Galan menatap notaris di depannya dengan wajah pucat. Kata "hutang" bergema di kepalanya seperti lonceng kematian.
"Berapa... berapa besar hutangnya?" tanyanya dengan suara serak.
Notaris itu membuka berkas tebal. "Almarhum ayah Bapak meminjam uang untuk modal usaha ternak sapi sekitar dua tahun lalu. Total hutang dengan bunga mencapai 800 juta rupiah."
Dunia Galan berputar. Delapan ratus juta. Sementara perusahaannya sendiri bangkrut, dan ia bahkan tidak punya uang untuk makan besok.
"Tapi... Papah tidak pernah bilang soal usaha ternak..."
"Menurut catatan, almarhum mencoba bisnis ini untuk... menurut suratnya di sini... 'membantu anak yang selalu gagal dalam bisnis.' Tapi usaha ternak itu juga gagal karena wabah penyakit sapi tahun lalu."
Setiap kata seperti pisau yang menusuk dada Galan. Ayahnya, dalam usia senja, memaksakan diri berbisnis demi anaknya yang terus gagal. Dan sekarang, hutang itu menjadi tanggung jawab Galan sebagai ahli wa
Pagi itu Galan terbangun dengan perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan. Pertemuan dengan Nayla masih beberapa jam lagi, tapi pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Ia meraih kunci mobil, tanpa tujuan pasti, hanya ingin keluar dari apartemen yang terasa seperti penjara.Tanpa sadar, kakinya mengarahkan setir ke arah Depok. Daerah yang sudah lima tahun tidak ia kunjungi. Daerah di mana semuanya dimulai—dan berakhir.Jalan Margonda Raya masih ramai seperti dulu. Warung-warung kecil, mahasiswa berlalu lalang, becak yang memenuhi jalan. Tapi semuanya terasa asing bagi Galan yang sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk Sudirman dan kemewahan Kemayoran.Ia memarkirkan mobil di depan Gang Melati 5, gang kecil yang dulu menjadi alamat mereka. Hatinya berdebar saat melangkah masuk. Rumah kontrakan nomor 7, tempat ia dan Nayla tinggal selama dua tahun.Rumah itu masih berdiri, tapi catnya sudah kusam. Ada jemuran di depan, suara anak-anak bermain di halaman kecil.
Galan menatap notaris di depannya dengan wajah pucat. Kata "hutang" bergema di kepalanya seperti lonceng kematian."Berapa... berapa besar hutangnya?" tanyanya dengan suara serak.Notaris itu membuka berkas tebal. "Almarhum ayah Bapak meminjam uang untuk modal usaha ternak sapi sekitar dua tahun lalu. Total hutang dengan bunga mencapai 800 juta rupiah."Dunia Galan berputar. Delapan ratus juta. Sementara perusahaannya sendiri bangkrut, dan ia bahkan tidak punya uang untuk makan besok."Tapi... Papah tidak pernah bilang soal usaha ternak...""Menurut catatan, almarhum mencoba bisnis ini untuk... menurut suratnya di sini... 'membantu anak yang selalu gagal dalam bisnis.' Tapi usaha ternak itu juga gagal karena wabah penyakit sapi tahun lalu."Setiap kata seperti pisau yang menusuk dada Galan. Ayahnya, dalam usia senja, memaksakan diri berbisnis demi anaknya yang terus gagal. Dan sekarang, hutang itu menjadi tanggung jawab Galan sebagai ahli wa
"Mama kamu akan datang besok pagi," jawab Nayla tanpa menatapnya. "Aku akan pulang setelah dia sampai."Galan tersenyum—senyum pertama yang genuine dalam berbulan-bulan. "Thank you.""Don't read too much into this, Galan," kata Nayla dengan suara firm tapi tidak kasar. "I'm here because you're a human being who needs help. Nothing more."Galan mengangguk pelan. "I know. Dan... that's enough."Keesokan paginya. Pukul 7 pagi.Mama Galan tiba dengan mata sembab dan rambut berantakan. Wanita berusia 60-an ini langsung memeluk Nayla sebelum mendekati anaknya."Nayla anak baik, terima kasih ya sudah jaga Galan semalam," katanya sambil menangis."Tidak apa-apa, Bu. Ini yang seharusnya dilakukan."Mama Galan menatap Nayla dengan mata penuh haru. "Galan cerita, dia udah nyakitin kamu bertahun-tahun lalu. Tapi kamu masih mau... masih mau peduli."Nayla tersenyum tipis. "Bu, saya tidak melakukan ini untuk Galan. Saya melakuka
Nayla menatap amplop coklat di tangannya dengan perasaan campur aduk. Nama almarhum Bapak Dwipura Santoso tertera jelas di kop surat notaris. Ayah Galan yang selama ini ia kira masih hidup di Malang, ternyata sudah tiada tiga hari lalu."Bapak... kenapa meninggalkan wasiat untuk saya?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.Notaris yang lebih tua, Pak Wijaya, menatapnya dengan ekspresi serius. "Sebaiknya Ibu baca sendiri isi suratnya. Tapi sebelumnya, kami perlu konfirmasi—apakah Ibu mengenal baik almarhum?""Saya... saya mantan kekasih anaknya. Galan."Kedua notaris itu saling bertatapan. "Ah, pantas. Almarhum sering menyebut nama Ibu menjelang akhir hidupnya."Nayla merasa dadanya sesak. "Menyebut nama saya?""Beliau bilang, 'Kalau ada apa-apa dengan saya, tolong sampaikan pada Nayla bahwa dia anak yang baik. Dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan Galan dari dirinya sendiri.'"Air mata mulai menggenang di mata Nayla. Tanpa kata, ia membuka amplop itu dengan tangan bergetar.Tulisa
RSUD Fatmawati, ruang UGD. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Nayla berdiri di depan tempat tidur 7, menatap Galan yang terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Wajah pria itu pucat, mata tertutup, dada naik-turun dengan rhythm yang tidak stabil. Bandage menutupi dahinya yang terluka.Dr. Hendra, dokter jaga berusia 40-an dengan kacamata tebal, berdiri di sampingnya sambil memegang clipboard."Kecelakaan motor di Sudirman jam 5 sore," jelasnya dengan suara pelan. "Patah tulang rusuk, gegar otak ringan. Kondisi stabil, tapi perlu observasi 48 jam."Nayla mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari Galan. "Dia... sadar?""Sempat sadar saat dibawa kemari. Terus menyebut nama Ibu sebagai emergency contact. Bilang Ibu satu-satunya keluarga yang dia punya di Jakarta."Nayla menatap dokter itu dengan mata terkejut. "Satu-satunya?""Dia bilang orangtuanya di Malang, tapi... relationship-nya complicated." Dr. Hendra menurunkan suaranya. "Dan dia bil
Apartemen sempit Kebon Jeruk. Galan duduk di lantai, punggungnya bersandar ke tembok yang cat putihnya mulai mengelupas. Di pangkuannya, ponsel Samsung lama—hasil jual iPhone 15 Pro Max untuk bayar uang makan sebulan. Layar menampilkan riwayat panggilan: Nayla Andara - 47 missed calls dalam tiga hari terakhir.Tangannya gemetar saat menekan tombol call sekali lagi."Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."Nada operator yang sama. Untuk yang ke-48 kalinya.Galan melempar ponsel ke sofa dengan frustrasi. Suara benda itu membentur bantalan lusuh terdengar menyedihkan di ruangan yang hening."Najla..." bisiknya, menggunakan nama panggilan yang dulu hanya ia yang tahu. "Please. Cuma sekali. Cuma lima menit."Tapi tentu saja, tidak ada yang menjawab.Lobby Andara Corporate Center Galan berdiri di dekat pilar marmer putih, mengenakan kemeja putih yang sama sejak tiga hari lalu—satu-satunya kemeja 'decent' yang masih