Share

Merawat Bapak CEO

Penulis: Aprilia Choi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-28 14:12:19

“Diko ... lagi-lagi kamu bersikap bodoh di depan wanita itu. Tetap tenang kamu harus kembali menjadi CEO yang berwibawa,” kata Diko penuh semangat pada dirinya sendiri.

“Apa sih maunya, tidak jelas sekali bahas-bahas privasi orang huft,” batin Thalita merasa kesal dengan tingkah bosnya.

“Thalita, kamu ke ruangan saya sekarang, saya tunggu,” pinta Diko begitu Thalita baru mengangkat teleponnya, ia pun langsung mematikannya setelah menyampaikan perintahnya.

Belum sempat menjawab, Thalita hanya bisa mengelus dada dengan tingkah bosnya yang semena-mena itu. “Sabar Thalita, tenang ... kamu harus memaklumi sikap bos kamu, hampir satu tahun harusnya sudah mulai terbiasa jadi aku harus bisa menghadapi dan memenuhi permintaannya,” ujarnya memberi semangat pada diri sendiri.

**

Tok! Tok! Tok!

Thalita mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk ke ruangan Diko. Merasa tidak ada jawaban dari dalam, ia mencoba mengetuk lagi kali ini dengan sedikit agak kencang. Karena tak kunjung ada jawaban juga, Thalita memberanikan diri untuk masuk ke ruangan atasannya itu.

Begitu memasuki ruangan, ia mendapati Diko tengah tertidur lelap di atas meja kerjanya dengan beralaskan kedua tangannya yang dilipat. Thalita pun mendekat ke arah Diko bermaksud untuk membangunkan bosnya tersebut.

“Pak Diko, Pak,” panggil Thalita dengan lembut sambil menepuk pelan lengan Diko.

“Hmm,” gumam Diko masih dengan mata yang terpejam, keringat mulai bercucuran dari dahinya meski ruangannya telah di pasang pendingin AC.

Thalita merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia memberanikan diri menyentuh kening Diko. Dan benar saja bosnya itu sedang demam, hingga membuat badannya lemas tak bertenaga.

“Ya ampun, Pak Diko!” seru Thalita panik. “Anda demam Pak, panas sekali keningnya. Mari saya bantu,” ujarnya seraya memapah Diko.

Thalita memapah Diko untuk membantunya berbaring di sofa ruang kerjanya. Thalita melonggarkan sedikit dasi Diko dan membuka satu kancing atas kemejanya agar tidak merasa sesak.

Kemudian ia pergi ke pantri untuk membuatkan Diko minuman hangat, serta kompres dan obat penurun demam. Tak lama berselang, ia kembali ke ruangan Diko dengan membawa semua yang ia ambil dari pantri tadi.

“Mari Pak, saya bantu minum obatnya ya.” Thalita meletakkan peralatan yang ia bawa, lalu duduk di samping Diko untuk membantunya bangun.

Diko menggeleng lemah seraya menutup mulut dengan kedua tangannya. “Saya tidak mau minum obat, tolong jangan paksa.”

“Pak Diko, kalau Bapak tidak minum obatnya bagaimana nanti bisa sembuh. Tenang saja ini tidak pahit, setelah minum obat nanti saya kompres biar panasnya cepat turun ya. Apa Bapak mau saya panggilkan dokter?” tanya Thalita selembut mungkin berusaha meyakinkan Diko untuk mau meminum obatnya.

Dengan cepat Diko menggeleng. “Tapi janji ya kamu tetap temani saya di sini sampai saya sembuh?” tanya Diko meminta kepastian.

Tak ingin berdebat lebih jauh, Thalita mengangguk tanda setuju dengan permintaan Diko untuk menemaninya sampai atasannya itu sembuh. Akhirnya Diko mau meminum obat penurun demam yang diberikan oleh Thalita. Setelah itu ia beristirahat lalu Thalita memberikan kompres di kening Diko agar panasnya segera turun.

Thalita mengerjakan tugasnya di ruangan Diko sambil sesekali mengecek keadaan lelaki itu, beberapa jam berlalu demamnya mulai turun dan kesadaran Diko perlahan mulai kembali. Diko mencoba membuka matanya yang terasa berat, ia mendapati dirinya tengah berbaring di sofa ruang kerjanya ditemani oleh Thalita di sampingnya yang sedang sibuk dengan laptopnya.

“Apa yang terjadi dengan saya?” tanya Diko lirih seraya mencoba bangun perlahan dari tidurnya.

Dengan sigap Thalita mendekati Diko lalu membantunya untuk bangun. “Pelan-pelan ya, Pak. Tadi Bapak demam, saya sudah kasih obat lalu saya kompres setelah itu Bapak tidur sampai sekarang baru bangun,” jawab Thalita menjelaskan.

“Saya demam? Ah ... pantas saja pusing sekali rasanya,” sahut Diko seraya memijit keningnya. “Jadi dari tadi kamu yang merawat saya?”

Thalita mengangguk. “Saya sudah menyelesaikan laporan untuk rapat besok dan dokumen yang di meja Bapak juga sudah saya cek dan saya rapikan kembali, jadi besok Bapak tinggal presentasi saja,” terang Thalita sambil meletakkan dokumen di meja kerja Diko.

“Sebaik ini wanita yang akan aku sakiti, apakah aku tega menyakiti wanita sebaik dia demi ambisiku membalas dendam pada kedua kakaknya?” batin Diko bertanya-tanya seraya menatap pada Thalita tak berkedip.

“Pak Diko, Anda baik-baik saja? Apa perlu saya panggilkan dokter untuk memeriksa anda?” tanya Thalita membuyarkan lamunan Diko.

“Ah, tidak ... tidak perlu. Saya sudah baik-baik saja, sepertinya saya terlalu lelah dengan padatnya jadwal pekerjaan minggu lalu,” elak Diko.

“Ya, sebaiknya Bapak segera pulang untuk beristirahat dengan cukup, karena besok kita akan ada rapat dengan seluruh karyawan,” kata Thalita mengingatkan.

“Kamu benar, sepertinya saya perlu beristirahat yang cukup. Kalau begitu mari kita pulang bersama,” ajak Diko.

“Pulang bersama, maksud Bapak?” tanya Thalita tidak paham maksud ajakan Diko.

“Ya, saya akan mengantar kamu pulang. Daripada kamu naik kendaraan online lebih baik saya antar, anggap saja sebagai ucapan terima kasih saya.”

“Hmm, terima kasih sebelumnya Pak, tapi saya bisa pulang sendiri,” tolak Thalita sehalus mungkin.

“Tidak perlu merasa sungkan Thalita, saya tidak suka berhutang budi.”

“Saya tidak menganggap yang saya lakukan ke Bapak tadi adalah hal yang perlu untuk balas budi,” sahut Thalita tegas.

“Tapi tetap saja saya tidak bisa menerima kebaikan orang lain dengan percuma.”

“Jadi maksud Bapak, semua kebaikan bisa diukur dengan materi?” tanya Thalita dengan nada sedikit meninggi.

“Bu— bukan begitu maksud saya.” Diko bingung menjelaskan maksudnya kepada Thalita, akhirnya membuat salah paham kembali terjadi di antara mereka.

“Sudah malam, saya permisi pulang dulu Pak. Selamat malam,” pamit Thalita seraya pergi dari ruangan Diko meski tanpa persetujuan lelaki itu.

“Diko ... apa sih yang kamu lakukan, selalu saja membuat salah paham,” gumam Diko menyalahkan dirinya sendiri. “Aku hanya ingin mengantarnya pulang, hanya saja tidak ada alasan yang tepat. Aku tidak ingin dia merasa bahwa aku mulai tertarik padanya,” lanjutnya lagi.

**

“Selalu saja kata-kata menyakitkan hati yang keluar dari mulutnya, kalau saja bukan bosku sudah aku ... huft!” batin Thalita merasa geram.

“Kamu kenapa Ta?” tanya Joe tiba-tiba datang menghampiri Thalita yang sedang menunggu taksi online di depan lobi kantor.

“Eh Joe, tidak papa. Hanya merasa sedikit kesal saja,” ujarnya seraya melipat kedua tangan di depan dada.

“Pasti kesal sama bos kamu ya?” tebak Joe yang sangat tepat sasaran. “Sepertinya, tiada hari yang beliau lalui tanpa membuat karyawannya merasa kesal ya, hehe,” katanya seraya terkekeh pelan.

Thalita hanya tersenyum tak ingin menanggapi dan membahas lebih jauh tentang bos galaknya itu. Namun siapa sangka, orang yang sedang mereka bicarakan malah sedang berjalan dengan santainya ke arah mereka.

“Panjang umur rupanya, kamu sudah pesan taksi kan? Aku pamit dulu ya, dadah,” pamit Joe segera pergi sebelum bos galak menghampiri mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Epilog (END)

    Setelah mendudukkan Thalita di samping Diko, pak Tio segera mengambil tempat di depan calon menantunya itu. Beliau yang akan menjadi wali nikah langsung untuk putri tersayangnya. Bapak penghulu mempersilakan Diko menjabat tangan pak Tio untuk bersiap mengucap ijab kabul.“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Diko Argawinata bin Arya Argawinata dengan putri saya Thalita Aurelia binti Tio Leandro dengan mas kawin berupa emas sebesar 1794 gram dibayar tunai,” ucap pak Tio dengan tegas.“Saya terima nikah dan kawinnya Thalita Aurelia binti Tio Leandro dengan mas kawin berupa emas sebesar 1794 gram dibayar tunai,” jawab Diko mantap dengan satu tarikan napas.“Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu.“SAH!!” jawab Adrian dan para saksi lainnya dengan kompak.“Alhamdulillah,” ucap syukur semua orang yang hadir di ruangan itu.Thalita dan Diko turut mengucap syukur dalam hati atas kelancaran ijab kabul mereka. Diko merasakan kelegaan yang luar biasa setelah berhasil mengucapkan ijab

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Persiapan pernikahan

    Diko mendekap Thalita dalam pelukan hangatnya, melepas segala rasa rindu yang telah keduanya pendam karena keegoisan mereka selama ini.“Aku masih merasa seperti mimpi, bisa memeluk kamu kembali setelah semua yang kita lewati selama ini. Terima kasih ya kamu mau menerimaku lagi,” ucap Diko seraya mengeratkan pelukannya pada wanita yang sangat ia rindukan.Thalita menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang selama satu tahun ini sangat dirindukannya. “Aku pun masih merasa seperti mimpi, kalau pun ini memang mimpi aku rela terjebak selamanya asal bersama kamu di dalamnya,” ucapnya membuat pria di hadapannya tersenyum bahagia.Diko mengurai pelukan mereka. “Sejak kapan kamu jadi pintar menggombal?” godanya membuat pipi Thalita bersemu merah.“Siapa yang menggombal? Aku hanya membalas perkataan kamu saja,” elak Thalita seraya memunggungi Diko lalu mengulum senyumnya.Diko memeluk gadis itu dari belakang, yang merupakan pelukan favoritnya. “Kamu tahu tidak, aku paling suka memeluk kamu sep

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Kurelakan dia untukmu

    “Maksud Mas apa? Mas Adrian tidak mencintaiku?” tukas Thalita.Adrian tersenyum getir. “Harusnya aku yang bertanya seperti itu ke kamu. Kamu tidak pernah mencintaiku kan? Aku tahu di hati kamu hanya ada namanya, bahkan meski kamu membencinya kamu masih menyimpan syal pemberiannya. Kamu tidak pernah sedikit pun bisa menghapus dia dari hati kamu, sekeras apa pun aku mencoba membuat kamu mencintaiku. Aku tetap tidak bisa,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.Air mata menetes begitu saja membasahi pipi Thalita. “Mas, tolong dengarkan aku dulu, aku sudah berusaha Mas. Aku akan belajar mencintai kamu, tapi tolong beri aku waktu,” pintanya.“Belajar mencintaku? Sampai kapan? Satu tahun lebih aku berusaha sabar menunggu waktu itu tiba, bahkan sampai dia kembali kamu tetap tidak bisa mencintai aku kan?” cecar Adrian.Thalita menutup wajah dengan kedua tangannya, menumpahkan tangisnya di sana. “Maafkan aku, Mas,” lirihnya.Adrian berjalan menghampiri Thalita, mengusap kepala gadis itu dan m

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Kejujuran hati

    Meski hatinya merasa nyaman, Thalita berusaha keras agar tidak kembali pada perasaan yang telah membuatnya hancur. Ia telah melangkah maju dan tidak ingin mengingat masa lalu yang hanya akan menghambat masa depannya. Namun apa daya, ia tak bisa mengendalikan perasaannya. Meski cinta Adrian begitu besar padanya, namun tetap tak mampu merobohkan dinding cintanya untuk Diko. Hingga saat ini cinta itu masih sama, berapa kali pun gadis itu menyangkal perasaannya.Adrian pun menyadari itu, tatapan yang tak pernah ia dapatkan dari Thalita saat gadis itu menatap pada Diko. Seperti saat ini, mereka telah selesai menghadiri rapat bulanan yang diadakan oleh kantor Xander Corporation. ARGA Advertising yang merupakan rekan bisnis pun turut hadir untuk mempresentasikan hasil kerja sama antara mereka.“Sayang,” panggil Adrian lembut, membuat Thalita menoleh padanya.Saat ini Thalita, Adrian, dan Diko tengah duduk bersama di ruangan kerja Adrian untuk membahas hasil kerja perusahaan mereka seusa

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Kakak beradik

    “Adrian?”“Iya Diko ini aku Adrian, kakakmu,” sahut Adrian dengan tersenyum ramah. “Jadi selama ini—“ Diko tidak sanggup meneruskan ucapannya.“Maaf aku tidak bisa memberi tahu kamu di awal pertemuan kita, karena waktu itu aku belum bisa menerima papa Arya tapi sejak papa Arsene meninggal aku menjadi sebatang kara. Kemudian papa Arya dan mama Aulia datang dengan sabar mereka selalu menemaniku dan berusaha menjadi orang tua yang baik untukku. Sejak itu aku baru bisa menerima mereka sebagai ganti orang tuaku,” kata Adrian menjelaskan. “Lalu untuk apa kamu mengambil perusahaanku?” tukas Diko masih tak terima.“Aku bukan mengambilnya, aku hanya membantumu mengembangkannya. Dan sekarang kamu bisa menikmati hasilnya bukan?” Diko beranjak dari duduknya. “Lalu kekasihku? Apa bisa kamu kembalikan juga?” tanyanya kemudian.Adrian menggeleng cepat. “Thalita sudah bukan kekasihmu lagi, dia tunanganku. Dia juga bukan barang yang bisa kamu minta kembali, salahmu sendiri telah menyia-nyiak

  • Balas Dendam Sang CEO Tampan   Sebuah kenyataan

    Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore saat mereka keluar dari area pemakaman.“Lapar tidak sayang? Kita makan yuk,” ajak Adrian saat mereka sudah berada dalam mobil.“Lumayan sih, Mas.”“Oke kita makan ya, aku ingin mengajak kamu ke tempat makan favoritku,” kata Adrian antusias seraya melajukan mobilnya.Thalita hanya mengangguk dan tersenyum.Tak butuh waktu lama, 15 menit kemudian Adrian memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu mengajak Thalita untuk turun dan berjalan ke sebuah tempat makan yang merupakan langganannya.“Bang, biasa ya kali ini 2 porsi tapi,” kata Adrian sambil melirik lalu tersenyum ke arah Thalita.“Siap Mas, silakan duduk dulu ya,”Lalu Thalita dan Adrian pun memilih tempat duduk tanpa meja tepat di sebelah rombong yang bertuliskan ‘Nasi Goreng Jawa Mantap’. Seperti namanya, makanan yang disajikan memang sangat mantap dan menggoyang lidah siapa pun yang memakannya. Meski hanya kios di pinggiran jalan, namun rasanya tak kalah dibanding restoran mahal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status