Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

Share

Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-08 08:29:59

Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.

Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.

“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.

Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.

“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.

Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”

“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bisnis baru.”

“Siapa?” tanya Nayla sambil membereskan piring.

“Namanya Alya. Dia orangnya pintar banget, Nay. Percaya diri, punya koneksi ke beberapa investor gede. Katanya dia bakal bantu buka jalan biar ide startup-ku bisa dilirik.”

Alya.

Satu kata yang terdengar manis di mulut Galan, tapi tajam menusuk ke telinga Nayla. Terlalu tajam.

Ia menoleh, menampilkan senyum kecil yang dilatih bertahun-tahun. “Kalau itu bisa bantu kamu berkembang, aku dukung.”

Tapi jauh di balik senyuman itu, hatinya goyah.

Ia mengenal Galan. Ia tahu betapa mudahnya lelaki itu terpukau pada hal-hal yang baru, berkilau, dan menjanjikan. Dan kini, satu nama baru telah masuk ke dalam dunianya—dan Nayla tak yakin, apakah dirinya masih menjadi pusat dunia itu.

**

Hari-hari berikutnya, Galan semakin sering pergi. Bukan lagi ke coworking space biasa, tapi ke kafe yang lebih mahal, hotel tempat seminar, dan restoran yang tidak mungkin Nayla datangi hanya dengan uang hasil menjahit dan les privat.

“Networking,” begitu katanya setiap ditanya.

Dan Nayla selalu menjawab dengan anggukan. Meski hatinya mengencang tiap kali nama Alya disebut di sela cerita Galan. Entah kenapa, nama itu mulai sering muncul. Terlalu sering.

“Nay, tadi Alya kasih ide buat kemasan produk. Katanya harus lebih sleek biar keliatan premium.”

“Wah, Alya ngajak aku gabung ke komunitas startup yang dia kelola, loh.”

“Tadi Alya bilang, kayaknya kita bisa bikin prototype-nya lebih cepat kalau dia ikut bantu.”

Alya. Alya. Alya.

Nayla tahu, cemburu bukan hal yang elegan. Tapi rasa itu bukan tentang kecantikan Alya, atau status sosialnya. Rasa itu datang karena Nayla mulai merasa seperti orang luar dalam mimpi yang dulu mereka ciptakan bersama.

**

Malam itu, Galan pulang lebih larut dari biasanya.

Ia membuka pintu kamar kos dengan langkah ringan. Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya tidak lagi rapi, dan aroma parfum wanita samar menempel di tubuhnya. Nayla menoleh dari mesin jahit, berusaha tak memperlihatkan wajah gusarnya.

“Maaf ya, pulang telat. Tadi habis brainstorming sampai malam. Kita sampai lupa waktu,” ucap Galan, lalu menguap lebar.

“Kita?”

“Hmm? Aku, Alya, sama dua orang dari tim desain.”

“Oh.”

Galan meletakkan tasnya dan langsung mengambil air minum. “Kamu belum tidur?”

“Nunggu kamu.”

Galan tersenyum sekilas. “Maaf, ya.”

Ia lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Nayla yang duduk diam di kursi kayu. Tangannya masih di atas kain batik setengah jadi, tapi pikirannya melayang.

Ia ingat masa-masa awal perjuangan mereka. Saat makan hanya dengan kerupuk dan sambal. Saat harus mengamen kecil-kecilan demi beli kuota. Saat Galan menyerah dan ingin pulang kampung, tapi Nayla menggenggam tangannya, memeluknya, dan berkata, “Kita belum kalah.”

Dulu, impian itu milik mereka berdua. Tapi sekarang, Nayla tak yakin... apakah dirinya masih bagian dari “kita” itu?

**

Keesokan harinya, Nayla tak sengaja melihat foto yang diunggah akun komunitas startup lokal. Sebuah gambar yang menampilkan Galan berdiri di antara tiga orang lainnya—dua pria, dan satu wanita berambut panjang, mengenakan blazer putih dan senyum percaya diri.

Alya, pikir Nayla.

Komentar-komentar di bawah foto membuat hatinya tenggelam lebih dalam.

“Pasangan founder paling serasi!”

“Galan dan Alya: kombinasi yang menjanjikan.”

“Dari wajahnya aja udah kelihatan cocok!”

Tak ada yang tahu Nayla.

Tak ada yang menyebutnya.

Padahal ia yang menjahit kemeja Galan. Ia yang membayar tagihan internet agar Galan bisa pitching. Ia yang menahan lapar agar bisa beli bahan presentasi. Ia yang mengorbankan waktu, tubuh, bahkan harga dirinya, agar mimpi itu tetap hidup.

Tapi tak satu pun yang tahu.

**

Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla memberanikan diri bertanya:

“Gal, boleh aku ikut kamu besok ke acara komunitas startup itu?”

Galan menatapnya, ragu. “Hmm... kayaknya enggak perlu, Nay. Acara internal. Lagipula kamu pasti capek juga, kan?”

“Tapi aku pengen lihat... tempat kamu berkembang. Aku pengen tahu langsung dunia kamu sekarang.”

Galan diam. Lalu duduk di ujung ranjang, memijat pelipisnya.

“Nay... aku nggak mau kamu salah paham. Dunia ini keras. Aku butuh fokus. Butuh keliatan profesional. Kalau kamu ikut, aku takut kamu jadi nggak nyaman.”

“Karena aku bukan dari dunia itu?” Nayla menatapnya.

“Bukan gitu maksudku.”

Tapi Nayla tahu. Ia hanya tak cukup menarik untuk jadi wajah yang berdiri di samping Galan saat ini. Tak cukup bergengsi untuk duduk bersama para investor. Tak cukup pintar untuk dipanggil ‘partner strategis’.

Ia hanya perempuan yang menjahit malam-malam, mengantar paket di tengah hujan, dan menyetrika kemeja orang yang sekarang merasa terlalu tinggi untuk menggandengnya.

**

Di dalam hatinya, Nayla mulai berbicara dengan suara yang selama ini ia bungkam:

Apa aku masih bagian dari impian kita? Atau sekarang aku hanya jadi penonton dari mimpi yang berubah jadi milikmu sendiri?

Ia memikirkan semua pengorbanan yang pernah ia lakukan. Bukan untuk dihitung atau diungkit. Tapi untuk meyakinkan diri... bahwa cintanya bukan cinta yang biasa.

Namun yang ia terima kini hanya bayangan.

Hadir, tapi tak dipandang.

Setia, tapi tak dihargai.

Lelah, tapi tak dianggap.

Dan cinta... yang dulu menjadi bahan bakar utama impian mereka, kini seakan tinggal api kecil yang berjuang tak padam—sendirian.

**

Di tengah malam, Nayla menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Wajahnya pucat, mata sedikit sembab, dan senyum yang sudah tak utuh lagi.

Ia memeluk dirinya sendiri.

Tak berkata apa-apa.

Karena malam ini, ia mulai menyadari:

Cinta yang tulus tak seharusnya membuat seseorang kehilangan harga dirinya.

Dan ia tak akan membiarkan dirinya hancur, hanya demi bertahan di sisi seseorang yang mungkin... tak lagi melihatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 10 – Cinta yang Tertatih

    Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu

    Last Updated : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 11 – Kamar Kosong, Hati Kosong

    Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 12 – Otak di Balik Nama

    Langit pagi itu mendung. Jakarta seperti malas bangun, dan matahari enggan menampakkan diri. Tapi di kamar kos kecil yang pengap itu, Nayla sudah sibuk sejak subuh.Tangannya lincah menyetrika kemeja putih milik Galan—kemeja terbaik yang mereka punya, yang hanya dipakai kalau ada acara penting. Ia menyisir rapi lipatan lengan, lalu menyiapkan dasi hitam dan sepatu yang semalam ia bersihkan sendiri. Meski usang, Nayla ingin semuanya tampak terbaik. Hari ini penting bagi Galan. Hari ini, ia akan presentasi di inkubator bisnis kampus ternama—tempat yang bisa membuka jalan ke pendanaan besar.Di sisi lain kamar, Galan berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan satu tangan sambil melihat ke layar ponsel.“Kamu udah siapin slide-nya?” tanyanya tanpa menoleh.“Udah. Aku juga masukin semua analisis pasar dan peta kompetitor ke bagian akhir. Kalau ditanya soal revenue stream, kamu tinggal buka slide ke-17.”Galan mengangguk pelan. “Good. Nggak nyangka bisa lengkap juga, ya.”Nayla ter

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 13 – Gema di Balik Panggung

    Malam itu hujan rintik-rintik. Di kamar sempit yang lampunya mulai berkedip karena kabel usang, Nayla dan Galan duduk bersila di atas lantai beralas tikar tipis. Di depan mereka dua bungkus mie instan tersaji dalam mangkuk plastik, masih mengepul hangat. Aroma gurih sederhana mengisi ruangan, menumpuk bersama rasa lelah dan rasa lega.Galan membuka berita di ponselnya—sebuah media kampus menulis singkat soal proyeknya yang mendapatkan investasi awal dari alumni sukses.“Tuh, lihat,” katanya sambil tersenyum lebar. “Gue masuk media, Nay. Katanya ini bukti langkah awal startup yang bisa tembus pasar nasional.”Nayla ikut tersenyum, meski matanya sembab karena terlalu lama menatap layar laptop semalam—mengutak-atik prototype versi alpha dari aplikasi yang Galan bawa ke investor. Ia tahu betul, di balik angka-angka yang Galan sebut, di balik desain antarmuka yang katanya ‘inovatif’, ada dirinya. Ada tangannya. Ada pikirannya.“Aku bangga,” katanya pelan. “Kamu layak dapet itu.”Galan meny

    Last Updated : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

    Pagi itu dingin, tapi bukan karena cuaca. Bukan juga karena angin yang masuk dari celah jendela yang belum sempat diperbaiki. Dingin itu datang dari suara yang tak lagi hangat, dari tatapan yang mulai terasa jauh, dan dari kehadiran yang tak lagi menyentuh hati.Nayla terbangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyeduh dua gelas kopi—satu manis tanpa gula untuknya, dan satu dengan krimer yang selalu jadi favorit Galan. Meja kecil sudah dirapikan, sarapan sederhana disiapkan: roti isi telur dadar dan irisan tomat sisa kemarin.Tapi Galan tak keluar dari kamar. Hanya suara ponselnya yang terdengar. Nada rendah, tawa pelan yang ditahan, lalu langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutup pintu.Nayla mematung.Beberapa hari terakhir, hal itu menjadi rutinitas baru. Galan lebih sering menerima telepon di kamar mandi, atau di luar kost, atau saat ia menyuruh Nayla membeli sesuatu ke warung. Dan tiap kali ia kembali, Galan sedang tertawa kecil dengan suara pelan—bukan tawa lega seperti dulu,

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 15 – Akulah Fondasi yang Kau Lupakan

    Siang itu, ruangan co-working space tempat investor pitching digelar tampak megah. Dindingnya dihiasi layar-layar LED yang menampilkan logo berbagai startup baru, dan di antara semuanya, salah satu logo tampak lebih mencolok—warna biru tua dengan bentuk abstrak yang elegan, menggambarkan teknologi dan konektivitas.Itulah logo yang Nayla buat.Logo yang ia rancang semalaman, setelah puluhan coretan ditolak Galan. Logo yang mewakili gabungan nilai mereka berdua—keterbukaan, visi masa depan, dan semangat membangun dari nol. Ia yang memilih font, menyesuaikan gradasi warna, bahkan mengurus detail hak cipta secara administratif.Tapi saat siaran live presentasi dimulai dan kamera menyorot panggung, hanya satu nama yang disebut sang pembawa acara dengan penuh semangat:“Sambut CEO sekaligus pendiri SynVision, Galan Mahendra!”Tepuk tangan bergemuruh.Nayla menonton dari rumah, duduk di karpet tipis ruang tamu yang masih bau lem karena ia baru saja memperbaiki kaki mejanya yang patah. Ia me

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 16 – Di Balik Pintu Kesempatan

    Udara di kafe kecil itu terasa hangat oleh aroma kopi dan kayu manis. Hujan baru saja berhenti di luar, meninggalkan jejak embun di kaca jendela. Di tengah keramaian lembut suara mesin kopi dan percakapan pelan, Nayla duduk di sebuah sudut meja dengan tangan bertaut di pangkuannya.Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan rambut separuh memutih sedang memutar cangkir tehnya. Ia mengenakan batik sederhana, kacamata bingkai emas menggantung di ujung hidung. Matanya tajam, tapi tak kehilangan kelembutan. Itulah Pak Handoko—mantan rekan bisnis almarhum ayah Nayla, sekaligus salah satu pengusaha senior yang dikenal sebagai investor konservatif tapi jujur.Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum bicara.“Pak Handoko, saya tahu Bapak sedang cari peluang investasi baru. Saya tidak bisa menjanjikan banyak, dan saya juga tahu startup kami belum sempurna. Tapi saya percaya pada ide ini. Platform yang kami bangun punya potensi besar di sektor UMKM.”Pak Handoko mengangkat alis. “Kami?”Nayla

    Last Updated : 2025-04-12
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 17 – Cahaya Panggung yang Menyilaukan

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi di dalam rumah kecil mereka, dunia terasa dingin bagi Nayla. Ia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah kehilangan uapnya. Di hadapannya, layar ponsel menyala, menampilkan sebuah artikel dari salah satu media startup lokal ternama: “Galan Pradipta: Pendiri Muda yang Siap Mengubah Dunia UMKM Digital”.Judulnya besar, mencolok. Wajah Galan memenuhi layar, mengenakan setelan kasual elegan, tersenyum percaya diri di bawah sorotan lampu. Di bawah fotonya, ada kutipan yang menonjol:“Kami memulai dari mimpi. Sekarang saatnya mimpi itu jadi kenyataan—berkat kerja keras dan visi saya.”Nayla membaca paragraf demi paragraf, matanya menelusuri kata-kata yang terasa seperti luka baru. Tak satu pun menyebut tentang orang lain di balik proyek itu. Tak satu pun menyebut tentang mereka—yang dulu memulai semua ini bersama.Tak ada "kami".Tak ada Nayla.Galan pulang sore itu dengan semangat meletup-letup, masih mengenakan jaket abu-abu dengan logo m

    Last Updated : 2025-04-14

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 30

    Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 29

    Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 28

    "Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 27

    Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 26

    "Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 25

    Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status