Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.
Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.
Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.
“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.
Di sudut ruangan yang lain, Galan tertidur dengan laptop di pangkuan. Slide presentasi masih terbuka, tampilan Excel penuh grafik dan angka. Kepalanya miring ke kanan, bibirnya sedikit terbuka. Sesekali ia menggumam tak jelas, mungkin tentang pitch deck, investor, atau deadline yang terus membayang.
Nayla memandanginya lama.
Laki-laki itu selalu tampak sibuk sekarang. Pulang larut malam. Kadang lupa makan. Dan meski tubuhnya ada di kamar yang sama, Nayla merasa ia harus menjangkau lebih jauh untuk sekadar menyentuh pikirannya.
Ia beringsut pelan, mengambil selimut tipis dari ujung ranjang, lalu menyelimutkan tubuh Galan. Ia menyingkirkan laptopnya pelan-pelan, takut membangunkannya. Tangannya bahkan sempat berhenti di atas keyboard, sekadar membaca judul presentasi: "Vivara – Digitalisasi UMKM Menuju Masa Depan".
Senyum tipis muncul di wajah Nayla.
"Aku yang bekerja, kamu yang bermimpi. Tapi tak apa... asal kita jalan bareng," bisiknya, nyaris tak terdengar.
**
Pagi belum datang saat Nayla bangun. Alarmnya berbunyi pukul 04.45, dan tanpa banyak berpikir, ia langsung menggulung rambut, mencuci muka, lalu membuka buku matematika untuk menyiapkan materi les privat pagi ini. Hari ini ia akan mengajar anak SMP yang akan menghadapi ujian akhir. Anak itu cerdas, tapi sulit fokus. Nayla harus menyiapkan cara belajar yang menyenangkan.
Setelah selesai menyusun soal latihan, ia bergegas menyiapkan sarapan. Tak banyak—hanya nasi goreng sederhana dari sisa nasi semalam dan dua telur mata sapi.
“Kalau nggak ada telur, Galan bisa pusing,” katanya sendiri sambil memasak.
Setelah sarapan selesai, ia menuangkan air panas ke dalam termos dan meletakkannya di samping gelas kopi instan kesukaan Galan. Lalu, ia menyelipkan catatan kecil di sebelah gelas:
"Good luck pitching hari ini. Kamu pasti bisa. Jangan lupa sarapan, ya! – N"
Setelah itu, Nayla keluar dari kamar, mengunci pintu pelan-pelan, dan berjalan cepat ke tempat les.
**
Hari berlalu tanpa jeda. Dari les privat pagi hingga siang, Nayla langsung ke warung kecil tempat ia biasa bantu-bantu di jam makan siang. Ia mencatat pesanan, mencuci piring, bahkan membantu ibu pemilik warung memasak.
“Nayla, kamu ini hebat ya... muda, cantik, kerja keras. Calon istri siapa sih kamu?” canda si ibu warung sambil menumis.
Nayla hanya tertawa kecil. “Calon istri pengusaha sukses, Bu. Tapi masih berjuang dari nol.”
“Wah, cocok! Kamu memang tipe wanita seribu peran!”
Ucapan itu membuat Nayla terdiam sejenak. Seribu peran. Ya. Ia merasa seperti memegang semuanya—jadi guru, penjahit, pembantu warung, sekretaris tidak resmi, sekaligus kekasih dan pendukung utama seseorang yang tengah mengejar impiannya.
Tapi di balik semua itu, kadang ia ingin... jadi hanya satu: pasangan yang dicintai sepenuhnya.
**
Sore hari, hujan turun mendadak. Nayla berlari kecil menembus gerimis dengan bungkusan makanan di tangannya. Ia membeli nasi padang untuk Galan—makanan favoritnya kalau sedang stres. Beberapa kali sebelumnya, Galan bilang nasi padang bisa bikin pikirannya “lebih tajam”.
Saat sampai di kamar, ia mendapati pintu tidak terkunci.
“Galan?” panggilnya pelan.
Tidak ada sahutan. Tapi suara air mengalir dari kamar mandi. Laptop Galan menyala di meja, dan di layar, sebuah panggilan Zoom masih aktif, meski tanpa suara. Terdapat rekaman presentasi tadi siang. Galan tampak percaya diri, berbicara dengan seseorang yang Nayla belum pernah lihat sebelumnya.
Di layar, seseorang tertawa. Seorang wanita dengan blazer krem dan wajah penuh riasan profesional.
“Oh, Clara...” desis Nayla, mengenali wajah itu.
Ia memalingkan wajah, meletakkan bungkusan nasi padang di atas meja, lalu duduk di lantai. Ia mengganti bajunya dengan kaus lusuh, kemudian diam menatap ke luar jendela.
Hujan belum reda. Tapi di dalam dadanya, badai sudah mulai membesar.
**
Malamnya, Galan pulang. Segar, wangi, dan terlihat senang.
“Pitching-nya lancar?” tanya Nayla sambil menyiapkan air hangat untuk Galan.
“Banget! Clara bilang mereka akan bahas internal dan mungkin minggu depan sudah ada keputusan. Doain ya!”
“Pasti aku doain,” jawab Nayla lembut.
“Dan ini...” Galan mengeluarkan kotak kecil. “Bonus dari Clara. Produk skincare dari perusahaan rekanannya. Katanya kamu pasti suka.”
Nayla membuka kotak itu. Isinya cantik, mahal. Tapi di hatinya, ada rasa getir.
Dulu kamu selalu kasih aku sesuatu dari hasil keringat sendiri. Sekarang… kenapa yang kamu bawa adalah pemberian orang lain?
Namun ia tersenyum, tetap menjaga wajahnya tetap hangat. “Makasih. Aku suka.”
Galan memeluknya sekilas. “Kamu pahlawan, Nay. Aku nggak akan sampai sini tanpa kamu.”
Dan itu lagi-lagi cukup bagi Nayla—cukup untuk membuatnya bertahan semalam lagi.
**
Beberapa hari kemudian, Nayla berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya yang kusut. Di meja, tumpukan seragam baru harus dijahit, lembar latihan harus dikoreksi, dan galon air yang ia ganti dua hari lalu sudah hampir habis lagi.
Ia menatap dirinya sendiri.
Wajahnya sedikit pucat. Lingkaran hitam di bawah mata semakin jelas. Tapi ia tetap tegak.
Wanita seribu peran.
Penopang rumah tangga yang belum resmi menjadi rumah tangga.
Bayangan dalam cahaya kesuksesan lelaki yang ia cintai.
**
Tapi suatu hari, akan datang saat di mana ia bertanya:
Apakah aku masih bagian dari mimpi itu? Atau aku hanya anak tangga yang akan dilewati saat impian itu mulai menggapai awan?
“Apa yang sebenarnya ada di basement itu?” tanya Nayla langsung kepada Marcus Chen lewat sambungan telepon aman yang diatur oleh Agent Sarah.“Saya tidak bisa memastikan sekarang,” jawab Marcus dengan suara hati-hati. “Tapi waktu saya masih terlibat dalam perencanaan dua tahun lalu, Kozlov merancang beberapa tingkat bawah tanah untuk ‘fasilitas penyimpanan khusus’. Dia sangat tertutup soal itu—bahkan kepada mitra bisnis terdekatnya.”“Penyimpanan untuk apa?”“Secara resmi, dokumen sensitif dan sistem cadangan keamanan. Tapi ada desas-desus di kalangan pekerja konstruksi tentang ruangan-ruangan yang didesain menyerupai... semacam fasilitas penahanan yang sangat aman.”Dada Nayla bergetar oleh rasa dingin yang familiar. “Fasilitas penahanan? Untuk siapa?”“Saya tidak tahu pasti. Bisa saja untuk saksi yang bekerja sama dengan pihak berwenang dan perlu perlindungan. Atau bisa juga...” Marcus berhenti sejenak.“Bisa juga apa?” desak Nayla.“Atau bisa juga tempat untuk menahan orang-orang y
Nayla menatap foto training center yang dikirim Viktor Kozlov dengan perasaan campur aduk. Dari luar, kompleks itu terlihat seperti universitas bergengsi: gedung-gedung modern, fasilitas lengkap, taman yang rapi. Tapi pagar tinggi dan peralatan keamanan yang ketat membuatnya terasa lebih seperti markas militer ketimbang lembaga pendidikan.“Alternative proposal…” gumam Nayla sambil memperbesar foto. “Apa maksudnya dia dengan itu?”Arvino, yang terbangun karena suara notifikasi, duduk di samping Nayla di tempat tidur hotel. Ia ikut melihat pesan itu.“Dia sedang berjaga-jaga,” kata Arvino tenang. “Kalau kemitraan resmi dengan pengawasan PBB terasa terlalu mengekang, dia sudah siapkan rencana cadangan: tetap memberikan kamu sumber daya, tapi dengan fleksibilitas lebih besar—dan mungkin, kendali lebih banyak untuk dirinya.”“Jadi bisa jadi peluang… atau jebakan.”“Persis. Dan fakta bahwa dia menghubungi kamu diam-diam jam tiga pagi menunjukkan satu hal: dia ingin melompati jalur resmi, m
“Orang tua saya hilang?” suara Nayla tercekat. Dunia seolah berputar. “Sejak kapan? Bagaimana bisa—”“Bu Kusuma, mohon tetap tenang,” jawab Detektif Rahman di ujung telepon. “Kami sedang melakukan segala upaya untuk mencari mereka. Tapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”“Apa maksudnya?”“Safe house tempat orang tua Anda tinggal… tidak ada tanda-tanda penyerangan atau kekerasan. Sepertinya mereka pergi secara sukarela bersama seseorang yang mereka kenal.”Agen Sarah segera mengambil alih percakapan. “Detektif Rahman, saya Sarah dari Interpol. Apakah ada rekaman CCTV atau saksi mata?”“Ada. Rekaman menunjukkan Tuan dan Nyonya Mahardika meninggalkan lokasi bersama seorang perempuan muda. Mereka terlihat tenang, tidak dipaksa.”“Perempuan muda?” Nayla mengernyit, bingung. “Siapa yang mereka kenal sampai mau ikut begitu saja—”Belum sempat ia melanjutkan, teleponnya kembali berdering. Nomor tak dikenal.Nayla mengangkatnya hati-hati. “Halo? Ini Nayla Kusuma.”“Nayla, ini Ibu.” Suara ib
“Tidak akan datang sendirian,” ucap Nayla dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar. “Itu bukan negosiasi. Itu jebakan.”“Bu Kusuma,” kata Agen Sarah hati-hati, “jika Anda menolak syaratnya, pertemuan mungkin tidak akan terjadi sama sekali.”“Kalau begitu biarlah tidak terjadi. Tapi saya tidak akan masuk ke situasi terisolasi dengan seorang pemimpin kriminal internasional yang punya alasan khusus untuk menyingkirkan saya.”“Bagaimana kalau kita cari jalan tengah?” tanya Arvino. “Anda tetap bertemu dengannya, tapi tim keamanan siaga di dekat lokasi. Tidak di dalam ruangan, tapi cukup dekat untuk merespons cepat bila sesuatu terjadi.”“Dan kalau dia menolak?”“Kalau begitu kita tahu sejak awal dia memang merencanakan sesuatu yang jahat.”Agen Sarah berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya itu masuk akal. Kita bisa usulkan pertemuan yang dimodifikasi: di tempat publik, dengan perimeter keamanan, tapi hanya Anda dan Kozlov yang masuk ke ruang percakapan.”“Tem
"Detektif Rahman, apa yang terjadi dengan orangtua saya?" tanya Nayla, suaranya tenang tapi sarat dengan kekhawatiran."Bu Kusuma, dalam 24 jam terakhir ada beberapa kejadian mencurigakan di sekitar rumah orangtua Anda. Ada kendaraan asing yang parkir terlalu lama, juga orang-orang yang bertanya-tanya kepada tetangga tentang keluarga Mahardika."Dada Nayla terasa dicekam dingin. "Apakah orangtua saya aman sekarang?""Mereka sudah kami pindahkan ke lokasi aman sementara. Tapi ada hal penting yang perlu kita bahas. Pola pengintaian ini sangat mirip dengan kasus lain yang terkait jaringan kriminal internasional.""Maksud Anda... Viktor Kozlov sudah mulai mengincar keluarga saya?""Besarnya kemungkinan begitu. Dan ini mengubah sepenuhnya penilaian risiko dari strategi yang Anda rencanakan."Agent Sarah, yang mendengar percakapan itu, langsung berkoordinasi dengan pihak berwenang di Indonesia melalui jalur komunikasi aman."Nayla," kata Arvino dengan nada lembut tapi tegas, "ini mengubah s
“Target utama itu punya nama,” kata Agen Sarah sambil membuka sebuah berkas rahasia di dalam mobil pengaman yang membawa mereka meninggalkan gedung Parlemen. “Viktor Kozlov. Seorang pengusaha asal Rusia dengan koneksi ke pejabat pemerintah, kelompok kriminal terorganisir, dan korporasi sah di dua belas negara.”“Dan dia baru saja menjadikan menyingkirkanku sebagai prioritas pribadinya?” tanya Nayla, berusaha mencerna informasi itu.“Menurut komunikasi yang berhasil kami sadap, benar. Kesaksianmu memicu penggerebekan serentak di banyak negara. Jaringannya kehilangan aset senilai sekitar 200 juta dolar dan lima puluh orang pentingnya hanya dalam enam jam terakhir.”Arvino, yang duduk di samping Nayla, meraih tangannya erat. “Sebenarnya sumber daya apa saja yang dia punya untuk melaksanakan ancaman itu?”“Luar biasa banyak,” jawab Sarah serius. “Perusahaan keamanan pribadi, tim hukum di berbagai yurisdiksi, dan sayangnya—rekam jejak panjang dalam menekan jurnalis maupun aktivis.”“Tekana