Share

Bab 313

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-10-10 23:51:49

Udara malam itu terasa lembut. Angin dari jendela terbuka membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di antara cahaya temaram lampu meja, Nayla duduk di sofa ruang tamu kecil rumah aman itu. Pikirannya masih penuh oleh peristiwa hari ini — kematian Daniel, pengkhianatan Marcus, dan pesan terakhir yang menggantung seperti luka terbuka.

Damar datang tanpa suara, membawa dua cangkir teh hangat. Ia menaruh satu di depan Nayla, lalu duduk di kursi seberangnya. Gerakannya sederhana, tapi entah kenapa selalu membuat Nayla merasa sedikit lebih tenang.

“Sudah agak mendingan?” tanyanya pelan.

Nayla menggeleng sambil menatap permukaan teh yang bergetar kecil. “Rasanya… semua ini seperti mimpi buruk yang nggak selesai-selesai. Setiap kali aku pikir udah sampai di ujung, ternyata masih ada lapisan baru.”

Damar mengangguk, tidak memotong. Ia tahu, kadang yang dibutuhkan Nayla bukan jawaban, tapi ruang untuk bernapas.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Lalu Damar membuka tas kulit lusuh di p
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 342

    Langit sore tampak teduh saat Harra memindahkan beberapa kursi lipat ke tengah ruangan. Aula kecil di belakang rumah mereka kini tampak seperti ruang rapat dadakan: ada papan tulis, laptop bekas, dan tumpukan kertas berisi sketsa ide proyek. Di dinding, tulisan besar hasil spidol warna biru berbunyi: JENDELA HARAPAN – Batch Pertama.“Maaf ya, masih berantakan,” ucap Harra sambil menepuk-nepuk debu di meja.Tiga orang mahasiswa dan dua remaja dari komunitas lokal duduk di depannya, beberapa masih terlihat malu-malu.Tidak ada jas formal, tidak ada kartu nama. Hanya semangat yang terasa di udara.“Baik,” kata Harra sambil tersenyum, “sebelum kita mulai, aku mau bilang satu hal dulu.”Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya. Ada Reza, mahasiswa teknik yang jago bongkar pasang komputer; ada Icha, guru relawan; lalu Dimas, anak kampung sebelah yang gemar coding dari warnet.“Aku nggak butuh orang paling pintar,” lanjutnya pelan tapi tegas. “Aku butuh orang yang peduli. Yang mau turun

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 341

    Ruang rapat itu tidak sebesar ballroom konferensi internasional yang dulu sering dihadiri Nayla, tapi cukup megah untuk membuat siapa pun gugup. Dindingnya dipenuhi layar LED yang menampilkan logo perusahaan besar, dan di bagian depan, Harra berdiri dengan pointer di tangan. Di belakangnya, slide presentasi bertuliskan: “Jendela Harapan – Pendidikan Digital untuk Desa.”Tangannya sedikit gemetar. Napasnya cepat. Tapi matanya—tajam, penuh keyakinan.“...Selama ini, anak-anak di pelosok hanya mendengar kata internet tanpa benar-benar menyentuhnya,” katanya, menatap para calon mitra di depan. “Mereka tahu tentang dunia digital dari televisi, bukan dari pengalaman langsung. Dan kami ingin mengubah itu. Bukan hanya dengan memberi perangkat, tapi dengan membuka cara berpikir baru.”Ia berhenti sebentar, menatap layar. Dalam sepersekian detik itu, Harra bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia sempat ragu—apakah suaranya cukup meyakinkan, apakah ide itu terdengar terlalu idealis?Namun

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 340

    Pagi itu, ruang komunitas di lantai dua gedung kecil milik yayasan mereka penuh dengan suara tawa, diskusi, dan semangat muda. Di dindingnya tergantung peta Indonesia besar dengan titik-titik kecil berwarna merah—tempat-tempat yang ingin mereka jangkau suatu hari nanti.Di tengah ruangan, Harra berdiri dengan spidol di tangan dan mata yang menyala-nyala. Rambutnya dikuncir seadanya, dan kemeja putih yang digulung sampai siku sudah berlumur tinta warna. Tapi semangatnya tak pernah berkurang.“Bayangkan kalau setiap desa punya akses internet stabil dan mentor yang siap ngajarin coding dasar, desain, dan marketing online,” katanya antusias. “Bukan cuma teori, tapi aplikasi nyata—cara mereka bisa jual hasil panen, kerajinan, bahkan ide mereka sendiri.”Belasan anak muda di depannya mengangguk penuh semangat. Sebagian mencatat, sebagian lagi sibuk menempelkan sticky notes di papan tulis besar bertuliskan: ‘Proyek Jendela Harapan – Tahap Awal.’Dari sudut ruangan, Nayla memperhatikan dengan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 339

    Udara pagi di puncak bukit itu begitu bersih, hampir seolah dunia sengaja menunda hiruk pikuknya demi memberi mereka waktu sedikit lebih lama. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, dan kabut tipis perlahan menyingkap lembah hijau yang membentang di bawah. Nayla duduk di atas batu besar, mengenakan jaket krem yang sedikit kebesaran, rambutnya terurai ditiup angin. Arvino duduk di sampingnya, diam, hanya menatap horizon dengan tatapan yang penuh arti.Mereka sudah lama tidak bicara. Tidak karena kehabisan topik, tapi karena keheningan itu sendiri sudah cukup menenangkan. Di antara bunyi burung dan desir angin, keduanya seperti menemukan bentuk kedamaian yang tidak bisa dibeli.“Indah, ya,” kata Arvino akhirnya, suaranya serak tapi lembut.Nayla mengangguk pelan. “Indah… tapi bukan karena pemandangannya. Mungkin karena aku akhirnya bisa menikmatinya tanpa rasa takut kehilangan.”Arvino menoleh. “Takut kehilangan?”Nayla menatap lembah di bawah, senyum kecil mengembang di wajahnya. “

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 338

    Malam itu, langit terbentang seperti kanvas hitam dengan taburan bintang-bintang yang berkilau lembut. Udara dingin pegunungan menggigit kulit, tapi di depan vila kayu kecil itu, api unggun menyala hangat—menyulut percakapan yang jarang lahir di tengah kesunyian.Nayla duduk bersila di atas karpet bulu yang dibentangkan di depan api, mengenakan sweater rajut abu-abu dan syal tebal. Rambutnya diikat asal, tapi di mata Arvino, tidak ada yang lebih mempesona dari kesederhanaan itu. Ia tampak tenang, tapi di matanya, ada pantulan nyala api yang hidup—seolah menyimpan seribu cerita yang pernah terbakar dan kini berubah jadi cahaya.Arvino melemparkan sepotong kayu ke dalam api. Suara letupannya terdengar kecil, lalu disusul percikan bunga api yang menari sebentar sebelum lenyap ke udara malam.“Kalau semua ini diambil lagi suatu hari nanti…” katanya pelan, menatap api dengan pandangan yang dalam. “Ketenangan ini, tempat ini, hidup yang kita punya sekarang… kamu bakal tetap baik-baik saja?”

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 337

    Langit sore itu seperti sedang menulis puisi dengan tinta abu-abu. Hujan turun perlahan, rintiknya menari di atas genting dan menuruni kaca jendela, meninggalkan jejak seperti garis waktu yang tak pernah berhenti.Nayla berdiri di balik jendela vila itu, jemarinya menelusuri butiran air yang mengalir lambat. Udara pegunungan yang dingin bercampur dengan aroma tanah basah menenangkan, tapi juga menghadirkan sesuatu—sebuah kenangan yang tak lagi menyakitkan, hanya… hangat.“Dulu,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “setiap kali hujan turun, aku merasa dunia ikut menangis bersamaku.”Arvino, yang duduk di sofa dengan buku di tangan, menatapnya. Suaranya lembut tapi penuh perhatian.“Dan sekarang?”Nayla tersenyum samar. “Sekarang, hujan hanya hujan. Tidak membawa siapa pun. Tidak menuntut apa pun.” Ia berhenti sejenak, menatap keluar lagi sebelum menambahkan, “Dan kamu… hanya kamu. Bukan pengganti siapa pun.”Arvino menutup bukunya, berjalan mendekat. Langkahny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status