Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya. Kota masih terlelap, namun sebuah email sudah lebih dulu menyalakan api di kepala Reyhan. “Permintaan Wawancara Eksklusif – Skandal CEO Reyhan Ardana & Dampaknya pada Karier dan Rumah Tangga.” Dikirim oleh media nasional yang terkenal dengan eksposé tajamnya. Lampiran di dalam email itu bukan hanya berupa permintaan wawancara, tapi juga daftar pertanyaan yang sudah seperti peluru-peluru yang diarahkan langsung ke jantungnya. Ia menutup laptop dengan kasar, lalu berdiri dan menghantam meja kerjanya. Pundaknya naik-turun, napasnya memburu. Semua semakin tidak terkendali. Ia tahu jika media itu berhasil mewawancarai Nayla, maka habislah ia. Bukan hanya sebagai CEO, tapi juga sebagai sosok publik, suami, dan laki-laki yang selama ini merasa tak tersentuh. Di ruangan apartemennya yang semakin berantakan, Reyhan menatap cermin. Wajahnya tampak lebih tua. Kantung matanya membengkak, rambutnya acak-acakan. “Aku tak bisa membiarkan ini berlanj
Kantor Reyhan yang biasanya tenang kini berubah jadi medan perang. Pagi itu, ia dikejutkan oleh deretan notifikasi di ponselnya pesan-pesan singkat dari rekan bisnis, karyawan, bahkan keluarganya. Semua menanyakan satu hal yang sama “Apa benar artikel itu tentang kamu?”Tangan Reyhan gemetar saat membuka tautan yang dikirimkan salah satu koleganya. Judul artikel itu mencolok, dengan huruf kapital yang seolah berteriak di wajahnya“Pengusaha Muda Reyhan A. Terlibat Skandal Perusahaan Manipulasi dan Pelecehan Jabatan?”Tubuhnya menegang. Napasnya memburu. Artikel itu memuat bukti-bukti yang tak asing baginyanemail internal, salinan kontrak, bahkan rekaman suara samar-samar yang tak pernah ia sangka bisa keluar dari ruang rapat tertutup.Nayla…Nama itu langsung melintas di benaknya. Hanya dia yang punya akses. Hanya dia yang tahu segalanya.Ia melempar ponselnya ke sofa, berdiri dari kursi dan berjalan bolak-balik di ruangannya seperti binatang buas yang terperangkap.Ketukan di pintu m
Langit pagi itu mendung, seakan ikut meredam hiruk pikuk kota. Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut jalan, Nayla duduk sendirian, mengenakan kemeja putih sederhana dan kerudung warna kelabu. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang kini tinggal setengah. Tatapannya tenang, tapi pikirannya bergerak tajam seperti bilah pisau. Di hadapannya duduk seorang pria tua berjas lusuh mantan karyawan Reyhan yang diam-diam Nayla cari lewat koneksi lamanya. “Terima kasih sudah mau datang,” ucap Nayla pelan, sopan seperti biasa. Pria itu mengangguk. “Saya pikir Anda hanya ingin bicara soal masa lalu. Tapi ternyata Anda sudah tahu lebih banyak dari yang saya duga.” Nayla tersenyum tipis. “Saya hanya menyusun ulang potongan-potongan yang Reyhan coba kubur.” Beberapa minggu lalu, Nayla menemukan catatan keuangan lama rekam jejak transaksi yang dimanipulasi Reyhan untuk menutupi kesalahan investasi yang menyebabkan pemecatan massal. Pria tua di hadapannya adalah salah satu korban. D
Langkah Nayla terdengar tenang saat memasuki gedung kantor lamanya tempat di mana Reyhan dulu memperkenalkannya sebagai istri yang "baik dan mendukung." Kini, tiap tatapan yang menyambutnya dipenuhi kejutan, bahkan ada sedikit kekaguman yang tak mampu disembunyikan. Nayla bukan lagi perempuan dengan ekspresi lembut dan senyum ramah. Matanya tajam, bibirnya datar, dan langkahnya menunjukkan bahwa ia datang dengan tujuan yang tak bisa dianggap remeh. Ia tidak lagi menyembunyikan luka. Ia memeluknya, menjadikannya pelindung, sekaligus senjata. Hari itu, Nayla bertemu secara resmi dengan salah satu direktur utama yang pernah menjalin kerja sama dengan Reyhan. Bukan hanya untuk membicarakan bisnis, tapi juga memberikan isyarat halus bahwa posisi Reyhan mulai digoyang dari balik layar. "Saya hanya ingin memastikan, bahwa Anda tahu apa yang terjadi di balik reputasi Reyhan selama ini," ucap Nayla tenang, sambil menyerahkan setumpuk dokumen catatan keuangan, laporan manipulasi kecil yang s
Langit malam menggantung berat di atas balkon apartemen Reyhan. Angin membawa bau hujan yang tertahan, seakan langit pun ikut menekan dadanya yang sudah semakin sesak.Ia berdiri di sana, menatap kota yang ramai dengan lampu, tapi pikirannya gelap. Amplop dari Nayla masih tergeletak di atas meja. Isinya sudah ia hafal di luar kepala satu foto, dan juga satu kalimat. Tapi dampaknya jauh lebih dalam bahkan dari ratusan argumen.Sejak kejadian siang itu, Reyhan tak bisa tenang. Ia mencoba mengalihkan pikiran, dengan membuka laptop, membaca laporan keuangan, bahkan menyalakan televisi untuk sekadar mencari suara. Tapi semua itu sama sekali tak mempan.Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak punya jawaban.Apa yang Nayla tahu? Sejauh mana?Ia tahu Nayla bukan tipe yang bertindak impulsif. Setiap langkah perempuan itu selalu penuh perhitungan. Maka jika Nayla memilih untuk menunjukkan sesuatu, pasti ada lebih banyak yang ia simpan di belakang layar. Seketika Reyhan merasakan perasaan asing d
Reyhan duduk sendirian di ruang kerja pribadinya. Di luar, kota telah berubah menjadi lautan cahaya malam, tapi dalam pikirannya, semuanya tampak gelap dan kacau. Kertas-kertas berserakan di mejanya, tapi tak satu pun yang berhasil ia baca dengan benar. Matanya menatap kosong, pikirannya melayang tidak fokus.Satu nama terus terngiang di kepalanya... Nayla.Bukan hanya karena wanita itu kini muncul kembali dalam kehidupannya dengan cara yang tak terduga. Tapi karena perlahan, kehadirannya membawa ketidaknyamanan yang belum pernah Reyhan rasakan selama ini rasa bersalah yang selama ini ia pendam dalam-dalam, yang kini mulai menyeruak tanpa bisa ia bendung.Ia menyesap kopi yang sudah hampir dingin, mencoba memaksa dirinya untuk kembali berpikir logis. Tapi logika tak lagi menjadi sekutu saat kenangan datang menyelinap tanpa izin.Dulu, Nayla adalah tempat pulangnya. Wanita yang tidak banyak menuntut, tidak banyak bicara, namun selalu ada dalam kesunyian yang ia butuhkan. Ia adalah kete