Share

Makan siang

Suara tangisan bayi menggema di seluruh ruangan, Dara bergegas ke kamar Daniel untuk menenangkannya. Belum sampai ia di kamar putranya, suara tangisnya sudah reda. Rupanya ada Thalita yang sudah menggendong keponakannya itu lebih dulu dan membuatnya tenang hingga tertidur lagi.

“Makasih ya Dek, kamu udah bantu kakak tenangin Daniel.”

“Santai saja Kak, anggap saja aku sedang latihan hehe,” kata Thalita seraya terkekeh pelan.

“Kamu ini, makanya buruan kenalkan calon kamu ke keluarga kita,” goda Dara.

“Calon apa, pacar saja aku belum punya Kak. Dan lagi pMarcelritas aku sekarang itu kerja, biar bisa bantu kalian buat pengobatan ayah,” kata Thalita.

“Masa iya sih tidak ada satu pun pria yang mendekati kamu, kamu kan cantik Dek. Dan soal biaya pengobatan ayah, sebisa mungkin kakak sama kakak kamu Vino akan memenuhinya. Jadi kamu jangan terlalu memikirkan itu ya, kamu juga harus bahagia Dek,” tutur Dara memberi semangat.

“Iya Kak, tapi saat ini aku hanya ingin ayah bisa sembuh dulu. Baru nanti aku pikirkan soal itu,” kata Thalita dan Dara mengangguk paham tak ingin berdebat lagi dengan adik iparnya.

**

Kantor ARGA Advertising...

Diko merasa bimbang, ia ingin sekali melanjutkan misi balas dendamnya melalui Thalita yang merupakan adik ipar Dara. Namun lagi-lagi hatinya menolak, ia tidak sampai hati jika harus menyakiti wanita sebaik Thalita.

Demi memenuhi ambisinya, ia terpaksa harus melakukannya. Ia bertekad untuk membuat Thalita jatuh cinta padanya, lalu ia akan meninggalkannya begitu perempuan itu sudah masuk dalam perangkapnya. Dengan begitu, sakit hati yang ia dapat dari Dara dulu akan segera terobati.

“Nanti siang, kamu makan siang di luar ya dengan saya. Saya tidak mau ada penolakan apa pun itu,” perintah Diko dengan tegas.

“Maaf sebelumnya Pak Diko, saya sudah ada janji lebih dulu dengan teman saya. Jadi saya tidak bisa makan siang bersama Bapak,” tolak Thalita dengan halus.

“Kamu tidak dengar yang saya katakan tadi? Itu tadi bukan permintaan tapi perintah, jadi kamu harus mengikuti perintah saya. Itu pun jika kamu masih ingin bekerja di sini,” ujar Diko menegaskan.

“Lalu janji dengan teman saya bagaimana, Pak?”

“Ya kamu batalkan saja,” balas Diko dengan santainya.

“Jika saya membatalkan janji dengan teman saya demi bisa makan siang bersama Bapak, yang ada nanti saya akan menjadi bahan gosip satu kantor, Pak.”

“Saya tidak peduli dengan gosip, jangan kamu kira saya ajak makan siang bersama karena ada apa-apa ya. Saya hanya ingin membahas pekerjaan tapi sambil makan, karena bahasan kita nanti akan cukup berat.”

“Baiklah Pak Diko, kalau memang ada urusan pekerjaan saya akan membatalkan janji dengan teman saya. Kalau begitu saya permisi,” pamit Thalita seraya keluar dari ruangan Diko.

**

“Joe, maaf ya makan siang kita hari ini harus ditunda dulu. Aku ada rapat dengan Pak Diko di jam istirahat makan siang nanti,” kata Thalita begitu bertemu dengan Joe.

“Rapat di jam istirahat? Sepertinya agak aneh ya, di jam istirahat pun masih harus rapat. Tapi baiklah, lain kali kita atur jadwal lagi ya. Bagaimana kalau nanti aku antar pulang?” tawar Joe seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Apa tidak merepotkan?”

“Tentu saja tidak, anggap saja sebagai ganti makan siang kita yang batal hari ini. Bagaimana?” tanya Joe lagi.

Thalita mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa nanti.”

**

Jam makan siang di restoran dekat kantor...

“Jadi ada hal penting apa yang harus kita bahas Pak Diko?” tanya Thalita begitu mereka tiba di restoran.

“Bisa tidak kita pesan makan dulu? Kamu tahu tidak, saya ini sangat lapar. Jadi jangan bahas hal lain dulu selain makanan,” ujar Diko seraya memanggil pelayan.

Thalita hanya mengangguk paham, karena ia pun sebenarnya juga sudah sangat lapar. Akhirnya mereka berdua memesan makanan terlebih dahulu sebelum membahas soal pekerjaan.

Kurang lebih 15 menit, Thalita dan Diko telah menghabiskan makanan yang mereka pesan. Tak ingin berlama-lama bersama bosnya, Thalita segera membuka pembicaraan dengan menanyakan keperluan Diko mengajaknya kemari.

“Sudah bisa dimulai kan Pak untuk membahas pekerjaannya, jadi ada hal apa yang perlu Bapak sampaikan?” tanya Thalita tanpa basa-basi.

“Tidak ada,” sahut Dito singkat.

Thalita mengerutkan keningnya. “Lalu? Untuk apa Pak Diko mengajak saya makan siang di sini? Tadi kata Bapak ingin membahas soal pekerjaan,” tanyanya lagi karena merasa tidak puas dengan jawaban singkat Diko.

“Memangnya saya tidak boleh mengajak sekretaris saya untuk makan siang bersama?” bukannya menjawab pertanyaan Thalita, Diko malah balik bertanya.

Thalita menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan yang dilakukan bosnya. Ia tidak mau salah mengira, demi menghindari pembicaraan orang-orang ia memutuskan untuk segera kembali ke kantor.

“Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi tentang pekerjaan, lebih baik saya kembali ke kantor ya Pak,” pamit Thalita.

Diko menggeleng cepat. “Siapa yang menyuruh kamu kembali ke kantor sekarang? Temani dulu saya di sini,” perintah Diko tak ingin dibantah.

“Tapi Pak, saya tidak enak dengan karyawan yang lain,” tolak Thalita.

“Untuk apa kamu memikirkan orang lain? Yang menggaji kamu itu saya, bukan mereka,” ujar Diko tegas.

“Benar juga sih, tapi kan ... kenapa sih ini bos aneh-aneh saja mintanya,” batin Thalita dengan muka yang cemberut.

“Kenapa mukanya begitu? Kamu tidak suka menemani bos kamu makan siang?” tanya Diko menuduh.

“Saya tidak bilang begitu Pak, sebenarnya apa tujuan Bapak mengajak saya kemari?” tanya Thalita masih penasaran.

Diko menghela nafas panjang. “Sudah saya bilang kan, saya hanya ingin makan siang ditemani dengan kamu itu saja. Sudah jangan banyak bertanya, cepat itu makan es krimnya keburu mencair,” perintahnya.

Thalita terpaksa menuruti perintah bosnya itu, ia segera menikmati es krim kesukaannya sampai habis tak tersisa. Selesai makan, Thalita ingin membayar tagihan mereka namun lagi-lagi Diko melarang dan lelaki itu pun segera memberikan uang terlebih dahulu pada pelayan.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status