Share

Bab 43

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-16 23:50:04

Nayla merasa jiwanya tercabik. Semua pengorbanannya dianggap... tidak cukup glamor. Tidak cukup layak.

"Dulu aku butuh kamu. Sekarang… aku butuh seseorang yang bisa mengangkat namaku, bukan menahannya di bawah."

Kata-kata itu menghantam lebih kuat dari pengkhianatan fisik. Ia bukan cuma ditinggalkan. Ia dihina.

Serpihan-serpihan kenangan melintas di benaknya. Hari-hari saat ia merelakan beasiswanya karena Reyhan tidak bisa ditinggal sendiri mengurus usaha barunya. Malam-malam ia menemani Reyhan begadang menyusun proposal, menjahit mimpi-mimpi mereka dalam rangkaian kata yang meyakinkan. Tahun-tahun ia hidup sederhana, menunda keinginannya sendiri, karena setiap rupiah perlu dihemat untuk modal bisnis yang mereka bangun bersama.

Kini semua itu dibuang begitu saja. Diinjak-injak tanpa belas kasihan.

"Apa maksudmu, Rey?" Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Begitu lemah, begitu rapuh.

Reyhan bahkan tidak menatapnya langsung. Matanya tertuju ke luar jendela kafe, seolah ada hal
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 46

    Taksi melaju menyusuri jalan-jalan Jakarta yang padat. Dari jendela, Nayla memandangi kota yang berubah selama ia "menghilang" dalam hubungannya dengan Reyhan. Ada gedung-gedung baru, jalan-jalan baru, kehidupan-kehidupan baru yang berlangsung sementara ia terjebak dalam lingkaran yang sama."Sudah lama tidak pulang, Mbak?" tanya sopir taksi, menangkap ekspresi nostalgia di wajah Nayla."Tujuh tahun," jawab Nayla pendek."Wah, lama sekali. Pasti banyak yang berubah ya."Nayla tersenyum. "Ya, termasuk saya."Taksi berbelok ke jalan yang sangat dikenalnya—jalan menuju rumah orangtuanya di pinggiran kota. Pepohonan rindang masih berjajar di sepanjang jalan, memberikan keteduhan yang familiar. Rumah-rumah tetangga masih terlihat sama, meski beberapa sudah berganti warna cat atau pagar.Dan kemudian, rumah itu muncul di pandangan. Rumah sederhana bercat putih dengan pagar hijau tua dan taman kecil di depannya. Tempat yang selama ini ia hindari karena takut mengecewakan Reyhan.Taksi berhen

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 45

    Esoknya, Nayla membereskan barang-barangnya. Bukan karena diusir, tapi karena ia sadar: Ia telah kehilangan dirinya sendiri di dalam rumah itu.Ia menulis satu kalimat di selembar kertas: "Terima kasih atas waktumu. Tapi aku akan mengambil kembali diriku sendiri."Lalu ia menelepon seseorang—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun: "Ayah… bolehkah aku pulang?"Suara di seberang telepon terdiam beberapa saat. Lalu dengan suara yang penuh keharuan, ayahnya menjawab, "Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Nay."Nayla merasakan hangat menjalar di dadanya. Selama ini, ia menjauh dari keluarganya karena Reyhan. "Keluargamu terlalu tradisional, Nay. Mereka tidak akan mengerti visi bisnismu," kata Reyhan dulu. Dan Nayla mempercayainya, membiarkan hubungan dengan keluarganya memudar seperti foto lama yang terkena sinar matahari terlalu lama.Dengan gerakan metodis, ia mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 44

    Malam itu, Nayla tidak menangis. Bukan karena ia tidak terluka, tapi karena luka itu terlalu dalam untuk air mata.Ia hanya duduk diam, memeluk dirinya sendiri di kamar gelap.Dan untuk pertama kalinya sejak lama… ia tak merasa ingin menyelamatkan hubungan itu lagi.Apartemen yang ia tempati bersama Reyhan terasa begitu sunyi, seolah ruangan itu sendiri menahan napas. Lampu-lampu sengaja tidak dinyalakan. Dalam kegelapan, Nayla bisa merasakan lebih jelas ketidakhadiran Reyhan di sampingnya—sesuatu yang sebenarnya sudah ia rasakan sejak berbulan-bulan lalu, tetapi selalu ia sangkal.Jemarinya menyentuh cincin sederhana di jari manisnya. Cincin perak tanpa berlian yang Reyhan berikan saat mereka akhirnya mampu menyewa apartemen ini tiga tahun lalu. "Ini janji kita," kata Reyhan saat itu. "Suatu hari nanti, akan kuganti dengan cincin berlian."Nayla tersenyum getir. Kini ia paham, janji itu mungkin akan ditepati—tapi dengan wanita lain.Ponselnya bergetar untuk kesekian kali. Notifikasi

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 43

    Nayla merasa jiwanya tercabik. Semua pengorbanannya dianggap... tidak cukup glamor. Tidak cukup layak."Dulu aku butuh kamu. Sekarang… aku butuh seseorang yang bisa mengangkat namaku, bukan menahannya di bawah."Kata-kata itu menghantam lebih kuat dari pengkhianatan fisik. Ia bukan cuma ditinggalkan. Ia dihina.Serpihan-serpihan kenangan melintas di benaknya. Hari-hari saat ia merelakan beasiswanya karena Reyhan tidak bisa ditinggal sendiri mengurus usaha barunya. Malam-malam ia menemani Reyhan begadang menyusun proposal, menjahit mimpi-mimpi mereka dalam rangkaian kata yang meyakinkan. Tahun-tahun ia hidup sederhana, menunda keinginannya sendiri, karena setiap rupiah perlu dihemat untuk modal bisnis yang mereka bangun bersama.Kini semua itu dibuang begitu saja. Diinjak-injak tanpa belas kasihan."Apa maksudmu, Rey?" Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Begitu lemah, begitu rapuh.Reyhan bahkan tidak menatapnya langsung. Matanya tertuju ke luar jendela kafe, seolah ada hal

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 42

    Malam itu, Nayla duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan kosong ke arah dinding. Lampu ruangan hanya dinyalakan sebagian, membiarkan sebagian tubuhnya diselimuti bayangan. Pukul 23.47. Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, menunggu. Secangkir teh chamomile yang ia buat untuk menenangkan diri telah dingin di atas meja, tak tersentuh.Di pangkuannya terdapat beberapa lembar foto. Foto-foto yang ia ambil secara diam-diam dengan kamera ponselnya saat mengikuti Galan dan Alya di hotel tadi. Ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya mengambil foto-foto itu. Mungkin sebagai bukti untuk dirinya sendiri bahwa semua ini nyata, bukan hanya mimpi buruk yang akan hilang saat ia terbangun.Suara mesin mobil yang dimatikan terdengar dari halaman depan. Nayla menegakkan tubuhnya, menarik napas dalam-dalam. Derap langkah familiar mendekat ke pintu depan, diikuti suara kunci yang diputar.Galan melangkah masuk, masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang Nayla lihat di hotel. Wajahnya t

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 41

    Malam itu hujan rintik membasahi Jakarta. Nayla duduk gelisah di sofa apartemennya, jemarinya berulang kali mengusap layar ponsel yang mati. Sudah ketiga kalinya ia menghubungi Galan, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara operator yang menyapa telinganya."Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."Nayla melempar ponselnya ke sofa. Matanya menatap hampa ke arah jendela yang basah oleh tetesan air. Pesan Galan tadi sore terasa janggal."Maaf, aku harus lembur malam ini. Jangan tunggu aku pulang."Entah mengapa, sesuatu terasa tidak beres. Lima tahun bersama Galan membuat Nayla hafal dengan kebiasaannya. Galan selalu mengabari jika ada perubahan jadwal, selalu menjawab teleponnya meski di tengah rapat penting. Tapi kali ini..."Tidak." Nayla menggeleng, menolak pikiran buruk yang mulai menggerogoti benaknya. "Aku harus memastikannya sendiri."Dengan gerakan cepat, Nayla menyambar jaket dan kunci mobilnya. Ia ingat minggu lalu Galan menyebut akan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 40

    Nama "Alya" mengambang di udara seperti racun yang perlahan meresap. Bukan sekadar nama, melainkan simbol dari segala yang tidak Nayla miliki, segala yang kini Galan rindukan.Malam itu, di ruang makan yang dulu penuh tawa, Galan berbicara dengan cara yang asing. Suaranya terdengar seperti mesin yang berkarat—tanpa emosi, tanpa kehangatan."Alya itu tahu cara bersikap profesional," katanya, sambil menyesap kopi yang Nayla siapkan. Kopi yang dulu selalu ia puji, kini hanya sekadar minuman.Nayla mengamati. Bukan dengan amarah, melainkan dengan ketajaman seorang arkeolog yang membaca sejarah dari serpihan terkecil."Dia paham dunia bisnis," lanjut Galan, tanpa menyadari bagaimana setiap kata adalah pisau yang mencoba membelah harga diri Nayla. "Tidak seperti..."Kalimat itu tak perlu diselesaikan. Nayla tahu kelanjutannya. Tidak seperti aku.Dulu, mereka adalah tim. Ia selalu menjadi mata kedua Galan—membaca laporan, membe

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 39

    Kenangan bersama mereka adalah seperti album foto usang—setiap lembar memperlihatkan momen di mana mereka pernah menjadi satu, utuh, tak terpisahkan. Dulu, meja kerja mereka adalah markas perang kecil—tempat di mana mimpi diukir bersama, di mana setiap tantangan dijinakkan dengan tangan saling bertautan.Kini, meja itu terbelah. Bukan secara fisik, melainkan oleh jarak yang tak terlihat namun terasa.Nayla membaca laporan keuangan dengan teliti. Kebiasaan lama—saat dulu ia selalu menjadi mata kedua Galan, melihat detail yang mungkin terlewat. Ia menemukan beberapa catatan yang bisa menghemat pengeluaran, membuat alur bisnis lebih efisien."Menurutku, kita bisa menggeser alokasi dana di sini," katanya, menunjuk salah satu baris. Suaranya lembut, seperti dulu—penuh perhatian, tanpa maksud menyalahkan.Galan mendongak. Tatapannya berbeda. Bukan lagi tatapan rekan yang saling percaya, melainkan mata seorang asing yang tak ingin digangg

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 38

    Layar televisi berkedip-kedip seperti memantulkan mimpi yang hancur. Cahaya studio malam itu membelah ruangan, memperlihatkan fragmen kehidupan yang tak lagi miliknya.Galan berdiri di sana—sosoknya tegak dalam balutan jas hitam yang dipilihnya dengan teliti. Bukan Galan miliknya dulu. Ini Galan versi baru: percaya diri, mengkilat, seperti patung yang dipahat dari ambisi murni. Di sampingnya, Alya—wanita yang kini mengisi ruang kosong yang pernah Nayla tempati.Mereka tertawa.Bukan sekadar tertawa. Ini adalah percakapan rahasia yang diungkapkan lewat senyum. Sepotong intimasi yang terlihat oleh jutaan pasang mata, namun hanya mereka berdua yang benar-benar memahami maknanya.Nayla mematikan suara televisi. Bukan karena tak ingin mendengar. Ia ingin setiap detail terukir dalam memori—bukan sebagai luka, melainkan sebagai bukti transformasi.Tatapan mereka—oh, tatapan itu. Sebuah bahasa tanpa kata yang berbicara lebih keras d

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status