Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.
Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.
“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.
Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.
“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.
Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”
“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bisnis baru.”
“Siapa?” tanya Nayla sambil membereskan piring.
“Namanya Alya. Dia orangnya pintar banget, Nay. Percaya diri, punya koneksi ke beberapa investor gede. Katanya dia bakal bantu buka jalan biar ide startup-ku bisa dilirik.”
Alya.
Satu kata yang terdengar manis di mulut Galan, tapi tajam menusuk ke telinga Nayla. Terlalu tajam.
Ia menoleh, menampilkan senyum kecil yang dilatih bertahun-tahun. “Kalau itu bisa bantu kamu berkembang, aku dukung.”
Tapi jauh di balik senyuman itu, hatinya goyah.
Ia mengenal Galan. Ia tahu betapa mudahnya lelaki itu terpukau pada hal-hal yang baru, berkilau, dan menjanjikan. Dan kini, satu nama baru telah masuk ke dalam dunianya—dan Nayla tak yakin, apakah dirinya masih menjadi pusat dunia itu.
**
Hari-hari berikutnya, Galan semakin sering pergi. Bukan lagi ke coworking space biasa, tapi ke kafe yang lebih mahal, hotel tempat seminar, dan restoran yang tidak mungkin Nayla datangi hanya dengan uang hasil menjahit dan les privat.
“Networking,” begitu katanya setiap ditanya.
Dan Nayla selalu menjawab dengan anggukan. Meski hatinya mengencang tiap kali nama Alya disebut di sela cerita Galan. Entah kenapa, nama itu mulai sering muncul. Terlalu sering.
“Nay, tadi Alya kasih ide buat kemasan produk. Katanya harus lebih sleek biar keliatan premium.”
“Wah, Alya ngajak aku gabung ke komunitas startup yang dia kelola, loh.”
“Tadi Alya bilang, kayaknya kita bisa bikin prototype-nya lebih cepat kalau dia ikut bantu.”
Alya. Alya. Alya.
Nayla tahu, cemburu bukan hal yang elegan. Tapi rasa itu bukan tentang kecantikan Alya, atau status sosialnya. Rasa itu datang karena Nayla mulai merasa seperti orang luar dalam mimpi yang dulu mereka ciptakan bersama.
**
Malam itu, Galan pulang lebih larut dari biasanya.
Ia membuka pintu kamar kos dengan langkah ringan. Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya tidak lagi rapi, dan aroma parfum wanita samar menempel di tubuhnya. Nayla menoleh dari mesin jahit, berusaha tak memperlihatkan wajah gusarnya.
“Maaf ya, pulang telat. Tadi habis brainstorming sampai malam. Kita sampai lupa waktu,” ucap Galan, lalu menguap lebar.
“Kita?”
“Hmm? Aku, Alya, sama dua orang dari tim desain.”
“Oh.”
Galan meletakkan tasnya dan langsung mengambil air minum. “Kamu belum tidur?”
“Nunggu kamu.”
Galan tersenyum sekilas. “Maaf, ya.”
Ia lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Nayla yang duduk diam di kursi kayu. Tangannya masih di atas kain batik setengah jadi, tapi pikirannya melayang.
Ia ingat masa-masa awal perjuangan mereka. Saat makan hanya dengan kerupuk dan sambal. Saat harus mengamen kecil-kecilan demi beli kuota. Saat Galan menyerah dan ingin pulang kampung, tapi Nayla menggenggam tangannya, memeluknya, dan berkata, “Kita belum kalah.”
Dulu, impian itu milik mereka berdua. Tapi sekarang, Nayla tak yakin... apakah dirinya masih bagian dari “kita” itu?
**
Keesokan harinya, Nayla tak sengaja melihat foto yang diunggah akun komunitas startup lokal. Sebuah gambar yang menampilkan Galan berdiri di antara tiga orang lainnya—dua pria, dan satu wanita berambut panjang, mengenakan blazer putih dan senyum percaya diri.
Alya, pikir Nayla.
Komentar-komentar di bawah foto membuat hatinya tenggelam lebih dalam.
“Pasangan founder paling serasi!”
“Galan dan Alya: kombinasi yang menjanjikan.”
“Dari wajahnya aja udah kelihatan cocok!”
Tak ada yang tahu Nayla.
Tak ada yang menyebutnya.
Padahal ia yang menjahit kemeja Galan. Ia yang membayar tagihan internet agar Galan bisa pitching. Ia yang menahan lapar agar bisa beli bahan presentasi. Ia yang mengorbankan waktu, tubuh, bahkan harga dirinya, agar mimpi itu tetap hidup.
Tapi tak satu pun yang tahu.
**
Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla memberanikan diri bertanya:
“Gal, boleh aku ikut kamu besok ke acara komunitas startup itu?”
Galan menatapnya, ragu. “Hmm... kayaknya enggak perlu, Nay. Acara internal. Lagipula kamu pasti capek juga, kan?”
“Tapi aku pengen lihat... tempat kamu berkembang. Aku pengen tahu langsung dunia kamu sekarang.”
Galan diam. Lalu duduk di ujung ranjang, memijat pelipisnya.
“Nay... aku nggak mau kamu salah paham. Dunia ini keras. Aku butuh fokus. Butuh keliatan profesional. Kalau kamu ikut, aku takut kamu jadi nggak nyaman.”
“Karena aku bukan dari dunia itu?” Nayla menatapnya.
“Bukan gitu maksudku.”
Tapi Nayla tahu. Ia hanya tak cukup menarik untuk jadi wajah yang berdiri di samping Galan saat ini. Tak cukup bergengsi untuk duduk bersama para investor. Tak cukup pintar untuk dipanggil ‘partner strategis’.
Ia hanya perempuan yang menjahit malam-malam, mengantar paket di tengah hujan, dan menyetrika kemeja orang yang sekarang merasa terlalu tinggi untuk menggandengnya.
**
Di dalam hatinya, Nayla mulai berbicara dengan suara yang selama ini ia bungkam:
Apa aku masih bagian dari impian kita? Atau sekarang aku hanya jadi penonton dari mimpi yang berubah jadi milikmu sendiri?
Ia memikirkan semua pengorbanan yang pernah ia lakukan. Bukan untuk dihitung atau diungkit. Tapi untuk meyakinkan diri... bahwa cintanya bukan cinta yang biasa.
Namun yang ia terima kini hanya bayangan.
Hadir, tapi tak dipandang.
Setia, tapi tak dihargai.
Lelah, tapi tak dianggap.
Dan cinta... yang dulu menjadi bahan bakar utama impian mereka, kini seakan tinggal api kecil yang berjuang tak padam—sendirian.
**
Di tengah malam, Nayla menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Wajahnya pucat, mata sedikit sembab, dan senyum yang sudah tak utuh lagi.
Ia memeluk dirinya sendiri.
Tak berkata apa-apa.
Karena malam ini, ia mulai menyadari:
Cinta yang tulus tak seharusnya membuat seseorang kehilangan harga dirinya.
Dan ia tak akan membiarkan dirinya hancur, hanya demi bertahan di sisi seseorang yang mungkin... tak lagi melihatnya.
“Siapa yang mengancam pekerjaanmu?” tanya Nayla dengan suara tenang namun tegas kepada perempuan di ujung telepon.“Saya tidak tahu pasti. Ada seseorang yang menelepon bagian HR di kantor. Mereka bilang saya terlibat dalam ‘aktivitas politik kontroversial’ dan mengancam akan menghubungi klien besar kalau perusahaan tetap mempekerjakan saya.”Nayla merasakan simpul yang familiar di perutnya. Kali ini bukan ketakutan, melainkan amarah yang adil—dan tekad untuk melindungi.“Dengar aku baik-baik,” ucap Nayla dengan suara mantap sekaligus menenangkan. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau hanya menceritakan kebenaranmu demi membantu perempuan lain. Dan aku tidak akan membiarkanmu menanggung akibat hanya karena keberanian itu.”“Tapi Nayla, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. Aku punya dua anak—”“Kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Beri aku kontak direktur HR-mu, dan izinkan tim hukumku langsung menghubungi perusahaanmu.”Begitu telepon ditutup, Nayla segera mengumpulkan Arvino d
“Kita harus segera merespons bukti palsu ini,” ujar Arvino sambil membuka laptop dan mulai menyusun draf pernyataan hukum. “Kalau kita terlambat, media bisa menafsirkannya sebagai pengakuan bersalah.”“Tunggu dulu.” Nayla mengangkat tangannya. “Sebelum bereaksi, aku ingin melihat dulu persis apa yang mereka tuduhkan.”Elena Rodriguez mengirimkan tautan artikel yang sudah dimuat di tiga media internasional besar. Nayla membaca seksama, sementara Harra dan Arvino ikut menunduk membaca dari balik bahunya.“Mereka menulis bahwa testimoni para perempuan dalam bukuku itu rekayasa,” kata Nayla setelah selesai. “Dan mereka mengklaim punya ‘sumber’ yang bisa membuktikan kalau aku tidak pernah benar-benar mewawancarai mereka.”“Itu jelas bohong,” sergah Harra, wajahnya memerah karena kesal. “Aku masih ingat Ibu melakukan wawancara lewat telepon dengan beberapa perempuan itu. Bahkan aku sempat membantu mengetik hasil transkripnya.”“Aku juga masih menyimpan semua rekaman wawancara, surat persetu
“Dr. Chen,” suara Nayla terdengar tenang, meski tegas, “saya akan memberikan jawaban besok pagi. Saya perlu berdiskusi dulu dengan keluarga saya.”“Mrs. Kusuma, saya mengerti,” jawab Dr. Chen, “tapi komite Parlemen Eropa akan bersidang lusa. Waktunya sangat terbatas.”“Dan justru karena pentingnya keputusan ini, saya tidak akan mengambil pilihan terburu-buru. Selamat malam, Dr. Chen.”Nayla menutup telepon. Tatapannya beralih pada Arvino dan Harra yang sudah berkumpul di ruang kerja. Wajah keduanya memancarkan kekhawatiran, tapi juga penuh dukungan.“Mereka ingin aku memberikan kesaksian di Parlemen Eropa, tentang rekomendasi kebijakan perlindungan penyintas kekerasan,” ujar Nayla, duduk di antara suami dan anaknya. “Tapi ada kampanye terorganisir yang mencoba merusak reputasiku dan mengacaukan setiap penampilan publik.”Harra menggenggam tangan ibunya erat. “Apa pun yang Ibu putuskan, aku akan mendukung. Tapi aku ingin Ibu tahu… aku bangga. Kesempatan ini bisa membuat undang-undang y
“Jurnalis internasional?” tanya Nayla sambil menatap satpam dengan ekspresi waspada, meski nada suaranya tetap tenang. Pengalaman beberapa bulan terakhir telah mengajarkannya untuk tidak reaktif setiap kali ada tamu tak terduga.“Betul, Bu. Dia mengaku bernama Elena Rodriguez dari The Guardian. Identitas persnya tampak sah, tapi saya tetap perlu konfirmasi pada Ibu terlebih dahulu.”Arvino melepaskan pelukan di pinggang Nayla, lalu bergerak ke posisi yang protektif tanpa terlihat mencolok.“Nayla, kamu memang ada janji dengan The Guardian?”“Tidak. Tapi agen literasiku sempat bilang kalau mereka tertarik menulis liputan internasional tentang bukuku. Mungkin ini kelanjutannya.”Harra, yang tadinya santai membaca, kini duduk lebih tegak. “Bu, apa kita perlu khawatir? Maksudku… setelah semua yang terjadi dengan Daniel—”“Nak, kita tidak bisa hidup dengan rasa takut selamanya. Tapi kita juga tidak boleh lengah.” Nayla menoleh pada satpam. “Tolong minta Nona Rodriguez menunggu di lobi. Per
“Bukti apa yang membuat polisi khawatir tentang keselamatan kami?” tanya Nayla. Suaranya terdengar tenang, meski jantungnya berdebar kencang.“Miss Mahardika,” jawab Detektif Rahman dari seberang telepon, “di laptop Daniel Prawira yang kami sita, kami menemukan korespondensi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ada indikasi rencana untuk mengintimidasi Anda dan keluarga jika penyelidikan berlanjut.”Daniel yang mendengar penjelasan itu langsung panik. “Itu tidak benar! Saya tidak pernah—”“Mr. Prawira,” potong Detektif Rahman cepat, “Anda masih dalam pengawasan kami. Lebih baik tidak berkomentar tanpa pendampingan pengacara. Miss Mahardika, demi keselamatan Anda dan putri Anda, kami merekomendasikan perlindungan khusus selama penyelidikan berlangsung.”Harra spontan menolak. “Ibu, aku tidak mau sembunyi lagi. Kita sudah tidak sembunyi dari siapa pun.”“Nak,” kata Nayla lembut, “ini berbeda. Bukan soal rasa malu atau ketakutan. Ini soal keselamatan kita yang nyata.”Arvino
“Tunggu sebentar,” ucap Nayla pada petugas keamanan, matanya menatap Maya dengan ekspresi tenang tapi penuh ketegasan. “Maya, matikan dulu rekaman podcast-nya.”Maya segera menghentikan perekaman. “Nay, kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Kita bisa—”“Tidak apa-apa.” Nayla berdiri dengan tubuh tegak, suaranya mantap. “Inilah persis situasi yang aku tulis di buku. Saat masa lalu mencoba menarikmu kembali, kamu harus memutuskan: mau menjawab dengan ketakutan, atau dengan kekuatan.”“Tapi ini bisa berbahaya.”“Makanya aku akan menanganinya dengan cerdas.” Nayla mengeluarkan ponselnya dan menelepon Arvino. “Vino, situasi di sini makin memanas. Perwakilan Daniel ada di studio, dan mereka ingin bertemu. Media juga sudah mulai berkumpul di luar.”“Nayla, jangan hadapi mereka langsung. Panggil keamanan, kalau perlu polisi. Jangan beri kesempatan sedikit pun untuk mereka memanipulasi keadaan.”“Justru aku punya ide yang lebih baik. Kamu masih terhubung dengan tim hukum PBB?”“Ya, mereka sta