Pagi Jakarta yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk lalu lintas terasa berbeda hari ini bagi Galan. Melalui jendela lantai 25 kantornya, ia melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, tapi pandangannya kosong, pikirannya masih terjebak dalam percakapan semalam di taman Hotel Mulia."Aku akan memastikan itu tidak pernah terjadi."Kata-kata Nayla terus bergema dalam kepalanya seperti alarm yang tidak bisa dimatikan.Smartphone-nya bergetar di atas meja kaca. Notifikasi dari berbagai aplikasi berita bisnis mulai berdatangan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Galan membuka ponselnya."BREAKING: Mahardika Group Eksplorasi Kemitraan Strategis dengan Sektor Logistik"Jantungnya berdegup kencang saat ia mengklik artikel tersebut.Nayla duduk di kepala meja konferensi, mengenakan blazer putih yang crisp dan celana hitam high-waisted. Rambut panjangnya ditata dalam low bun yang professional, memberikan kesan authoritative namun tetap feminine. Di hadapannya, lima eksekutif senior Mahard
Udara malam Jakarta terasa lembap dan berat, membawa aroma bunga melati yang ditanam di sepanjang jalan setapak taman. Lampu-lampu LED tersembunyi di antara semak-semak memberikan cahaya lembut yang menciptakan bayangan dramatis di antara pohon-pohon palm dan ficus yang rimbun.Galan berjalan cepat melintasi corridor hotel menuju taman belakang, langkah-langkahnya bergema di lantai marmer yang kosong. Napasnya sedikit terengah-engah, bukan karena jarak yang ditempuh, tapi karena adrenalin yang mengalir sejak percakapan di meja makan tadi.Ia melihat siluet Nayla berdiri di dekat air mancur marmer di tengah taman, punggungnya menghadap pintu masuk. Gaun navy blue-nya kontras dengan cahaya putih yang dipantulkan air mancur, menciptakan efek yang hampir ethereal. Tangan kanannya memegang clutch kecil berwarna emas, tangan kirinya bermain-main dengan gelang berlian di pergelangan tangannya."Nayla."Suaranya memecah keheningan taman yang hanya dipenuhi suara gemercik air dan cicak tokek d
Lampu kristal chandelier memancarkan cahaya hangat ke atas meja bundar yang dihias dengan bunga anggrek putih dan peralatan makan perak. Ruang makan pribadi ini—The Emerald Suite—biasanya disediakan untuk pertemuan bisnis kelas atas atau jamuan diplomatik. Malam ini, ia menjadi arena untuk perang sosial yang diatur dengan hati-hati.Galan duduk dengan postur yang sengaja terkontrol, tangan kirinya bersandar di atas serbet linen, tangan kanannya sesekali mengangkat gelas wine dengan gerakan yang sedikit terlalu hati-hati. Di sampingnya, Alya telah kembali setelah kepergian dramatis dua minggu lalu—tapi kepulangannya datang dengan syarat dan konsekuensi yang belum sepenuhnya terungkap.Di seberang mereka, Nayla Mahardika duduk dengan keanggunan sempurna, gaun biru navy-nya canggih tapi sederhana, gelang berlian di pergelangan tangannya menangkap cahaya setiap kali ia bergerak. Di sebelahnya, Armand Mahardika dalam setelan abu-abu arang yang jelas dibuat khusus, memancarkan otoritas tena
Galan duduk sendirian di Meja 3, menatap kosong ke arah gelas wine-nya yang sudah setengah kosong. Kursi di sampingnya—tempat Alya tadi duduk—terasa begitu kosong, pengingat dingin dari percakapan yang baru saja menghancurkan dunia yang telah ia bangun dengan hati-hati."Dia orangnya, kan? Orang yang membuatmu menjadi seperti sekarang ini."Kata-kata Alya bergema dalam kepalanya, tajam dan menyakitkan karena benar-benar tepat.Di sekelilingnya, gala dinner berlanjut dengan ritme yang normal. Tawa, dentingan gelas, percakapan canggih tentang tren pasar dan peluang investasi. Tapi untuk Galan, semuanya terasa teredam, jauh, seperti ia menyaksikan segala sesuatu dari balik kaca tebal.Dari Meja 1, Nayla terlihat sangat nyaman dalam elemennya. Ia terlibat dalam percakapan animasi dengan Pak Susilo Wijaya dan Ibu Mira Tandean, Ketua dari konglomerat ritel terbesar Indonesia. Tawa sesekali dari meja mereka terdengar sangat jelas, percaya diri, menguasai.Nayla tidak melihat ke arahnya lagi
Crystal chandeliers memancarkan cahaya emas ke seluruh ballroom yang megah. Lebih dari 500 tamu undangan—para CEO, investor, pejabat pemerintah, dan tokoh bisnis paling berpengaruh di Indonesia—duduk di meja-meja bundar yang dihias dengan bunga mawar putih dan perak.Galan Prasetyo duduk di Meja 3, salah satu meja terdekat dengan podium utama—sebuah recognition atas status GalanCorp sebagai rising star di dunia bisnis Indonesia. Di sampingnya, Alya Sari, kekasihnya selama dua tahun terakhir, tampil memukau dalam gaun hitam off-shoulder yang elegant."Kau terlihat tegang," bisik Alya sambil menyentuh lengan Galan lembut. "Everything okay?"Galan menggeleng pelan, mencoba focus pada menu course ketiga yang baru disajikan. Tapi pikirannya terus melayang ke pertemuan dengan Nayla kemarin. Ada sesuatu tentang confidence-nya, cara ia berbicara, cara seluruh ruangan konferensi seem to revolve around her presence..."Ladies and gentlemen," suara Master of Ceremony bergema melalui sound system
Malam itu, Nayla duduk di ruang kerjanya yang berada di lantai 45 gedung pencakar langit. Lampu kota Jakarta berkelap-kelip di bawahnya seperti permata yang tersebar, namun perhatiannya sepenuhnya tertuju pada papan koneksi dan diagram bisnis yang perlahan tersusun di depannya.Whiteboard berukuran besar itu kini dipenuhi nama-nama perusahaan, panah-panah yang menunjukkan alur bisnis, dan foto-foto eksekutif. Di tengah-tengahnya, logo GalanCorp terpampang dengan lingkaran merah tebal di sekelilingnya.Satu per satu, nama perusahaan yang terkait dengan GalanCorp mulai dilingkari dengan spidol biru."Kita mulai dari pemasok logistik," kata Nayla sambil menunjuk PT Sentosa Cargo yang berada di posisi strategis dalam supply chain GalanCorp. "Lalu akuisisi kecil di sektor pendukung..."Diana Sari, asisten kepercayaannya yang sudah bekerja dengannya sejak New York, duduk di sofa dengan laptop terbuka dan segelas kopi yang masih mengepul. Wanita berusia 30-an itu sudah terbiasa dengan jam ke