Se connecterMalam itu turun perlahan, menyelimuti rumah tua itu dengan cahaya lampu kuning temaram. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, bercampur dengan wangi kayu tua yang selalu membuat Nayla merasa aneh—antara tenang dan sesak.Ia duduk di ruang tengah, di kursi rotan yang dulu jadi tempat favoritnya membaca buku saat SMA. Di depannya, ibunya sedang menata cangkir teh di atas meja, gerakannya pelan tapi pasti, seolah tak ingin memecahkan keheningan yang menggantung di antara mereka.Dari luar jendela, suara jangkrik terdengar bersahutan. Nayla menatap ke arah cahaya lampu di dapur, lalu beralih menatap ibunya. Ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan, tapi baru malam ini ia berani.“Ma,” panggil Nayla pelan.Ibunya mendongak, menatap lembut. “Hm?”Nayla menarik napas panjang. “Waktu aku bilang mau ikut Galan dulu… kenapa Ibu nggak pernah melarang?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi begitu terdengar di udara, Nayla bisa merasakan betapa berat artinya. Ia seperti ke
Nayla turun perlahan. Udara di tempat ini berbeda—lebih lambat, lebih jujur, seakan waktu menolak berjalan terlalu cepat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba tak teratur.Pintu rumah terbuka sebelum sempat ia mengetuk. Sosok perempuan tua muncul di ambang pintu. Rambutnya sudah memutih, tapi sorot matanya tetap sama—hangat, teduh, dan penuh penerimaan.“Ma…” suara Nayla tercekat.Ibunya tidak banyak bicara. Ia hanya membuka tangannya, dan Nayla langsung melangkah masuk ke dalam pelukan itu. Sebuah pelukan yang tidak butuh penjelasan, tidak perlu permintaan maaf. Pelukan yang menyembuhkan luka-luka sunyi yang tak pernah terucap.“Udah lama, ya,” bisik ibunya pelan.“Iya, Ma… terlalu lama.” Nayla menahan isak yang tiba-tiba muncul.Ibunya mengusap punggungnya lembut. “Kamu pulang bukan buat minta maaf, kan?”Nayla terdiam. Lalu menggeleng pelan. “Bukan, Ma. Aku pulang buat… belajar tenang.”Senyum tipis muncul di wajah ibunya. “Ya sudah. Kalau
Senja itu turun perlahan, menyapu halaman rumah dengan cahaya jingga yang lembut. Di beranda, Nayla duduk sambil memeluk cangkir teh hangatnya. Angin sore membawa aroma tanah basah dan suara burung yang mulai kembali ke sarang.Ia tampak tenang, tapi matanya tak lepas dari jalan kecil di depan rumah. Ada sesuatu di sorotnya — campuran antara rindu, cemas, dan bangga yang tak ingin diucapkan keras-keras.Dari ujung jalan, Harra muncul dengan langkah pelan. Ranselnya tergantung di bahu, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, dan wajahnya terlihat letih — bukan karena lelah fisik semata, tapi karena beban pikiran yang belum sempat ia letakkan.Begitu sampai di depan beranda, Harra berhenti sebentar, menatap ibunya yang tersenyum kecil.“Ma…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Nayla menatapnya, lalu menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Sini, duduk dulu.”Harra menuruti. Ia menurunkan ranselnya dan duduk di samping Nayla. Beberapa saat keduanya diam, hanya ditemani suara dedaunan
Gedung konferensi internasional itu megah, dengan bendera dari berbagai negara tergantung di sepanjang dinding kaca. Para peserta dari seluruh Asia Tenggara duduk rapi mengenakan name tag, sebagian sibuk mencatat, sebagian lagi sibuk memotret suasana.Di tengah panggung, Harra Nayla Arvino berdiri dengan mikrofon di tangan dan senyum tenang di wajahnya.“Selamat pagi,” suaranya lembut, tapi jelas. “Nama saya Harra, dan saya datang bukan dari kota besar, bukan dari keluarga politik, bukan dari perusahaan raksasa. Saya datang dari ruang belajar kecil di belakang rumah—yang sekarang kami sebut Jendela Harapan.”Beberapa peserta tersenyum. Yang lain memperhatikan serius.Di layar besar di belakangnya, tayangan dokumenter berdurasi lima menit mulai diputar. Rekaman sederhana tentang anak-anak desa yang belajar mengetik, menatap layar komputer pertama mereka, dan tertawa saat berhasil menulis nama sendiri di dokumen digital.“Lihat itu,” bisik salah satu delegasi dari Filipina. “Itu luar bi
Langit sore tampak teduh saat Harra memindahkan beberapa kursi lipat ke tengah ruangan. Aula kecil di belakang rumah mereka kini tampak seperti ruang rapat dadakan: ada papan tulis, laptop bekas, dan tumpukan kertas berisi sketsa ide proyek. Di dinding, tulisan besar hasil spidol warna biru berbunyi: JENDELA HARAPAN – Batch Pertama.“Maaf ya, masih berantakan,” ucap Harra sambil menepuk-nepuk debu di meja.Tiga orang mahasiswa dan dua remaja dari komunitas lokal duduk di depannya, beberapa masih terlihat malu-malu.Tidak ada jas formal, tidak ada kartu nama. Hanya semangat yang terasa di udara.“Baik,” kata Harra sambil tersenyum, “sebelum kita mulai, aku mau bilang satu hal dulu.”Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya. Ada Reza, mahasiswa teknik yang jago bongkar pasang komputer; ada Icha, guru relawan; lalu Dimas, anak kampung sebelah yang gemar coding dari warnet.“Aku nggak butuh orang paling pintar,” lanjutnya pelan tapi tegas. “Aku butuh orang yang peduli. Yang mau turun
Ruang rapat itu tidak sebesar ballroom konferensi internasional yang dulu sering dihadiri Nayla, tapi cukup megah untuk membuat siapa pun gugup. Dindingnya dipenuhi layar LED yang menampilkan logo perusahaan besar, dan di bagian depan, Harra berdiri dengan pointer di tangan. Di belakangnya, slide presentasi bertuliskan: “Jendela Harapan – Pendidikan Digital untuk Desa.”Tangannya sedikit gemetar. Napasnya cepat. Tapi matanya—tajam, penuh keyakinan.“...Selama ini, anak-anak di pelosok hanya mendengar kata internet tanpa benar-benar menyentuhnya,” katanya, menatap para calon mitra di depan. “Mereka tahu tentang dunia digital dari televisi, bukan dari pengalaman langsung. Dan kami ingin mengubah itu. Bukan hanya dengan memberi perangkat, tapi dengan membuka cara berpikir baru.”Ia berhenti sebentar, menatap layar. Dalam sepersekian detik itu, Harra bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia sempat ragu—apakah suaranya cukup meyakinkan, apakah ide itu terdengar terlalu idealis?Namun







