Kafe kecil di pojok kota itu terasa asing bagi Nayla, meski papan namanya menunjukkan tempat itu sudah bertahun-tahun berdiri. Dindingnya dipenuhi tanaman gantung, aroma kopi bercampur lavender menyambut sejak pintu dibuka. Tapi suasana damai itu tak menyentuh sedikit pun kegelisahan dalam dadanya. Ia datang lebih awal. Duduk di kursi pojok dekat jendela, Nayla memilih tempat di mana ia bisa melihat siapa pun yang datang dari pintu depan. Tangannya menggenggam cangkir yang masih penuh, bukan karena ingin menikmati, tapi karena ia butuh sesuatu untuk ditahan agar tak gemetar. Sepuluh menit. Dua puluh. Saat detik ke tiga puluh dua lewat dari menit ke dua puluh tujuh, sosok itu muncul. Tania. Dari luar, wanita itu tampak biasa saja dengan jeans hitam, kemeja putih sederhana, dan rambut yang digelung acak. Tapi Nayla melihatnya berbeda. Ia melihat masa lalu. Ia melihat pengkhianatan. Ia melihat seseorang yang dulu tertawa bersamanya, menangis bersamanya, dan pada akhirnya... menusuknya
Pagi itu, langit mendung seperti menyimpan rahasia. Hembusan angin tak lagi terasa sejuk di kulit Nayla. Ia berdiri di balkon kecil apartemennya, menatap kosong ke kejauhan sambil memeluk tubuh sendiri. Cangkir kopinya sudah dingin, namun ia tak berniat menyeruputnya. Sudah seminggu sejak Reyhan semakin menjauh. Sudah seminggu pula Rania seperti merasa menang, tak lagi menyembunyikan senyum sinisnya. Tapi ada yang tak pas. Ada keganjilan yang terus mengusik perasaan Nayla. Rania memang pengkhianat. Tapi wanita seperti dia terlalu egois untuk menyusun rencana secerdas ini sendirian. Nayla kembali masuk ke dalam, membuka ponselnya. Ia membuka pesan terakhir yang sempat Reyhan kirim. Tak ada kata cinta, hanya pesan singkat “Jangan percaya siapa pun. Termasuk aku.” Kening Nayla berkerut. Ia buka lagi beberapa file dan tangkapan layar lama yang pernah ia simpan saat Reyhan mulai bersikap aneh. Salah satu video itu… terlalu sempurna. Sudut pengambilan gambarnya, pencahayaan, bahkan ek
Rania berdiri di depan cermin besar kamarnya. Matanya menatap pantulan dirinya sendiri dengan tajam, seolah mencoba membaca sesuatu di balik bayangan itu. Sejak foto-foto itu dikirim ke Reyhan, sikap pria itu berubah. Tidak lagi lembut, tidak lagi sepenuh hati. Ada ketegangan di antara mereka yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Dan itu membuatnya gelisah. Dia yakin Nayla ada di balik semua ini. Siapa lagi yang punya alasan untuk menghancurkannya? Tapi semakin ia pikirkan, semakin ia sadar Nayla bukan tipe yang sembarangan bertindak. Perempuan itu terlalu tenang, terlalu sabar. Dan ketenangan semacam itu… justru yang paling berbahaya. Sementara itu, jauh dari gemerlap kehidupan Reyhan dan Rania, di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, seorang wanita menatap layar laptopnya dengan senyum tipis. Di hadapannya, jendela percakapan terenkripsi terbuka dengan notifikasi pesan baru “Sudah terkirim. Responnya persis seperti yang kau prediksi. Dia mulai curiga pada Nayla.” Wanita it
Langit malam tampak kelam. Hujan turun pelan, seperti irama detak jantung Nayla yang tenang, tapi menyimpan badai di dalamnya. Di kamar kontrakan kecil yang ia sewa diam-diam, Nayla duduk di depan meja, menatap layar laptop dengan sorot mata tajam dan tenang. Di tangannya, ada sebuah flashdisk berwarna hitam polos terlihat biasa, tapi isinya bisa meluluhlantakkan hidup seseorang. Di layar, file itu terbuka. Beberapa rekaman suara, foto, dan tangkapan layar percakapan antara Reyhan dan Rania. Bukti-bukti yang berhasil Nayla kumpulkan selama berbulan-bulan, sebagian dari kerja diam-diamnya dan sebagian dari bantuan orang yang selama ini tak pernah diduga: adik tiri Reyhan sendiri. "Kamu terlalu meremehkanku, Reyhan," batin Nayla sambil menyimpan semua salinan data itu di hard drive eksternal yang tersembunyi di bawah lantai kayu kecil yang bisa dilepas. Hari pembalasan belum datang. Tapi Nayla tahu, saat itu sudah dekat. Ia tidak ingin Reyhan sekadar malu. Ia ingin Reyhan hancur deng
Pagi datang dengan embun yang belum sempat menguap. Langit masih kelabu, seperti menyimpan rahasia dari malam yang dingin dan panjang. Di dalam sebuah apartemen sederhana namun rapi, Nayla berdiri di depan cermin. Ia mengenakan blus putih dengan blazer hitam polos, rambutnya disisir rapi dan diikat rendah. Bukan untuk menyenangkan siapa pun. Tapi karena hari ini, ia akan menghadapi dunia sebagai dirinya sendiri bukan sebagai istri siapa pun. Di matanya tidak ada lagi sorot kekosongan. Ada ketenangan yang nyaris menakutkan. Seolah ia telah sampai pada titik di mana luka tak lagi menyakitkan, melainkan menjadi bahan bakar untuk melangkah. Tangannya sempat gemetar saat mengambil map cokelat dari meja kerja kecil di sudut kamar. Map itu berisi berkas yang baru beberapa hari lalu ia siapkan bersama pengacaranya. Bukti-bukti perselingkuhan Reyhan. Percakapan. Transfer mencurigakan. Foto-foto yang tidak perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata. Bukan hanya Reyhan yang ia kumpulkan. Tapi jug
Pagi itu langit tampak kelabu, seperti ikut merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Udara masih dingin, sisa dari hujan semalam yang belum benar-benar reda. Di dalam rumah kecilnya yang tenang, Nayla duduk di meja makan, mencoba menyesap teh hangat yang kini terasa hambar di lidahnya. Sejak membuka pintu dan menerima amplop cokelat tebal dari kurir berseragam hitam, jantung Nayla belum kembali ke ritme normalnya. Tangannya gemetar, matanya menatap amplop itu seperti menatap hantu dari masa lalu. Ia tahu ini bukan surat biasa. Ia tahu surat ini akan mengubah segalanya agi. Dengan napas panjang dan hati yang mengeras oleh kenyataan, Nayla membuka amplop itu. Satu demi satu lembaran kertas ia baca, dan semakin dalam ia tenggelam dalam huruf-huruf dingin yang menuduhnya macam-macam mencemarkan nama baik, merusak reputasi, melanggar privasi. Bahkan, ada kalimat yang menyiratkan bahwa dirinya adalah wanita licik yang memanfaatkan hubungan rumah tangga untuk keuntungan pribadi.