Beranda / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 4 – Rintangan Awal, Cinta Tetap Bertahan

Share

Bab 4 – Rintangan Awal, Cinta Tetap Bertahan

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 08:29:29

Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang Nayla kira.

Bukan karena waktu bergerak lebih cepat, tapi karena segala sesuatu terasa seperti perlombaan—berlari dari pagi ke malam, dari harapan ke kecewa, dari tawa ke diam. Dan di tengah perlombaan itu, Nayla dan Galan bertahan sebisa mungkin.

Setelah pertemuan pertama dengan calon investor yang memberi secercah harapan, Galan mulai tenggelam dalam ritme baru. Ia sibuk menyesuaikan proposal, mengatur jadwal meeting, menghadiri presentasi, bahkan belajar dari nol bagaimana membuat business plan yang sesuai standar pasar.

“Nay, aku pulang duluan ya,” ujar Galan pada suatu pagi sambil meneguk kopi instan. “Ada meeting dadakan jam sepuluh.”

“Kamu belum makan apa-apa.”

“Nggak apa-apa. Nanti beli gorengan di jalan,” jawab Galan cepat sambil menyambar tas kerja lusuhnya.

Nayla hanya bisa menghela napas. Ia tahu ini bagian dari perjuangan. Tapi sejak kapan perjuangan membuat seseorang terlihat begitu jauh?

**

Siang itu, Nayla berdiri di balik meja kasir sebuah kedai kopi kecil. Ia mengenakan seragam hitam dengan celemek abu-abu, rambut diikat rapi, dan tangan kiri dibalut perban tipis. Hari sebelumnya, ia terkena cipratan minyak panas saat membuat pesanan pelanggan.

“Pesanan untuk Denny—Americano panas dan croissant,” seru Nayla, berusaha tersenyum meski tubuhnya lelah.

Jam kerja paruh waktu sebagai barista bukan pekerjaan impiannya, tapi Nayla menerima tawaran itu tanpa pikir panjang. Mereka butuh tambahan penghasilan. Uang dari Galan tak menentu, dan kos serta makan tetap harus dibayar.

Ia bekerja enam hari dalam seminggu. Gaji yang didapat hanya cukup untuk menambal kebutuhan pokok. Tapi ia tak pernah mengeluh, setidaknya tidak di depan Galan.

**

Malam itu, hujan turun deras. Nayla pulang dengan jaket tipis dan sepatu yang sudah basah kuyup. Di dalam kamar kos, lampu temaram menyambutnya. Galan duduk di depan laptop, wajahnya tegang.

“Maaf, aku pulang telat,” kata Nayla sambil mengganti baju basahnya.

Galan menoleh sebentar. “Nggak apa-apa. Aku juga baru sampai.”

Nayla memperhatikan meja penuh kertas dan buku catatan. Di antara semua itu, ada dua bungkus mie instan dan telur.

“Kamu masak?”

“Iya. Aku tahu kamu pasti capek,” jawab Galan sambil tersenyum.

Mereka makan dalam diam, hanya diiringi suara hujan yang menari di atap seng. Setelah selesai, Nayla mencuci piring, lalu duduk di samping Galan.

“Gimana hasil meeting hari ini?” tanyanya pelan.

Galan menghela napas panjang. “Ditolak lagi.”

“Oh…”

“Mereka bilang idenya bagus, tapi aku terlalu muda dan belum punya pengalaman. Mereka ragu.”

Nayla meraih tangan Galan dan menggenggamnya erat. “Itu bukan akhir. Besok, kamu coba lagi.”

Galan menatap tangan Nayla. Ada lecet di sana. Beberapa kulit terkelupas. “Tanganmu kenapa?”

“Ah, ini… kena minyak panas tadi. Nggak parah.”

“Kamu harus hati-hati,” bisik Galan. Lalu ia menghela napas. “Apa kamu lelah?”

Nayla menoleh, menatap matanya. “Capek, iya. Tapi menyerah? Tidak.”

Galan diam. Lalu ia menarik Nayla ke pelukannya. “Kamu tahu... kamu satu-satunya alasan aku belum menyerah.”

Pelukan itu hangat, tapi juga terasa rapuh.

**

Beberapa minggu berlalu. Jadwal Galan semakin tak teratur. Kadang ia pulang menjelang tengah malam. Kadang bahkan tak sempat memberi kabar. Ia bilang sedang mengejar investor baru, mencari mitra, memperluas jaringan. Nayla mendengarkan semua itu, mencoba mengerti, mencoba tetap menjadi tiang penyangga yang tidak retak.

Tapi perlahan-lahan, rasa lelah mulai menyusup di antara ruang-ruang hatinya.

Bukan karena pekerjaan. Bukan karena tubuh yang lelah berdiri delapan jam sehari. Tapi karena satu hal yang tak lagi ia rasakan: kebersamaan.

Galan mulai seperti bayangan. Ia hadir, tapi tak sepenuhnya. Ia bicara, tapi selalu tentang pekerjaan. Ia mencium kening Nayla setiap pagi, tapi matanya sudah sibuk memikirkan hal lain.

Suatu malam, Nayla terbangun karena mendengar suara ketikan keyboard. Galan masih bekerja, matanya sayu, rambut acak-acakan.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

“Belum. Deadline pitch deck besok pagi.”

Nayla berjalan ke arahnya, membawa segelas air hangat. Ia meletakkannya di meja, lalu berdiri di samping Galan.

“Kapan terakhir kali kita bicara tanpa menyebut kata ‘proposal’ atau ‘investor’?” tanyanya pelan.

Galan berhenti mengetik, lalu menatapnya. “Nay… Aku tahu kamu lelah. Aku juga. Tapi ini semua demi kita.”

“Aku tahu.” Nayla tersenyum kecil. “Tapi kadang aku cuma ingin dengar kamu bilang, ‘aku rindu kamu’, tanpa embel-embel kerja.”

Galan terdiam. Lama.

Akhirnya ia berdiri, memeluk Nayla dari belakang. “Aku rindu kamu. Dan aku minta maaf… Aku terlalu tenggelam dalam ambisi.”

“Aku bangga kamu punya ambisi,” bisik Nayla. “Tapi jangan biarkan ambisi itu membuatku merasa sendirian.”

**

Esoknya, Galan menulis pesan di kertas kecil dan menyelipkannya di dompet Nayla:

"Hari ini, aku ingin kamu tahu: kamu lebih penting dari semua mimpi yang sedang kuperjuangkan. Maaf jika aku lupa mengatakan itu."

Nayla menemukannya saat istirahat makan siang. Matanya basah seketika, tapi senyumnya merekah.

Itu bukan akhir dari kelelahan. Tapi setidaknya, mereka kembali berjalan berdampingan.

Dan Nayla tahu, cinta yang bertahan bukan karena segalanya mudah, tapi karena mereka memilih untuk tetap saling menggenggam, bahkan saat dunia mencoba menarik mereka ke arah yang berbeda.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 177

    Galan terbangun lebih pagi dari biasanya. Tanpa alarm, tanpa mimpi—hanya perasaan kosong yang entah bagaimana terasa berat. Seperti tubuhnya tahu, hari ini bukan hari biasa. Hari ini bisa menjadi titik balik... atau titik hancur.Ia menatap langit-langit kamar apartemennya yang temaram. Jakarta masih setengah tertidur, tapi suara klakson dan deru kendaraan mulai merambat dari kejauhan.Hari pengumuman.Ada rasa mual di perutnya—bukan karena sakit, tapi karena campuran gugup, harapan, dan ketakutan yang diam-diam menggerogoti selama berminggu-minggu. Semua dokumen sudah dikirim. Semua presentasi sudah dilakukan. Semua pertanyaan sudah dijawab.Yang tersisa sekarang hanyalah… menunggu.Sebuah pesan masuk di ponselnya. Dari Dina.“Pak, pihak Nordic sudah konfirmasi. Pengumuman jam 10 pagi, tempatnya masih di hotel yang sama. Mobil siap kapan saja.”Galan membalas cepat.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 176

    Galan memandangi layar laptopnya dengan perasaan campur aduk. Sebuah email dari David Chen baru saja masuk—pendek, tapi mengandung dampak besar."Pak Pratama, Nordic Education Solutions akan melakukan background assessment terhadap semua calon mitra potensial. Tim due diligence kami akan meninjau rekam jejak perusahaan, reputasi manajemen, dan stabilitas organisasi dalam minggu ini. Mohon siapkan dokumen yang diperlukan."Background assessment. Kalimat yang terdengar profesional dan biasa saja, namun bagi Galan, itu seperti pemeriksaan yang menakutkan. Ia tahu betul apa yang mungkin akan terungkap jika mereka menggali lebih dalam tentang dirinya.Dina masuk ke ruangannya dengan setumpuk dokumen dan ekspresi wajah yang ragu."Pak, ini dokumen yang diminta Nordic untuk assessment. Tapi...""Tapi apa, Din?""Ada beberapa hal yang mungkin perlu kita antisipasi."Galan menarik napas panjang. "Skandal tahun lalu?""Iya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 175

    Galan merapikan dasi sutranya untuk ketiga kalinya dalam lima menit. Hari ini adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu selama berminggu-minggu—pertemuan penting dengan Nordic Education Solutions, perusahaan multinasional asal Denmark yang tertarik mengekspansi pasar pendidikan Asia Tenggara.Nilai kontraknya mencapai 12 juta dolar. Hak distribusi eksklusif untuk seluruh Indonesia. Sebuah kemitraan jangka panjang yang bisa mengubah arah masa depan perusahaannya."Pak, delegasi dari Nordic sudah tiba di lobi," lapor Dina melalui interkom."Saya turun sekarang."Galan menarik napas panjang. Ini bukan sekadar soal satu kontrak. Ini soal kelangsungan hidup perusahaan. Soal pembuktian bahwa perusahaannya masih relevan di industri yang berubah begitu cepat.Ia sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat teliti—analisis pasar, proyeksi keuangan, keunggulan kompetitif, hingga timeline implementasi. Presentasi yang ia yakini akan mengesankan dan menyeluruh.Di lobi Hotel Grand Hyatt, Galan menyam

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 174

    Galan menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di sana, terpampang sebuah email dari PT Surya Pendidikan—klien yang telah bekerja sama dengannya selama empat tahun terakhir. Isi email itu seperti pisau tumpul yang perlahan tapi pasti menyayat hatinya."Dengan berat hati kami informasikan bahwa per tanggal 1 November, PT Surya Pendidikan akan mengakhiri kontrak distribusi dengan perusahaan Anda. Kami telah menemukan solusi logistik yang lebih sesuai dengan kebutuhan operasional kami yang berkembang. Terima kasih atas kerja sama yang baik selama ini."Empat tahun. Empat tahun membangun kepercayaan, mengoptimalkan rantai pasok, menyelesaikan krisis demi krisis bersama. Kini, semuanya berakhir dalam satu paragraf.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar. Dina masuk, wajahnya tampak gelisah."Pak... ada beberapa email lagi yang perlu Bapak baca."Galan menghela napas. "Berapa lagi?""Tiga. Dari PT Mitra Edukatif, CV Belajar Mandiri, dan..." Dina terdiam sejenak, ragu."Dan?"

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 173

    Ruang rapat di lantai tiga puluh kantor pusat Galan terasa lebih sesak dari biasanya. Bias cahaya dari jendela kaca besar tak mampu mengurangi suasana yang menekan. Meja kayu mahoni yang dulu jadi saksi presentasi penuh optimisme, kini hanya dipenuhi berkas-berkas berisi kabar buruk.Enam kursi kulit mengelilingi meja, masing-masing diduduki direktur yang wajahnya mencerminkan kekhawatiran serupa.Galan duduk di ujung meja, matanya mengamati satu per satu wajah yang sudah bertahun-tahun membantunya membangun imperium ini. Di sana ada Hendrik, Direktur Keuangan, yang biasanya kalem tapi kini gelisah sambil membolak-balik laporan. Sandra, Direktur Operasional, menggenggam bolpoin begitu erat sampai buku jarinya memutih. Rizki, Direktur Marketing, menatap kosong ke arah langit Jakarta yang mendung dari balik kaca."Terima kasih sudah datang dengan cepat," buka Galan. Suaranya berat, nyaris berbisik. "Kalian semua pasti sudah tahu kenapa kita ada di sini."Hendrik menegakkan tubuhnya. "Si

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 172

    Galan masih terpaku di kursi kerjanya, menatap layar ponsel yang sudah tiga hari tak berubah—pesan untuk Nayla masih centang dua, tapi tetap tanpa balasan. Sunyi. Seolah jawaban itu tak akan pernah datang.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Dina masuk dengan raut wajah lebih pucat dari biasanya, menggenggam tablet yang sudah terbuka pada halaman berita bisnis."Pak... ada berita yang Bapak harus lihat."Galan menatapnya dengan firasat yang tak lagi asing—rasa was-was yang akhir-akhir ini setia menemaninya."Berita apa, Din?"Dina mendekat dan meletakkan tablet di mejanya, seolah benda itu bisa meledak jika tidak ditangani hati-hati."TokoBelajar.com baru saja mengumumkan kerja sama eksklusif dengan Bright Future Learning."Dunia Galan seakan runtuh—untuk kedua kalinya dalam seminggu. TokoBelajar.com adalah platform e-commerce edukasi terbesar di Indonesia. Selama tiga tahun terakhir, merekalah tulang punggung distribusi digital produknya. Enam puluh persen pendapatan perus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status