Share

Merawat Bapak CEO

“Diko ... lagi-lagi kamu bersikap bodoh di depan wanita itu. Tetap tenang kamu harus kembali menjadi CEO yang berwibawa,” kata Diko penuh semangat pada dirinya sendiri.

“Apa sih maunya, tidak jelas sekali bahas-bahas privasi orang huft,” batin Thalita merasa kesal dengan tingkah bosnya.

“Thalita, kamu ke ruangan saya sekarang, saya tunggu,” pinta Diko begitu Thalita baru mengangkat teleponnya, ia pun langsung mematikannya setelah menyampaikan perintahnya.

Belum sempat menjawab, Thalita hanya bisa mengelus dada dengan tingkah bosnya yang semena-mena itu. “Sabar Thalita, tenang ... kamu harus memaklumi sikap bos kamu, hampir satu tahun harusnya sudah mulai terbiasa jadi aku harus bisa menghadapi dan memenuhi permintaannya,” ujarnya memberi semangat pada diri sendiri.

**

Tok! Tok! Tok!

Thalita mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk ke ruangan Diko. Merasa tidak ada jawaban dari dalam, ia mencoba mengetuk lagi kali ini dengan sedikit agak kencang. Karena tak kunjung ada jawaban juga, Thalita memberanikan diri untuk masuk ke ruangan atasannya itu.

Begitu memasuki ruangan, ia mendapati Diko tengah tertidur lelap di atas meja kerjanya dengan beralaskan kedua tangannya yang dilipat. Thalita pun mendekat ke arah Diko bermaksud untuk membangunkan bosnya tersebut.

“Pak Diko, Pak,” panggil Thalita dengan lembut sambil menepuk pelan lengan Diko.

“Hmm,” gumam Diko masih dengan mata yang terpejam, keringat mulai bercucuran dari dahinya meski ruangannya telah di pasang pendingin AC.

Thalita merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia memberanikan diri menyentuh kening Diko. Dan benar saja bosnya itu sedang demam, hingga membuat badannya lemas tak bertenaga.

“Ya ampun, Pak Diko!” seru Thalita panik. “Anda demam Pak, panas sekali keningnya. Mari saya bantu,” ujarnya seraya memapah Diko.

Thalita memapah Diko untuk membantunya berbaring di sofa ruang kerjanya. Thalita melonggarkan sedikit dasi Diko dan membuka satu kancing atas kemejanya agar tidak merasa sesak.

Kemudian ia pergi ke pantri untuk membuatkan Diko minuman hangat, serta kompres dan obat penurun demam. Tak lama berselang, ia kembali ke ruangan Diko dengan membawa semua yang ia ambil dari pantri tadi.

“Mari Pak, saya bantu minum obatnya ya.” Thalita meletakkan peralatan yang ia bawa, lalu duduk di samping Diko untuk membantunya bangun.

Diko menggeleng lemah seraya menutup mulut dengan kedua tangannya. “Saya tidak mau minum obat, tolong jangan paksa.”

“Pak Diko, kalau Bapak tidak minum obatnya bagaimana nanti bisa sembuh. Tenang saja ini tidak pahit, setelah minum obat nanti saya kompres biar panasnya cepat turun ya. Apa Bapak mau saya panggilkan dokter?” tanya Thalita selembut mungkin berusaha meyakinkan Diko untuk mau meminum obatnya.

Dengan cepat Diko menggeleng. “Tapi janji ya kamu tetap temani saya di sini sampai saya sembuh?” tanya Diko meminta kepastian.

Tak ingin berdebat lebih jauh, Thalita mengangguk tanda setuju dengan permintaan Diko untuk menemaninya sampai atasannya itu sembuh. Akhirnya Diko mau meminum obat penurun demam yang diberikan oleh Thalita. Setelah itu ia beristirahat lalu Thalita memberikan kompres di kening Diko agar panasnya segera turun.

Thalita mengerjakan tugasnya di ruangan Diko sambil sesekali mengecek keadaan lelaki itu, beberapa jam berlalu demamnya mulai turun dan kesadaran Diko perlahan mulai kembali. Diko mencoba membuka matanya yang terasa berat, ia mendapati dirinya tengah berbaring di sofa ruang kerjanya ditemani oleh Thalita di sampingnya yang sedang sibuk dengan laptopnya.

“Apa yang terjadi dengan saya?” tanya Diko lirih seraya mencoba bangun perlahan dari tidurnya.

Dengan sigap Thalita mendekati Diko lalu membantunya untuk bangun. “Pelan-pelan ya, Pak. Tadi Bapak demam, saya sudah kasih obat lalu saya kompres setelah itu Bapak tidur sampai sekarang baru bangun,” jawab Thalita menjelaskan.

“Saya demam? Ah ... pantas saja pusing sekali rasanya,” sahut Diko seraya memijit keningnya. “Jadi dari tadi kamu yang merawat saya?”

Thalita mengangguk. “Saya sudah menyelesaikan laporan untuk rapat besok dan dokumen yang di meja Bapak juga sudah saya cek dan saya rapikan kembali, jadi besok Bapak tinggal presentasi saja,” terang Thalita sambil meletakkan dokumen di meja kerja Diko.

“Sebaik ini wanita yang akan aku sakiti, apakah aku tega menyakiti wanita sebaik dia demi ambisiku membalas dendam pada kedua kakaknya?” batin Diko bertanya-tanya seraya menatap pada Thalita tak berkedip.

“Pak Diko, Anda baik-baik saja? Apa perlu saya panggilkan dokter untuk memeriksa anda?” tanya Thalita membuyarkan lamunan Diko.

“Ah, tidak ... tidak perlu. Saya sudah baik-baik saja, sepertinya saya terlalu lelah dengan padatnya jadwal pekerjaan minggu lalu,” elak Diko.

“Ya, sebaiknya Bapak segera pulang untuk beristirahat dengan cukup, karena besok kita akan ada rapat dengan seluruh karyawan,” kata Thalita mengingatkan.

“Kamu benar, sepertinya saya perlu beristirahat yang cukup. Kalau begitu mari kita pulang bersama,” ajak Diko.

“Pulang bersama, maksud Bapak?” tanya Thalita tidak paham maksud ajakan Diko.

“Ya, saya akan mengantar kamu pulang. Daripada kamu naik kendaraan online lebih baik saya antar, anggap saja sebagai ucapan terima kasih saya.”

“Hmm, terima kasih sebelumnya Pak, tapi saya bisa pulang sendiri,” tolak Thalita sehalus mungkin.

“Tidak perlu merasa sungkan Thalita, saya tidak suka berhutang budi.”

“Saya tidak menganggap yang saya lakukan ke Bapak tadi adalah hal yang perlu untuk balas budi,” sahut Thalita tegas.

“Tapi tetap saja saya tidak bisa menerima kebaikan orang lain dengan percuma.”

“Jadi maksud Bapak, semua kebaikan bisa diukur dengan materi?” tanya Thalita dengan nada sedikit meninggi.

“Bu— bukan begitu maksud saya.” Diko bingung menjelaskan maksudnya kepada Thalita, akhirnya membuat salah paham kembali terjadi di antara mereka.

“Sudah malam, saya permisi pulang dulu Pak. Selamat malam,” pamit Thalita seraya pergi dari ruangan Diko meski tanpa persetujuan lelaki itu.

“Diko ... apa sih yang kamu lakukan, selalu saja membuat salah paham,” gumam Diko menyalahkan dirinya sendiri. “Aku hanya ingin mengantarnya pulang, hanya saja tidak ada alasan yang tepat. Aku tidak ingin dia merasa bahwa aku mulai tertarik padanya,” lanjutnya lagi.

**

“Selalu saja kata-kata menyakitkan hati yang keluar dari mulutnya, kalau saja bukan bosku sudah aku ... huft!” batin Thalita merasa geram.

“Kamu kenapa Ta?” tanya Joe tiba-tiba datang menghampiri Thalita yang sedang menunggu taksi online di depan lobi kantor.

“Eh Joe, tidak papa. Hanya merasa sedikit kesal saja,” ujarnya seraya melipat kedua tangan di depan dada.

“Pasti kesal sama bos kamu ya?” tebak Joe yang sangat tepat sasaran. “Sepertinya, tiada hari yang beliau lalui tanpa membuat karyawannya merasa kesal ya, hehe,” katanya seraya terkekeh pelan.

Thalita hanya tersenyum tak ingin menanggapi dan membahas lebih jauh tentang bos galaknya itu. Namun siapa sangka, orang yang sedang mereka bicarakan malah sedang berjalan dengan santainya ke arah mereka.

“Panjang umur rupanya, kamu sudah pesan taksi kan? Aku pamit dulu ya, dadah,” pamit Joe segera pergi sebelum bos galak menghampiri mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status