RSUD Fatmawati, ruang UGD. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Nayla berdiri di depan tempat tidur 7, menatap Galan yang terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Wajah pria itu pucat, mata tertutup, dada naik-turun dengan rhythm yang tidak stabil. Bandage menutupi dahinya yang terluka.Dr. Hendra, dokter jaga berusia 40-an dengan kacamata tebal, berdiri di sampingnya sambil memegang clipboard."Kecelakaan motor di Sudirman jam 5 sore," jelasnya dengan suara pelan. "Patah tulang rusuk, gegar otak ringan. Kondisi stabil, tapi perlu observasi 48 jam."Nayla mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari Galan. "Dia... sadar?""Sempat sadar saat dibawa kemari. Terus menyebut nama Ibu sebagai emergency contact. Bilang Ibu satu-satunya keluarga yang dia punya di Jakarta."Nayla menatap dokter itu dengan mata terkejut. "Satu-satunya?""Dia bilang orangtuanya di Malang, tapi... relationship-nya complicated." Dr. Hendra menurunkan suaranya. "Dan dia bil
Apartemen sempit Kebon Jeruk. Galan duduk di lantai, punggungnya bersandar ke tembok yang cat putihnya mulai mengelupas. Di pangkuannya, ponsel Samsung lama—hasil jual iPhone 15 Pro Max untuk bayar uang makan sebulan. Layar menampilkan riwayat panggilan: Nayla Andara - 47 missed calls dalam tiga hari terakhir.Tangannya gemetar saat menekan tombol call sekali lagi."Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."Nada operator yang sama. Untuk yang ke-48 kalinya.Galan melempar ponsel ke sofa dengan frustrasi. Suara benda itu membentur bantalan lusuh terdengar menyedihkan di ruangan yang hening."Najla..." bisiknya, menggunakan nama panggilan yang dulu hanya ia yang tahu. "Please. Cuma sekali. Cuma lima menit."Tapi tentu saja, tidak ada yang menjawab.Lobby Andara Corporate Center Galan berdiri di dekat pilar marmer putih, mengenakan kemeja putih yang sama sejak tiga hari lalu—satu-satunya kemeja 'decent' yang masih
Taman Menteng Central Park, pukul tujuh malam. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya ke daun-daun yang sebagian telah menguning. Udara malam terasa ringan, membawa aroma rumput basah dan sedikit wangi bunga dari sudut taman. Suara gemericik air mancur berpadu dengan tawa anak-anak di playground, walau perlahan mulai berkurang seiring matahari sepenuhnya tenggelam.Nayla duduk di bangku kayu menghadap kolam kecil. Blazer abu-abu yang ia pakai sejak meeting tadi masih melekat, tapi bahunya kini lebih rileks. Tangannya terlipat di pangkuan, matanya tak lepas dari riak air di permukaan kolam.Dari arah parkiran, Arvino muncul. Ia membawa dua cup kopi kertas, aroma espresso tercium samar di udara dingin. Langkahnya pelan, seolah mempertimbangkan setiap jarak yang ia tempuh.“Latte, extra shot,” ucapnya sambil menyodorkan salah satu cup begitu tiba di bangku itu. Ia duduk di ujung yang lain—cukup dekat untuk berbicara, tapi tidak sampai menyi
Lantai dua puluh delapan, Andara Corporate Center.Ruang rapat utama terbentang megah, dinding kacanya menjulang dari lantai hingga langit-langit, memamerkan pemandangan skyline Jakarta yang berkilau di bawah cahaya sore.Di ujung meja panjang dari kayu mahoni mengilap, Nayla duduk tegak. Blazer abu-abu dengan potongan tegas membingkai sosoknya yang memang sudah memancarkan wibawa alami.Di sekelilingnya, lima anggota tim legal dan strategi perusahaan sudah siap. Di antara mereka, David Kusuma, kepala divisi legal, duduk paling dekat. Lelaki empat puluhan itu mengenakan kacamata berbingkai titanium dan membawa setumpuk dokumen tebal. Di sampingnya, Ratna Sari, direktur strategi bisnis, dengan rambut bob rapi dan laptop yang sudah terbuka.David memecah keheningan. Suaranya terdengar profesional, namun ada nada akrab setelah enam tahun bekerja bersama Nayla.“Nay, kami sudah analisis situasi PT Galan Mitra Solusi. Kesempatan sepert
Studio TV One lantai 12. Lampu sorot terang menyilaukan mata, kamera berjejer menghadap meja wawancara berlapis kain burgundy. Galan duduk berhadapan dengan Anita Sari, presenter senior berusia 45 tahun yang dikenal tajam dalam wawancara investigatif. Di telinganya, earpiece kecil mengeluarkan suara produser yang memberi instruksi: "Live dalam 3... 2... 1..."Lampu "ON AIR" menyala merah."Selamat malam, pemirsa," Anita menatap kamera dengan mata tajam, "malam ini, dalam program eksklusif 'Behind The Truth', kami hadirkan langsung Galan Dwipura, pengusaha yang tengah menjadi sorotan publik akibat kasus korupsi yang melibatkan perusahaannya."Kamera beralih ke Galan. Ia mengenakan kemeja putih sederhana—sangat berbeda dari setelan mahal yang biasa ia pakai. Wajahnya kurus, mata agak cekung, tapi sorot matanya masih menunjukkan determinasi."Terima kasih, Bu Anita, karena memberikan kesempatan untuk berbicara," kata Galan dengan suara
Ruang interogasi Gedung KPK lantai tiga. Dinding putih bersih, meja kayu sederhana, dua kursi berhadapan. Alya duduk dengan tangan terlipat di atas meja, blazer merah marunnya sedikit kusut setelah lima jam pemeriksaan. Matanya bengkak, tidak dari menangis—tapi dari kurang tidur dan stress berkepanjangan.Di seberangnya, Penyidik Hartono membuka berkas tebal, wajahnya datar dan profesional. Di samping kiri, kamera perekam menyala dengan lampu merah kecil yang berkedip."Ibu Alya Sari," suara Hartono tenang tapi tegas, "kami punya bukti transfer dana sebesar 2,3 miliar rupiah dari rekening perusahaan ke rekening pribadi Anda. Pada tanggal 15 Maret 2024. Bagaimana penjelasannya?"Alya mengangkat kepala, menatap Hartono dengan mata yang mulai berkilat marah. "Itu fee konsultansi. Legal.""Fee konsultansi untuk apa, Bu?""Strategi bisnis. Networking. Saya yang menghubungkan PT Galan dengan investor-investor besar." Suara Alya mul