Share

Tugas pertama

“Maaf Pak Diko, jadi kapan Thalita bisa mulai bekerja sebagai sekretaris Bapak?” tanya Kevin membuyarkan lamunan Diko tentang rencana jahatnya.

“Ah ya, hari ini juga bisa dimulai ya. Jadi kamu tinggalkan saja dia di sini karena saya mau dia bekerja untuk saya mulai sekarang juga,” perintah Diko dengan tegas.

Thalita hanya bisa menunduk pasrah akan nasibnya, ia pun tak berani membantah dan memilih untuk tetap diam di tempatnya.

“Baik Pak, kalau begitu saya permisi kembali ke ruangan saya,” pamit Kevin seraya keluar dari ruangan Diko dan kembali ke ruangannya.

Setelah kepergian Kevin, Diko beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah Thalita dengan ekspresi wajah yang tak terbaca.

“Jadi nama kamu Thalita?” tanya Diko sambil berjalan memutari Thalita yang sedang berdiri di tengah ruang kerjanya, lelaki itu meneliti penampilan gadis di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Cukup manis,” batinnya.

“I— iya Pak,” sahut Thalita dengan sedikit gugup.

“Hmm,” gumam Diko seraya menganggukkan kepalanya. “Sudah berapa lama bekerja di sini?” tanya Diko lagi.

“Lima bulan Pak,” sahut Thalita singkat.

“Kamu pasti bertanya-tanya kan, apa alasan saya memilih kamu sebagai sekretaris saya?” tanya Diko, lalu Thalita hanya mengangguk sebagai jawaban.

”Tidak penting jika saya memberi tahu kamu alasan itu sekarang, yang jelas sekarang banyak dokumen di meja saya yang harus kamu cek dan jika sudah benar semua segera berikan ke saya untuk saya tanda tangani. Tapi jika masih ada yang salah kamu kembalikan pada bagian editing, kamu pastikan setiap dokumen yang akan saya tanda tangani sudah benar semua kalau sampai ada yang terlewat kita lihat saja nanti hukuman apa yang pantas untuk kamu. Kamu paham?” perintah Diko dengan tegas.

“Iya saya paham Pak, akan segera saya kerjakan,” sahut Thalita, wanita itu segera berlari kecil ke meja Diko untuk mengambil tumpukan dokumen yang akan ia kerjakan.

“Kamu kerjakan di ruangan ini saja, saya tidak mau kamu membuang buang waktu jika tidak saya awasi,” ujar Diko dengan ketus.

Thalita memilih diam dan tidak ingin berdebat. Segera ia mengambil duduk di sofa depan meja kerja Diko dan memeriksa dokumen yang ada di depannya satu persatu dengan teliti. Tak butuh waktu lama untuk memeriksa tumpukan dokumen yang diberikan Diko, karena sebelum di bagian desain Thalita pernah di tempatkan pada bagian editing selama satu bulan. Untuk itu ia sudah tidak asing lagi dengan dokumen-dokumen di dalam map tersebut.

“Ini sudah saya periksa dan semuanya sudah benar Pak, jadi bisa segera Bapak tanda tangani,” ucap Thalita seraya memberikan tumpukan dokumen kepada Diko.

Diko melirik jam tangannya lalu berkata, “Cepat sekali, kamu yakin ini sudah benar semua?” tanya pria itu meragukan kemampuan Thalita.

Thalita mengangguk yakin. “Iya Pak, semua sudah saya periksa dengan teliti dan sudah sesuai dengan standar perusahaan kita,” sahutnya.

Diko membuka beberapa dokumen dan mencoba membuktikan ucapan Thalita, memang benar yang gadis itu ucapkan bahwa semuanya sudah sesuai dengan standar yang ia inginkan.

“Lumayan juga untuk pemula, sayang sekali aku tidak bisa mengambil celah untuk menghukumnya,” batin Diko kecewa.

“Apa ada yang perlu saya kerjakan lagi untuk Bapak?” tanya Thalita dengan sopan, berusaha memberanikan dirinya menatap ke dalam mata Diko.

Beberapa detik mereka saling bertatapan, karena jarak yang tidak terlalu jauh memungkinkan keduanya bisa melihat satu sama lain dengan lebih jelas.

“Benar yang dikatakan para karyawan wanita, dia memang tampan. Matanya yang berwarna hazel, wajahnya yang tegas, dan ...” batin Thalita seraya menatap lekat ke dalam netra hazel Diko.

“Apa yang kamu lihat?” tanya Diko membuyarkan lamunan Thalita.

Seketika Thalita langsung mengalihkan pandangannya dari Diko. “Maaf Pak, saya tidak bermaksud ....”

“Saya tahu saya tampan, tapi kamu tidak perlu seperti itu jika ingin mengagumi wajah saya,” potong Diko dengan percaya dirinya.

“Maaf ya Pak, saya sama sekali tidak bermaksud mengagumi wajah Anda. Saya hanya ... saya mau permisi ke kamar mandi,” pamitnya seraya pergi setelah Diko mengangguk setuju.

“Apa yang aku katakan sih, kenapa aku bisa bersikap seperti itu padanya. Biasanya jika ada karyawan yang seperti itu padaku langsung kupecat, tapi kenapa dengan dia aku malah bersikap seperti tadi,” gumam Diko tidak mengerti dengan sikapnya sendiri. “Diko, kamu harus ingat dia itu musuh kamu. Kamu harus tegas dan tidak boleh lemah oke,” bicaranya pada diri sendiri.

Di kamar mandi, Thalita juga tidak habis pikir dengan yang ia lakukan kenapa ia bisa bersikap demikian pada bosnya. Akhirnya, ia memilih untuk mencuci mukanya dan mencoba menghilangkan pikiran kagum itu.

“Thalita, kamu di sini harus fokus untuk bekerja. Ingat dia itu bos yang galak dan kamu tidak boleh suka padanya, cukup kerjakan yang ia perintahkan dan jangan pernah menatap terlalu lama lagi,” gumam Thalita pada dirinya.

Setelah selesai, Thalita segera kembali ke ruangan Diko dan menunggu tugas selanjutnya yang akan ia kerjakan. Diko masih fokus dengan tumpukan dokumen yang sedang ia tanda tangani, sambil ia berpikir tentang tugas apa yang akan ia berikan untuk Thalita.

Mengingat hari ini tidak ada rapat atau pertemuan dengan klien, untuk itu Diko hanya menyuruh Thalita mempelajari catatan yang ditinggalkan sekretaris pendahulunya agar ia memahami tugas apa saja yang harus ia kerjakan selama menjadi sekretaris CEO.

Selama Thalita membaca dan mempelajari tugas-tugas yang akan ia kerjakan besok, sesekali Diko mencuri pandang ke arahnya. Meski pun begitu keduanya berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan masing-masing hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 05.00 sore yang berarti jam kantor telah berakhir.

“Sudah waktunya pulang, kamu boleh meninggalkan tempat ini,” ujar Diko memecah keheningan di antara mereka.

“Apa sudah tidak ada yang perlu saya kerjakan lagi Pak?” tanya Thalita memastikan.

Diko menggeleng. “Cukup untuk hari ini, persiapkan saja diri kamu besok untuk menyusun jadwal rapat dan pertemuan saya dengan klien selama satu bulan ke depan.”

Thalita mengangguk paham. “Baiklah kalau begitu saya permisi pulang dulu ya Pak,” pamit Thalita seraya menenteng tasnya.

Diko mengangguk. “Terima kasih untuk hari ini dan hati-hati di jalan.”

“Baik Pak, selamat sore,” pamit Thalita lalu segera keluar dari ruangan Diko. “Akhirnya, hari ini berakhir juga,” katanya lega.

“Huh, apa yang aku lakukan sih lagi-lagi aku bersikap baik padanya. Kenapa sulit sekali rasanya untuk berbuat jahat kepada wanita itu,” keluh Diko pada dirinya.

Flashback OFF...

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status