenapa Naren ingin sekali menarik Tiara agar menjauh dari pria itu. “Kamu tidak bisa ninggalin aku gitu aja, Ra!” gumam Naren sambil mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Dia bertekad akan membawa kembali Tiara ke kehidupannya. ***Dengan bantuan Andreas, Tiara sudah sampa
Naren berjalan dengan tergesa-gesa sepanjang lorong rumah sakit. Langkahnya nyaris berlari, napasnya masih terengah-engah ketika sampai di depan ruang IGD. Matanya mulai liar mencari Tiara dari deretan pasien dan petugas medis berseragam putih. Setelah dia tahu kalau Tiara mengalami kecelakaan, pria itu langsung bergegas ke rumah sakit. Naren masih di depan ruang IGD, tak lama seorang perawat berjalan melewatinya. Dengan cepat dia menahan si perawat itu. “Maaf Sus! Apa ada pasien bernama Tiara Santika?” tanyanya. Perawat itu melihat catatannya sekilas, lalu mendongak ke arah Naren. “Tiara Santika, korban kecelakaan mobil?” tanyanya. “Iya bener.”“Pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi. Anda bisa langsung ke tempat tidur nomor empat,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kanan. “Terima kasih, sus.” Tanpa menunggu lagi, Naren langsung berjalan ke tempat yang dimaksud. Dan, saat dia sampai, Naren melihat sosok Tiara yang sedang duduk bersandar di ranjang. Kepalanya diperban putih,
Saat mencoba membuka mata, Tiara merasa kepalanya seperti dihantam palu godam, sakit sekali. “Awh!” rintihnya sambil terus memegang kepalanya. “Oh, kamu sudah sadar?” seseorang langsung menyambut kesadaran Tiara. Tiara belum tahu siapa orangnya karena penglihatannya masih kabur. Dia mengerjapkan matanya sampai akhirnya pandangannya bisa fokus. “Oh,” pekiknya saat mengetahui siapa orang itu. “Dokter Rafka?” gumamnya dengan suara serak yang disertai rintihan karena kepalanya yang berdenyut. “Awh!”“Mana yang sakit?” Rafka langsung sigap membantu Tiara yang berusaha bangun. Tiara menggeleng dan menolak halus bantuan Rafka. Dia mulai melihat ke sekeliling dan baru sadar kalau dia berada di rumah sakit. “Ini… Rumah sakit?” tanyanya heran. “Iya, kamu ada di rumah sakit sekarang.” Tiara langsung melihat lurus ke arah Rafka. “Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di sini?” “Kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan tadi. Taksi yang kamu tumpangi menabrak pembatas jalan, untung saja aku l







